Minimnya Pengawasan Tingkatkan Risiko Transaksi Politik Uang dalam Pemilu
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengingatkan risiko terjadinya praktik politik uang saat Pemilihan Umum 2024. Hal ini kerap melibatkan kelompok rentan, termasuk penduduk perbatasan.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik politik uang marak ditemukan saat pemilihan umum berlangsung. Pihak partai politik pun mengakui bahwa persoalan itu sudah menjadi rahasia umum dalam setiap kontestasi politik.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan sejumlah potensi pelanggaran Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Berkaca dari pemilu sebelumnya, masalah-masalah itu dianggap kerap terjadi pada kelompok rentan, seperti pekerja buruh. Dari sejumlah permasalahan yang ditemukan pada berbagai kelompok rentan, salah satunya adalah praktik jual beli suara.
Menurut Wakil Ketua Tim Pengamatan Situasi Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara pada Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 Anis Hidayah, tindakan itu terjadi di wilayah antara Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat, dan Kuching, Sarawak, Malaysia.
Di wilayah perbatasan itu, pengawasannya sangat minimalis sehingga nanti ada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) (yang hadir diskusi). Kami (akan) sampaikan bagaimana hal ini dapat diantisipasi agar tidak berulang.
”Di wilayah perbatasan itu pengawasannya sangat minimalis sehingga nanti ada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) (yang hadir diskusi). Kami (akan) sampaikan bagaimana hal ini dapat diantisipasi agar tidak berulang,” ujar Anis di Jakarta, Jumat (12/5/2023).
Dalam laporan Komnas HAM, jarak antara perbatasan Kuching dan Kalimantan Barat sekitar 2.000 kilometer. Ada 90.894 warga negara Indonesia yang datanya harus divalidasi. Namun, Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) hanya berjumlah tujuh orang. Ketidakseimbangan antara beban kerja dan WNI yang perlu dilayani diperkirakan menurunkan pengawasan pemilu di luar negeri.
Selain itu, berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, Jawa Timur jadi wilayah lain yang berisiko ditemukan praktik politik uang. Hal ini jadi sorotan sebab provinsi itu merupakan salah satu daerah dengan jumlah pemilih terbesar di Indonesia, hingga 31,8 juta pemilih.
Pekerja rentan
Menurut Wakil Ketua Tim Pengamatan Situasi Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara pada Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 Saurlin P Siagian, ada sekitar 3,9 juta pekerja buruh yang tersebar di 65.000 perusahaan.
Pekerja ini rentan dengan politik uang karena ketika pemilu, mereka pasti pulang ke desa-desa dari kompleks industri perkotaan, seperti Sidoarjo.
”Pekerja ini rentan dengan politik uang karena ketika pemilu, mereka pasti pulang ke desa-desa dari kompleks industri perkotaan, seperti Sidoarjo,” kata Saurlin.
Kepulangan para pekerja ke kampung halaman kerap dimobilisasi sponsor, antara lain terkait biaya transportasi. Hal ini terus terjadi dari waktu ke waktu sehingga memengaruhi pula pilihan para pekerja.
Saat dihubungi terpisah, Wakil Ketua Umum DPP Partai Nasdem Ahmad Ali berujar bahwa praktik politik uang telah jadi ”tradisi” di tiap pemilu. Ia menyayangkan hal ini karena mencederai demokrasi.
Hubungan yang terjalin antarkonstituen dengan politisi hanya hubungan transaksional.
”Hubungan yang terjalin antarkonstituen dengan politisi hanya hubungan transaksional,” katanya.
Beberapa hal dapat menjadi indikator adanya hubungan transaksional antara politisi dan rakyatnya. Anggota DPR tak pernah turun ke daerah pemilihan (dapil) serta tak memiliki hubungan sosial yang baik. Mereka cenderung memanfaatkan praktik politik uang semasa pemilu.
Guna mencegah hal ini, Partai Nasdem mendorong kader-kadernya untuk membuat laporan kunjungan reses. Laporan itu jadi salah satu cara memitigasi praktik politik uang.
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi berharap para kader yang akan berkontestasi politik dapat bekerja sama dengan semua pihak untuk menghindari transaksi jual beli suara.
”Ada cara, strategi yang memang bagaimana bisa menarik simpati suara masyarakat tanpa harus menggunakan kekuatan uang. Kami ingin sinergi masyarakat, partai politik, penyelenggara pemilu betul-betul bisa lebih baik lagi,” tuturnya.