Keterwakilan Politik Perempuan di Parlemen Terancam Menurun
Anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, partai politik harus memperhatikan persyaratan pengajuan bakal calon anggota legislatif saat mendaftarkan ke KPU. Dalam daftar bakal calon, parpol wajib calonkan 30 persen perempuan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Anggota legislatif periode 2019-2024, Krisdayanti bersama Mulan Jameela (kanan), saat hadir dalam pelantikan anggota DPR, DPD, dan MPR dalam sidang paripurna di Gedung Kura-kura, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Keterwakilan politik perempuan yang menduduki kursi Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah pada Pemilu 2024 terancam menurun. Kalau kandidatnya lebih sedikit, keterwakilan politik perempuan di parlemen terancam semakin menurun. Di sisi lain, jumlah bakal calon anggota DPD yang bisa mendaftar hanya mencapai 19,86 persen.
Anggota Komisi Pemilihan Umum, Idham Holik, mengatakan, partai politik harus memperhatikan persyaratan pengajuan bakal calon anggota legislatif saat mendaftarkan ke KPU. Dalam daftar bakal calon yang didaftarkan, parpol wajib memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap daerah pemilihan. ”Penyusunan daftar bakal caleg harus memperhatikan affirmative action dengan diverse system,” katanya di Jakarta, Rabu (3/5/2023).
Dalam Pasal 8 Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dijelaskan penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil jika menghasilkan angka pecahan. Apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Jika nilainya 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
Penyusunan daftar bakal caleg harus memperhatikan affirmative action dengan diverse system.
KOMPAS/IQBAL BASYARI
Simulasi penghitungan keterwakilan perempuan dalam lampiran Keputusan KPU Nomor 352 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Lampiran Keputusan KPU Nomor 352 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota memberikan simulasi penghitungan keterwakilan perempuan. Jika menganut aturan tersebut, misalnya, parpol yang mengajukan tiga bakal caleg hanya perlu menempatkan satu bakal caleg perempuan meskipun penghitungannya kuotanya 1,20 persen. Kondisi ini berbeda dengan aturan di Pemilu 2019 yang mensyaratkan ada dua bakal caleg perempuan dalam setiap empat bakal calon di satu dapil karena pembulatan ke atas.
Begitu pula untuk jumlah bakal caleg tujuh dan delapan orang hanya perlu menempatkan 2 orang bakal caleg perempuan. Sementara parpol yang menempatkan 11 bakal calon di satu dapil hanya perlu menempatkan tiga bakal caleg perempuan.
Sementara di tingkat DPD, jumlah bakal calon yang dinyatakan memenuhi syarat minimal dukungan dari kalangan perempuan hanya 139 orang atau 19,86 persen dari total 700 orang. Bahkan, di Provinsi Sulawesi Barat, Papua Barat, dan Papua Barat Daya, tidak ada satu pun bakal calon DPD dari perempuan.
YOUTUBE MIPI
Direktur Eksekutif Puskapol UI Hurriyah
Berpotensi rugikan bakal caleg perempuan
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah menilai, aturan pembulatan tersebut berpotensi merugikan bakal caleg perempuan. Sebab, jumlah minimal bakal caleg perempuan yang harus disiapkan parpol berkurang dibandingkan di Pemilu 2019 pada jumlah bakal caleg tertentu. Tingkat keterpilihan pun berpotensi semakin menurun mengingat kandidat bisa berkurang.
”Argumen hitungan matematis KPU tidak tepat dan tidak sesuai dengan semangat pemilu inklusif, mendorong agar kuota 30 persen bisa terpenuhi dlm keterwakilan bakal calon maupun keterpilihan dalam pemilu,” ujarnya.
Merujuk data Pemilu 2019, jumlah caleg perempuan di DPR mencapai 3.194 orang dari total 7.968 caleg atau 40 persen. Namun, caleg perempuan yang terpilih dan mampu merebut kursi parlemen hanya 118 orang atau 20,52 persen.
Kalau kandidatnya lebih sedikit, keterwakilan politik perempuan di parlemen terancam semakin menurun.
”Kalau kandidatnya lebih sedikit, keterwakilan politik perempuan di parlemen terancam semakin menurun,” tutur Hurriyah.
Kondisi ini, katanya, diperparah dengan situasi pencalegan di sejumlah parpol yang hanya menempatkan perempuan sebagai syarat untuk memenuhi jumlah maksimal bakal caleg yang diajukan. Para bakal caleg perempuan tersebut seringkali tidak diberikan nomor urut atas dan tidak dibekali dengan persiapan yang memadai. Kondisi ini akhirnya mengakibatkan partisipasi perempuan dalam parlemen semakin menurun karena tingkat kepercayaan kepada penyelenggara dan parpol untuk melaksanakan kebijakan afirmasi tidak optimal.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Peneliti Formappi, Lucius Karus.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, selama ini afirmasi kuota 30 persen bakal caleg perempuan selalu direspons sebagai formalitas oleh parpol. Pemilihan figurnya pun hanya seadanya sebagai bentuk pemenuhan syarat pengajuan bakal calon ke KPU.
Dengan aturan pembulatan yang baru ini, parpol justru diuntungkan karena tidak terlalu kesulitan memenuhi kuota bakal caleg perempuan. Bahkan, parpol bisa semakin tidak serius melakukan kaderisasi perempuan untuk menjadi anggota parlemen karena kewajiban pemenuhan kuotanya semakin berkurang.
”Komitmen parpol yang rendah dalam mempersiapkan kader perempuan justru semakin diteguhkan dengan kehadiran aturan yang meringankan tuntutan ketersediaan caleg perempuan. Meskipun kelihatannya pembulatannya adil, sesungguhnya merugikan perjuangan representasi perempuan,” tutur Lucius.
Menurut dia, keterwakilan perempuan menjadi semakin dikesampingkan di parlemen jika ketersediaan anggota perempuan selalu tidak pernah mencapai kuota 30 persen. Apalagi, jika akhirnya yang terpilih adalah perempuan yang dicalonkan karena pertimbangan dinasti, kekerabatan, dan popularitas. ”Jumlah anggota DPR perempuan yang sedikit akan semakin meminggirkan suara perempuan di parlemen,” ujarnya.