Kesimpulan Diserahkan, Sembilan Hakim MK Segera Rapatkan Sistem Pemilu
Hingga Rabu sore ada sepuluh pihak yang mengajukan kesimpulan atas perkara uji materi sistem pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sepuluh pihak yang terkait dengan perkara pengujian konstitusionalitas sistem pemilu proporsionalitas terbuka menyerahkan kesimpulan ke Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Rabu (31/5/2023). Penyerahan kesimpulan tersebut menandai berakhirnya peran para pihak meyakinkan sembilan hakim konstitusi untuk membenarkan dalil-dalilnya.
Selanjutnya, sembilan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar rapat permusyawaratan hakim untuk memutuskan apakah pemilu tahun depan akan tetap menggunakan sistem proporsional terbuka seperti pemilu sebelumnya atau diubah menjadi tertutup.
Juru bicara MK, Fajar Laksono Suroso, mengatakan, hingga Rabu sore ada sepuluh pihak yang mengajukan kesimpulan atas perkara yang diajukan sejumlah pihak termasuk kader PDI-P.
Sepuluh pihak sudah menyerahkan kesimpulan, antara lain, pemohon, Presiden/pemerintah, dan sejumlah pihak terkait, seperti Partai Garuda, Partai Demokrat, Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Solidaritas Indonesia, Derek Lupatty (politikus Partai Golkar) dan kawan-kawan, Perludem, dan Sarlotha Febiola Mramra dan kawan-kawan.
Suasana rapat permusyawaratan hakim di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (20/8/2014).
Diketahui, uji konstitusionalitas sistem pemilu ini berangkat dari permohonan sejumlah kader partai dan perorangan warga negara yang mempersoalkan beberapa pasal di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, khususnya terkait dengan pilihan sistem pemilu proporsional terbuka.
Mereka mendalilkan, sistem pemilu tersebut menimbulkan beragam persoalan, seperti memarjinalisasi peran partai politik di dalam pemilu, memberikan keuntungan hanya kepada calon anggota legislatif (caleg) yang populer, dan menghasilkan caleg-caleg yang tidak loyal kepada partai serta hanya memikirkan kepentingan sendiri (bukan partainya).
Dalam berkas kesimpulannya, Perludem meminta MK untuk menolak seluruh permohonan pemohon dalam perkara 114/PUU-XX/2022. Perludem juga membantah dalil-dalil yang dikemukakan pemohon. Hal itu adalah dalam sistem proporsional terbuka, partai politik tetap memegang tiga peran, yaitu pencalonan anggota legislatif, mengelola jalannya kinerja anggota legislatif, dan melakukan pergantian antarwaktu (PAW). Peran partai tetap sedemikian besar sehingga secara mutatis mutandis membantah argumentasi pemohon bahwa peran partai termarjinalisasi dalam sistem proporsional terbuka.
Perludem juga mengingatkan, ketidakpastian hukum justru akan muncul dengan adanya permohonan pengujian sistem pemilu. Sebab, pasal-pasal yang diujikan (terkait sistem pemilu) merupakan jantung dari UU 7/2017. Mengutip I Dewa Gede Palguna, apabila yang diuji adalah pasal jantung sebuah UU dan terkoneksi dengan sebagian besar substansi UU, hal itu dapat berimplikasi pada pembatalan sehingga dapat berdampak pada hilangnya kerangka hukum pemilu di tengah proses tahapan pemilu.
Selain itu, Perludem juga berargumentasi bahwa penentuan sistem pemilu sebenarnya berada di luar wilayah kewenangan MK. Penentuan sistem pemilu oleh MK akan merusak bangunan ketatanegaraan dan sistem politik di Indonesia sebab akan menghilangkan kesempatan seluruh masyarakat melalui wakil-wakilnya di DPR untuk mengevaluasi, memperbaiki, dan membenahi bangunan sistem pemilu.
Tak semua pihak dalam perkara tersebut mengajukan kesimpulan. Salah satu pihak terkait dalam perkara 114/2022, Mohammad Soleh (advokat yang juga pemohon uji materi 22/PUU-VI/2008), mengatakan, pihaknya tidak menyerahkan kesimpulan.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Sejumlah anggota Komisi II DPR memegang contoh format surat suara Pemilu 2024 yang dibawa KPU saat rapat dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (29/5/2023). Format surat suara masih berbasis sistem pemilu proporsional terbuka dengan nama caleg di tiap dapil bisa dilihat pemilih.
Soleh yakin MK akan menolak permohonan untuk menggeser sistem pemilu dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup. Ia mengutip putusan MK yang dimohonkannya tahun 2008 yang menyatakan bahwa sistem proporsional tertutup melanggar kedaulatan rakyat serta partai politik dilarang menjadi broker dalam pencalonan anggota legislatif.
”Tidak mungkin MK membuat keputusan yang berbeda dengan putusan sebelumnya. Dulu dianggap melanggar kedaulatan rakyat,” kata Sholeh.