MK Sanggah Kecurigaan Putusan Uji Materi Sistem Pemilu
Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih menegaskan kesimpulan para pihak untuk perkara uji materi sistem pemilu belum ada dan perkara itu belum dibahas dalam rapat permusyawaratan hakim.

Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (13/3/32023).
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menyanggah informasi yang menyebutkan bahwa MK akan memutus pemilihan umum legislatif dilaksanakan melalui sistem proporsional tertutup, tidak lagi menerapkan sistem proporsional terbuka. Sebab, perkara tersebut bahkan belum dibahas sama sekali dalam rapat permusyawarahan hakim konstitusi.
Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih, saat dihubungi, Minggu (28/5/2023), menegaskan bahwa isu yang beredar soal putusan MK terkait sistem pemilu legislatif tak benar. ”Karena kesimpulan para pihak untuk perkara tersebut belum ada dan perkara tersebut belum dibahas sama sekali dalam rapat permusyawaratan (RPH),” ujarnya.
Sebelumnya, MK telah mengakhiri persidangan pengujian konstitusionalitas sistem pemilu proporsionalitas pada 23 Mei 2023 setelah sidang untuk ke-16 kalinya. MK saat ini tengah menunggu setiap pihak, baik pemohon uji materi, pemerintah, DPR, KPU, maupun pihak-pihak terkait seperti sejumlah partai, organisasi pemerhati pemilu, serta perseorangan calon, untuk menyerahkan kesimpulan akhir. Kesimpulan tersebut ditunggu oleh Kepaniteraan MK paling lambat pada 31 Mei.
Perkara tersebut diajukan oleh sejumlah kader partai, yaitu Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marjono. Mereka mempersoalkan Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf b, Pasal 386 Ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2), dan Pasal 426 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Mereka mendalilkan, berlakunya norma-norma pasal tersebut yang terkait dengan sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak telah dibajak oleh caleg-caleg pragmatis yang bermodal popularitas, tanpa punya ikatan ideologis dengan partai, serta tak punya pengalaman mengelola organisasi parpol atau yang berbasis sosial politik.

Sejumlah perwakilan DPR menghadiri sidang pleno di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (26/1/2023). Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pleno uji materi Undang-Undang Pemilu terkait sistem pemilihan legislatif proporsional terbuka. Dalam sidang tersebut, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menyampaikan dukungan kepada pemohon agar sistem pemilu diubah menjadi proporsional tertutup.
Mereka meminta MK mengubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Dengan begitu, keterpilihan calon anggota legislatif ditetapkan oleh partai politik berdasarkan nomor urut.
Permohonan tersebut mengundang reaksi dari sejumlah pihak, baik partai politik, pegiat pemilu, maupun perseorangan bakal caleg yang mengajukan diri sebagai pihak terkait di dalam perkara tersebut. Selain memberikan keterangan di hadapan MK, pihak terkait juga berhak untuk mengajukan ahli untuk mendukung pendapat dan dalil-dalil mereka. Setidaknya 11 ahli diajukan dengan rincian empat ahli diajukan oleh pemohon uji materi, sedangkan tujuh ahli antara lain diajukan oleh Perludem, Derek Loupatty, Partai Garuda, dan Partai Nasdem.
Beredar kabar
Informasi soal putusan MK itu disampaikan Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana. Dia mengaku menerima kabar bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengembalikan sistem pemilihan umum (pemilu) legislatif proporsional terbuka menjadi tertutup. Itu artinya, rakyat hanya akan memilih berdasarkan gambar atau simbol partai. Komposisi putusan adalah enam berbanding tiga dissenting. Ia menambahkan, sumber anonim ini dapat dipercaya kredibilitasnya. Namun, pemberi informasi bukanlah hakim konstitusi.
”Maka, kita kembali ke sistem pemilu Orba (Orde Baru): otoritarian dan koruptif,” ujar Denny secara tertulis melalui akun Instagramnya, Minggu (28/5/2023).
Menurut Denny, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dikuasai, pimpinan pun cenderung bermasalah yang dihadiahi gratifikasi perpanjangan jabatan setahun. Selain itu, peninjauan kembali (PK) Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko atas Partai Demokrat diduga ditukar dengan kasus korupsi mafia peradilan di Mahkamah Agung (MA).
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD merespons informasi yang disampaikan Denny melalui cuitan di akun Twitternya, @mohmahfudmd. Dia menuturkan, terlepas dari apa pun, putusan MK tidak boleh dibocorkan sebelum dibacakan. Informasi dari Denny, kata dia, jadi preseden buruk.
”Bisa dikategorikan pembocoran rahasia negara. Polisi harus selidiki info A1 yang katanya menjadi sumber Denny agar tidak jadi spekulasi yang mengandung fitnah,” kata Mahfud.
Ditolak parpol
Informasi dari Denny mendapat respons dari berbagai perwakilan partai politik (parpol). Mereka menolak pemilu sistem proporsional tertutup, apalagi telah proses kontestasi politik telah dimulai.

Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Umum Partai Demokrat, saat berkunjung ke Yogyakarta, Senin (10/12/2018).
Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga turut menanggapi informasi dari Denny. Menurut dia, apabila MK berencana menetapkan sistem proporsional tertutup dari sistem terbuka saat ini, akan jadi isu besar dalam dunia politik di Indonesia. SBY mempertanyakan kegentingan di balik bergantinya sistem pemilu, apalagi prosesnya telah dimulai.
”Ingat, daftar caleg sementara (DCS) baru saja diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pergantian sistem pemilu di tengah jalan bisa menimbulkan chaos (kekacauan) politik,” ujar Presiden RI Indonesia periode 2004-2014 itu, Minggu (28/5/2023), seperti dikutip dari akun Twitternya.
Selain itu, SBY turut mempertanyakan apakah UU Pemilu yang mengatur sistem pemilu terbuka bertentangan dengan konstitusi. Sebab, menurut dia, berdasarkan konstitusi, domain dan wewenang MK adalah menilai apakah sebuah UU bertentangan dengan konstitusi, bukan menetapkan UU mana yang paling tepat antara sistem pemilu tertutup atau terbuka.
Baca juga: Evaluasi Sistem Pemilu Sebaiknya Setelah Pemilu 2024
Oleh karena itu, kata dia, MK harus memiliki argumentasi kuat yang menunjukkan sistem pemilu terbuka bertentangan dengan konstitusi sehingga perlu diubah tertutup. Hal ini agar mayoritas masyarakat dapat menerima keputusannya. ”Ingat, semua lembaga negara, termasuk Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan MK harus sama-sama akuntabel di hadapan rakyat,” kata SBY.

