Kejaksaan Agung menegaskan sudah menyelidiki dugaan korupsi dalam penyediaan menara BTS 4G yang melibatkan Menkominfo Johnny G Plate sejak Juli 2022. Pengusutan perkara itu tak ada urusannya dengan politik.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate (tengah) mengenakan rompi khusus saat ditahan seusai diperiksa di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (17/5/2023). Johnny G Plate menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyediaan base transceiver atau BTS dalam program BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2020-2022 sebesar Rp 8 triliun.
Tak lama setelah Kejaksaan Agung menggelar jumpa pers mengenai penetapan tersangka dan penahanan Johnny G Plate dalam kasus dugaan korupsi penyediaan menara BTS 4G, Rabu (17/5/2023), Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memanggil sejumlah elite partainya ke Nasdem Tower, Jakarta. Johnny tidak hanya sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika, tetapi juga menjabat posisi strategis di Nasdem sebagai sekretaris jenderal.
Setelah lebih dari empat jam menggelar rapat internal, Paloh menemui wartawan dan menyampaikan bahwa penahanan Johnny telah membawa kedukaan bagi Nasdem. Namun, ia menghormati proses hukum dan meyakini tidak ada intervensi politik ataupun kekuasaan dalam penanganan kasus yang merugikan negara hingga Rp 8,032 triliun tersebut.
Menjelang malam, bakal calon presiden (capres) yang diusung Nasdem, Anies Baswedan, terlihat pula datang ke Nasdem Tower. Ia menemui Paloh dan bertemu selama hampir 2,5 jam. Setelah pertemuan, Anies berharap kasus Johnny bukan upaya menjegalnya dalam mengikuti kontestasi di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung Kuntadi, yang hadir secara daring dalam acara Satu Meja The Forum bertajuk ”Plate Tersangka, Skenario Siapa?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (17/5/2023) malam, membantah spekulasi yang berkembang setelah penahanan Johnny, terutama bahwa penahanan itu sarat dengan muatan politis, terutama terkait Pilpres 2024. Ia menegaskan penanganan perkara yang melibatkan Johnny sama sekali tidak berkaitan dengan kepentingan politik.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, didampingi Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Kuntadi (kanan), hendak memberikan keterangan kepada wartawan seusai diperiksa sebagai saksi di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (14/2/2023).
”Kami melakukan penyelidikan perkara ini sudah dari Juli 2022. Penyidikan kami lakukan pada Oktober 2022. Artinya, butuh 4 bulan dari penyelidikan ke penyidikan dan butuh 8 bulan kami baru menetapkan tersangka. Jadi, saya rasa dari hitungan waktu, bisa kami simpulkan bahwa kami sama sekali tidak ada agenda keterkaitan dengan kegiatan politik di luar,” katanya.
Selain Kuntadi, narasumber lain dalam diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo adalah Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin, pemikir kebinekaan Sukidi, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno.
Mengenai pernyataan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dua hari sebelum penahanan Johnny, yang menyebutkan bahwa belum ada bukti keterlibatan Johnny dalam kasus tersebut, Kuntadi menjelaskan, proses penetapan tersangka dan penahanan tak bisa hanya dilihat sebatas rentang 48 jam. Publik juga harus memahami bahwa dalam rentang waktu tersebut Kejagung terus melakukan pemeriksaan terhadap saksi dan mengevaluasi bukti-bukti yang ada. Semua itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
”Bahwa pada saat (Senin, 15/5) itu disampaikan belum (ditemukan bukti keterlibatan Johnny), itu bukan berarti tidak ada. Tetapi, itu menunjukkan kami sangat hati-hati dalam menentukan status seseorang,” tambahnya.
Ngabalin meyakini Kejagung telah bekerja profesional, independen, dan obyektif. Maka, keliru jika penahanan Johnny lantas dikait-kaitkan dengan urusan politik, apalagi dikaitkan dengan kurang harmonisnya hubungan Paloh dan Presiden Jokowi belakangan ini.
”Pun pada Oktober 2022, Nasdem mendeklarasikan capresnya, kasus ini sudah berjalan. Jadi, tidak boleh dikait-kaitkan dengan urusan politik dan penegakan hukum,” katanya.
Hubungan Paloh dan Presiden Jokowi disebut-sebut mulai renggang setelah Nasdem mendeklarasikan Anies sebagai bakal capres. Retaknya hubungan ini kian kentara ketika Presiden tidak mengundang Paloh dalam pertemuan dengan para ketua umum partai politik (parpol) dari koalisi parpol pendukung pemerintahan Jokowi, di Istana Merdeka, awal Mei 2023.
Terlepas dari itu, Ngabalin menegaskan, sebenarnya siapa pun menterinya, jika menteri tersebut tersandung masalah hukum, Presiden tidak akan mengintervensi. ”Berulang kali beliau juga mengingatkan, jangan pernah ada yang cawe-cawe, terlibat terkait dengan masalah kasus hukum, termasuk korupsi,” ucapnya.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Mantan Menteri Sosial Juliari P Batubara menuju mobil tahanan seusai diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (3/2/2021).
Menteri yang korupsi
Johnny bukanlah menteri pertama di pemerintahan Jokowi yang terjerat kasus korupsi. Sebelumnya ada bekas Menteri Sosial Idrus Marham dan Juliari Batubara, bekas Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, serta bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Terhadap rentetan penangkapan terhadap para menteri itu, menurut Adi Prayitno, harus menjadi perhatian serius dari Presiden. Apalagi, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 sudah merosot dari skor 38 menjadi 34. Padahal, semestinya saat negara semakin terkonsolidasi dan demokratis, IPK semakin membaik.
”Nyatanya, di Indonesia, seakan paradoks. Di satu sisi, demokrasi kita berkembang pesat, minimal tingkat partisipasi politik, partai politik kita tumbuh besar hampir setiap pemilu berkembang, tetapi kita tak bisa menutup mata, korupsi kita seperti persepsi-persepsi yang muncul belakangan, ini adalah titik terendah selama 20-25 tahun terakhir,” ucapnya.
Usman Hamid bahkan melihat, 25 tahun pascareformasi, kualitas pemberantasan korupsi menurun. Namun, tak hanya itu, ia melihat ada upaya menebalkan kekuasaan eksekutif (executive aggrandisement) dengan cara memperalat senjata negara seperti instansi penegak hukum.
Menurut Sukidi, ada dua penyebab korupsi sulit diberantas. Pertama, bangsa ini tumbuh menjadi satu bangsa yang tidak kuat secara moral sehingga masih permisif terhadap berbagai penyimpangan moral. Karena itu, perlu digelorakan rasa malu terhadap penyimpangan moral, terutama korupsi.
Penyebab kedua, kepemimpinan bangsa ini dianggapnya tak merefleksikan spirit melayani publik. Kepemimpinan yang tumbuh justru feodalistik, paternalistik, dan berorientasi pada ketamakan diri sendiri, partai, orang lain, serta kroninya. ”Kita harus menuntut pemimpin untuk selalu setia melayani kepada rakyat kecil itu sendiri. Bukan hanya narasi, melainkan aksi,” ucapnya.