Mahfud MD: Pemerintah Masih Kaji Putusan MK Soal Masa Jabatan Pimpinan KPK
”Saya sudah koordinasi dengan istana. Pemerintah masih akan mempelajari substansi dan formatnya. Masih cukup waktu,” kata Menko Polhukam Mahfud MD terkait putusan MK tentang UU KPK.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F03%2F13%2F045a5fb0-27c6-422c-bf02-b981b3f069de_jpg.jpg)
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan empat perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman di Gedung MK, Jakarta, Kamis (14/2/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, terkait putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pemerintah belum memutuskan sikap apapun. Mahfud mengaku sudah berkoordinasi dengan pihak istana yang memutuskan untuk mempelajari salinan putusan terlebih dahulu.
”Saya sudah berkoordinasi dengan istana. Pemerintah masih akan mempelajari substansi dan formatnya. Masih cukup waktu,” kata Mahfud melalui pesan singkat, Jum’at (26/5/2023).
Secara terpisah, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi berlaku dan memiliki kekuatan mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno pengucapan putusan. Hal itu tertuang dalam pertimbangan di putusan 112/PUU-XX/2022 yang dibacakan sebelumnya. Dalam pertimbangan putusan halaman 117 dinyatakan, dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023, atau kurang lebih enam bulan lagi, penting bagi mahkamah untuk segera memutus perkara untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan.
”Mahkamah menyegerakan memutus perkara itu agar putusan memberikan kepastian dan kemanfaatan berkeadilan bagi pemohon dan keseluruhan pimpinan KPK saat ini,” kata Fajar.
Baca juga: MK Ubah Masa Jabatan Pimpinan KPK dari 4 Tahun Menjadi 5 Tahun
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F01%2F16%2Fbd6291dc-7491-48b5-9964-f154567f7df1_jpeg.jpg)
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono Seoroso.
Ia menambahkan, pimpinan KPK yang saat ini menjabat dengan masa jabatan empat tahun akan berakhir pada Desember 2023 diperpanjang masa jabatannya satu tahun ke depan, hingga genap jadi lima tahun, sesuai dengan putusan MK. Menurut putusan 112/PUU-XX/2022, perubahan masa jabatan menjadi lima tahun juga berlaku bagi Dewan Pengawas KPK yang saat ini menjabat, dari semula jabatan menjadi empat tahun menjadi lima tahun.
Putusan yang mereformulasi masa jabatan pimpinan KPK itu dijatuhkan dalam sidang di MK, Jakarta, Kamis (25/5/2023), atas perkara uji materi yang diajukan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Dalam gugatannya, Ghufron meminta keadilan sebagaimana dijamin Pasal 27 dan 28D UUD 1945 agar masa jabatan pimpinan KPK sama dengan 12 lembaga non-kementerian lainnya, yakni lima tahun.
Mahkamah menyatakan, pengaturan masa jabatan pimpinan KPK yang terbatas selama empat tahun seperti diatur dalam Pasal 34 UU No 19/2019 itu melanggar prinsip keadilan. Sebab, pengaturan itu melanggar Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. MK membandingkan masa jabatan KPK dengan 12 lembaga non-kementerian yang memiliki constitutional importance, yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Ombudsman RI, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Yudisial, Lembaga Penjamin Simpanan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Otoritas Jasa Keuangan, Komisi Aparatur Sipil Negara, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih (kiri) berbicara dalam dalam sidang putusan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (25/5/2023). MK mengabulkan permohonan uji materi terkait perubahan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari empat tahun menjadi lima tahun. Sebelumnya, gugatan tersebut diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron sejak November 2022.
Seluruh pimpinan lembaga tersebut memiliki masa jabatan lima tahun. Oleh karenanya, ketentuan masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun tidak saja bersifat diskriminatif, tetapi juga tidak adil jika dibandingkan dengan komisi dan lembaga independen lainnya.
Dalam pertimbangannya, MK juga menyebutkan, pengaturan masa jabatan pimpinan KPK merupakan kebijakan hukum dari pembentuk UU. Akan tetapi, prinsip kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dapat disampingkan jika bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi. Mengacu beberapa hal itu, MK tak bisa lagi menyerahkan penentuan masa jabatan pimpinan KPK kepada pembentuk UU.
”Dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023 yang tinggal lebih kurang enam bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara aquo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan,” kata Hakim Konstitusi Guntur Hamzah saat membacakan pertimbangan MK.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy Hiariej, saat dihubungi dari Jakarta, mengatakan, berdasarkan penjelasan Juru Bicara MK, maka tidak ada tafsiran lain terhadap putusan MK yang mereformulasi masa jabatan pimpinan KPK itu. Tafsir dimaksud adalah masa jabatan pimpinan KPK diperpanjang satu tahun sampai dengan 20 Desember 2024.
”Dengan demikian, Presiden akan mengubah keppres (keputusan presiden) terkait masa jabatan pimpinan KPK yang akan berakhir 20 Desember 2023 diperpanjang satu tahun ke depan menjadi 20 Desember 2024,” kata Eddy.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F02%2F424e6ab1-1adb-429c-b1fc-3ac671040dac_jpg.jpg)
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy Hiariej di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (2/5/2023).
Menurut dia, penjelasan itu telah memberikan kepastian. Oleh karena itu, hendaknya tidak ada lagi kontroversi dalam menafsirkan putusan MK dalam perkara a quo.