Daftar calon sementara untuk DPRD Provinsi DKI Jakarta terpasang di tembok depan Kantor Komisi Pemilihan Umum Jakarta Barat, Kamis (27/9/2018). Kontestasi yang ketat untuk pemilu legislatif mengharuskan caleg bekerja ekstra keras agar bisa merebut suara pemilih sebanyak-banyaknya.
SBY menambahkan, penetapan UU yang mengatur sistem pemilu ada di tangan presiden dan DPR, bukan MK. Seharusnya kedua pihak tersebut memiliki suara tentang hal ini. Mayoritas parpol juga telah menolak perubahan sistem terbuka jadi tertutup.
Selama ini, parpol dan calon anggota legislatif (caleg) mengasumsikan sistem pemilu tak berubah, termasuk dalam penyusunan DCS. Persoalan ini serius jika MK mengubahnya di tengah jalan. KPU dan parpol perlu bersiap mengelola krisis ini agar tak mengganggu pelaksanaan Pemilu 2024.
Hal serupa diutarakan pula oleh Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung. Ia menegaskan, sikap Golkar bersama dengan tujuh parpol parlemen lainnya sudah jelas, yakni meminta hakim konstitusi memutuskan agar Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Tahapan Pemilu 2024 sudah dimulai sejak 14 Juni lalu dan semakin maju, terakhir semua parpol sudah mendaftarkan bakal calon anggota legislatifnya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
”Kami sangat berharap sembilan hakim konstitusi konsisten dengan keputusan MK pada 2008 yang menegaskan bahwa sistem yang kita gunakan adalah sistem proporsional terbuka,” kata Doli ditemui di Jakarta, Minggu.
Ia menambahkan, kalaupun terjadi perubahan, hendaknya dilakukan sebelum tahapan pemilu dimulai. Sebab, perubahan di tengah tahapan pemilu akan menguras energi semua pihak, mulai dari parpol yang telah mendaftarkan bakal caleg, KPU yang telah melaksanakan tahapan pemilu, hingga masyarakat yang mempersiapkan dirinya untuk memilih. ”Kami percaya, hakim konstitusi akan melihat realitas persiapan pemilu yang telah dilakukan,” kata Doli.
Meski belum ada putusan MK terhadap uji materi sistem pemilu, kata Doli, Golkar terus berkomunikasi dengan tujuh parpol parlemen lainnya. Selama proses di MK berlangsung, kedelapan parpol tersebut juga terus menyiapkan saksi ahli dan berbagai upaya untuk mendorong sistem pemilu proporsional terbuka tetap digunakan pada Pemilu 2024.

Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno saat ditemui harian Kompas di Kantor DPP PAN, Jakarta Selatan, Rabu (5/4/2023).
Dampak perubahan
Perubahan sistem pemilu terbuka menjadi tertutup dapat berdampak pada proses kontestasi politik yang telah berlangsung. Parpol telah menyetor nama-nama DCS pada KPU sehingga pelaksanaannya sejauh ini menerapkan sistem pemilu terbuka.
Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno menambahkan, pihaknya mendapatkan informasi mengenai putusan MK yang akan mengubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup. Namun, berdasarkan kabar yang ia terima, itu akan diterapkan mulai Pemilu 2029, bukan Pemilu 2024.
Kendati demikian, menurut Eddy, perubahan tersebut akan berdampak mendasar pada strategi partai. Apalagi jika diterapkan pada 2024, partai hanya memiliki waktu enam bulan untuk mengubah strategi secara mendasar, dari yang mengandalkan caleg dalam perolehan suara di pileg kini harus mengutamakan identitas kepartaian untuk memperoleh suara. Selain itu, perubahan sistem pemilu juga bisa berdampak pada menurunnya animo bakal caleg yang sudah mendaftar, karena mereka tak lagi dipilih secara langsung, tetapi akan ditentukan oleh partai.
”Dari aspek demokrasi partisipatif, itu akan mengurangi kualitas demokrasi partisipatif yang kita harapkan dalam Pemilu 2024. Partisipasi masyarakat untuk menjadi caleg bisa jadi redup karena mereka menganggap tidak ada harapan kalau tidak mendapatkan nomor urut satu,” ujar Eddy.
Selain itu, tambah Eddy, sistem pemilu proporsional tertutup membuat publik ibarat memilih kucing di dalam karung karena mereka tidak lagi mengetahui caleg yang akan dipilih. Caleg yang dipilih oleh partai pun nantinya tidak bertanggung jawab langsung terhadap publik karena ia pertanggungjawabannya lebih kepada partai. Padahal, dalam sistem proporsional terbuka, setiap caleg bertanggung jawab langsung kepada masyarakat karena mereka dipilih secara terbuka. Mereka yang kinerjanya tak sesuai dengan harapan publik bisa langsung diganjar hukuman dengan tidak dipilih kembali dalam pemilu.

Suasana saat Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menggelar konferensi pers di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Senin (3/4/2023). AHY menyatakan partainya siap menghadapi peninjauan kembali (PK) yang dilayangkan oleh Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko terkait Kongres Luar Biasa Partai Demokrat. Pihak Moeldoko mengklaim menemukan empat novum (bukti baru).