Ketua KPK Firli Bahuri menilai putusan MK itu merupakan perpanjangan masa pengabdian dalam memberantas korupsi. Namun, ia lebih berfokus untuk menuntaskan tugas dengan baik selaku Ketua KPK periode 2019-2023 dibanding memikirkan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. ”Saya pastikan selama sisa waktu tugas ini, tidak akan ada proses hukum yang cacat hukum. Karena itu sebagai legacy,” ucap Firli dalam keterangan tertulis, Jumat.
Meski begitu, Firli mengaku siap menjalankan putusan MK untuk memperpanjang masa jabatan Pimpinan KPK hingga Desember 2024. Putusan itu memberi kesempatan bagi pemimpin KPK saat ini ataupun selanjutnya untuk lebih meningkatkan kinerja pemberantasan korupsi. ”Prinsipnya kami tetap berkomitmen untuk membersihkan negeri ini dari korupsi. Dengan perpanjangan masa pengabdian, maka upaya pemberantasan harus lebih dikuatkan, tidak boleh ada lagi celah para koruptor beraksi. Kami akan terus buru dan tangkap para pelaku korupsi,” kata Firli.
Firli memohon dukungan seluruh masyarakat Indonesia agar diberikan kekuatan dan keselamatan untuk menjalankan tugas sampai dengan Desember 2024. ”Kami juga menyampaikan terima kasih atas dukungan segenap anak bangsa dan rekan-rekan media yang selalu membersamai KPK selama ini dan berharap terus mendukung kami," katanya.
Inkonsistensi
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Didik Mukrianto, mengatakan, putusan MK itu tetap problematik karena obyek putusan semestinya bersifat open legal policy. Secara garis besar, kebijakan pembentukan hukum dapat dikategorikan open legal policy ketika konstitusi tidak mengatur atau tidak memberikan batasan jelas tentang bagaimana materi tertentu harus diatur oleh UU.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F29%2F0c639439-2619-4dd4-967a-1a5d83c0b448_jpg.jpg)
Ilustrasi Rapat Komisi III DPR.
Namun, jika pertimbangan hakim konstitusi dititikberatkan pada soal keadilan, sikap MK kembali dipertanyakan. Dalam putusan terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, misalnya, MK menyerahkan ketentuan formulasinya kepada pembentuk UU.
”Bukankah penentuan presidential threshold juga berpotensi tidak adil, bahkan menghambat demokrasi. Saya yakin, masih banyak putusan serupa yang posisinya demikian. Belum lagi pengaturan yang serupa di UU lainnya yang saat ini berlaku, termasuk UU MK. Putusan ini problematik,” kata Didik.
Didik mengingatkan, MK sebagai satu-satunya institusi yang berwenang menafsirkan konstitusi hendaknya bisa berlaku adil. MK harus bertindak sesuai dengan marwahnya, bukan mahkamah kepentingan atau pun mahkamah politis.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, menambahkan, pihaknya menghormati putusan MK. Akan tetapi, putusan itu tidak hanya akan berdampak pada UU KPK, tetapi juga UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK, yang mengatur masa jabatan hakim konstitusi. Pasal 87 UU MK mengatur, setiap hakim konstitusi bisa menjabat hingga 15 tahun selama usianya tidak melebihi 70 tahun.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F06%2F16%2F20210616RIANSEPTIANDI_ARSUL-SANI_2_1623847727_png.jpg)
Arsul Sani
Arsul mengatakan, agar prinsip keadilan seperti yang ditekankan berlaku secara konsisten, maka UU MK yang kini tengah direvisi juga harus diperlakukan sama. Masa jabatan hakim konstitusi juga harus dikembalikan pada ketentuan sebelumnya, yakni lima tahun dan dapat dipilih sekali lagi dengan masa yang sama. Saat ini, semua hakim MK sudah menjabat lebih dari lima tahun, bahkan ada yang mencapai 10 tahun.
”Ini memerlukan koreksi UU MK, agar MK konsisten dengan pertimbangan hukum dan prinsip keadilan bagi pejabat pimpinan lembaga negara independen,” kata Arsul.
Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, melihat ada yang janggal dari putusan MK terkait masa jabatan pimpinan KPK. Berkaca pada berbagai putusan terdahulu, MK selalu menyampaikan bahwa jika ada kebijakan open legal policy, itu akan diserahkan ke pembentuk UU. Tak hanya itu, Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa badan-badan lain mengenai kekuasaan kehakiman diatur lebih lanjut di dalam UU.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F08%2F18%2F51649293-2e0c-4099-9468-10355dddfc02_jpg.jpg)
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari
”Namun, dalam hal pimpinan KPK, mereka lupa standar open legal policy. Kenapa MK malah menabrak apa yang sebelumnya mereka yakini. Maka, di sanalah ada kecurigaan putusan ini rasa politiknya lebih kuat ketimbang kepentingan hukumnya,” kata Feri.
Sementara itu, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie berpandangan, putusan MK tentang reformulasi masa jabatan pimpinan MK itu bisa langsung berlaku dan tidak perlu dikonsultasikan dengan pembentuk undang-undang. Publik diajak untuk menjalani tradisi hukum, yakni menghargai putusan pengadilan meski hasilnya tidak selalu sempurna. Dengan menghargai putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat, Indonesia dapat membangun peradaban negara hukum dan demokrasi yang semakin berkualitas.
”Kualitas demokrasi dan negara hukum masih rendah. Saya berharap semua pejabat menyadari itu. Terlepas dari suka atau tidak suka, putusan yang sifatnya final dan mengikat jalankan saja,” kata Jimly.