Kesetaraan Keterwakilan dan Kursi DPR
UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah dilaksanakan pada pemilu serentak 2019. Bertambahnya kursi DPR sebanyak 15 kursi sehingga menjadi 575 di satu pihak menyelesaikan satu masalah, tetapi muncul masalah lain.

Anggota DPR menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum memulai sidang paripurna DPR ke 32, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/7). Sidang Paripurna dengan agenda pengambilan keputusan tingkat II terkait Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu tersebut dihadiri 385 dari total 560 anggota.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sudah dilaksanakan pada pemilu serentak 2019. Bertambahnya kursi DPR sebanyak 15 kursi sehingga menjadi 575 di satu pihak menyelesaikan satu masalah, tetapi pada pihak lain menimbulkan sejumlah masalah lain.
Provinsi yang selama ini mengalami kekurangan kursi dibandingkan dengan jumlah penduduknya (underrepresented) terselesaikan dengan penambahan kursi DPR ini. Dua belas kursi dialokasikan untuk Provinsi Riau, Lampung, dan Kalimantan Barat, masing-masing dua kursi; Kepulauan Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat masing-masing satu kursi. Kalimantan Utara sebagai provinsi baru mendapat tiga kursi.
Problem tersisa
Setelah UU itu dilaksanakan, ternyata menyisakan masalah alokasi kursi DPR pada sebagian provinsi dan pembentukan daerah pemilihan (dapil) anggota DPR. Permasalahan ini merupakan isu konstitusional, khususnya kesetaraan antarwarga negara dalam perwakilan (equal representation). Karena itu, permasalahan ini perlu dikemukakan agar menjadi perhatian Komisi II DPR yang sekarang tengah membahas rencana perubahan UU Pemilu secara lebih komprehensif.
Setelah UU itu dilaksanakan, ternyata menyisakan masalah alokasi kursi DPR pada sebagian provinsi dan pembentukan daerah pemilihan (dapil) anggota DPR.
Masalah pertama menyangkut ketidaksetaraan jumlah penduduk untuk satu kursi DPR bagi semua provinsi. Data berikut, berdasarkan Proyeksi Penduduk Indonesia 2005- 2025 yang disusun Bappenas, BPS, dan UNPF pada 2008, memperlihatkan masalah dalam alokasi kursi DPR.
Jumlah penduduk untuk satu kursi DPR pada 2018 untuk tujuh provinsi di luar Jawa berkisar 455.570 hingga 542.750 (Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, NTB, dan Kalimantan Timur), sama atau bahkan melampaui jumlah penduduk untuk satu kursi DPR di enam provinsi di Jawa (449.579 hingga 520.100).
Di delapan provinsi di luar Jawa, satu kursi DPR mewakili 404.050-423.478 penduduk. Di sembilan provinsi di luar Jawa, satu kursi DPR mewakili 355.891-399.733 penduduk. Dan di empat provinsi di luar Jawa, jumlah penduduk untuk satu kursi DPR berkisar 227.594-295.400.
Data tersebut menunjukkan pembuat UU (DPR dan pemerintah) yang membuat keputusan tentang alokasi kursi DPR ke setiap provinsi tak memiliki prinsip dan kriteria yang jelas dalam alokasi kursi. Alokasi kursi DPR ke setiap provinsi seharusnya berdasarkan prinsip kesetaraan keterwakilan sebagai pelaksanaan dari kesetaraan antarwarga negara sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945.

Dosen FISIP Budi Luhur Sidik Pramono, Pakar Pemilu dan dosen UNAIR Ramlan Surbakti, Koalisi Perempuan Indonesia Dewi Komala Sari, peneliti LIPI Syamsudin Harris, dan peneliti ICW Donal Fariz menjadi nara sumber dalam diskusi Merespon Pembahasan RUU Pemilu: Mewujudkan RUU Pemilu yang Adil dan Proporsional di Griya GusDur, Jakarta, Kamis (2/3/2017).
Pertanyaannya, apakah kesetaraan keterwakilan itu semata-mata berdasarkan jumlah penduduk ataukah juga mempertimbangkan luas wilayah Jawa dan luar Jawa?
Seperti diketahui jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa (dan Madura) mencapai 56 persen, sedangkan yang tinggal di luar Pulau Jawa 44 persen. Namun, luas Pulau Jawa hanya sekitar 1/6 wilayah Indonesia, sementara luar Jawa 5/6 wilayah Indonesia.
Jumlah anggota DPR yang mewakili 56 persen penduduk Indonesia yang tinggal di enam provinsi di Jawa (1/6 wilayah Indonesia) sebanyak 306 (53 persen), sedangkan jumlah anggota DPR yang mewakili 44 persen penduduk yang tinggal di 28 provinsi di luar Jawa (5/6 wilayah Indonesia) 269 (44 persen).
Pembuat UU tak menetapkan prinsip dan kriteria alokasi kursi DPR ke setiap provinsi, baik dalam UU No 10/2008 dan UU No 8/2012 maupun dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu. Pembuat UU langsung saja menetapkan alokasi kursi DPR untuk setiap provinsi beserta dapil masing-masing sebagai Lampiran Undang-Undang.
Masalah kedua berkaitan dengan pembentukan dapil yang tidak berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU Pemilu. Lingkup dapil DPR dan DPRD ditetapkan berdasarkan kombinasi jumlah penduduk dan wilayah administrasi. Pasal 22 Ayat (3) UU No 8/2012 yang menetapkan definisi lingkungan dapil DPR. ”Daerah Pemilihan Anggota DPR adalah provinsi, kabupaten/kota, dan gabungan kabupaten/kota.”
Pembuat UU tak menetapkan prinsip dan kriteria alokasi kursi DPR ke setiap provinsi, baik dalam UU No 10/2008 dan UU No 8/2012 maupun dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu.
Bahkan, pada ayat selanjutnya dikemukakan, apabila rumusan dapil itu tak dapat diterapkan, maka bagian dari wilayah kabupaten/kota dapat dijadikan bagian dari dapil anggota DPR. Lingkup dapil DPR ini juga diadopsi dalam UU No 7/2017. Pasal 185 UU No 7/2017 mengatur tujuh prinsip pembentukan dapil anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yaitu keselarasan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional, proporsionalitas, integritas wilayah, berada dalam cakupan wilayah yang sama, kohesivitas, dan kesinambungan.
Akan tetapi, sejumlah dapil anggota DPR yang dibuat sebagai Lampiran UU No 7/2017 justru cacat dari segi lingkup dapil. Dua lingkup dapil DPR mungkin tiada duanya di dunia karena melanggar prinsip keutuhan wilayah dapil.
Pertama, Dapil III DPR Jawa Barat yang meliputi Kabupaten Cianjur dan Kota Bogor merupakan dapil yang melanggar prinsip keutuhan wilayah karena melompati sebagian wilayah Kabupaten Bogor yang merupakan dapil DPR yang lain. Kedua, Dapil II DPR Kalimantan Selatan merupakan gabungan tiga kabupaten (Tanah Laut, Tanah Bumbu, Kotabaru) dan dua kota (Banjarmasin dan Banjarbaru).

Kota Banjarmasin terpisah dari Kota Banjarbaru yang dipisahkan oleh Kabupaten Banjar yang termasuk Dapil I DPR Kalimantan Selatan, sedangkan Kota Banjarbaru berbatasan dengan Kabupaten Tanah Liat, Kabupaten Tanah Liat berbatasan dengan Kabupaten Tanah Bumbu, dan Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Kotabaru dipisahkan oleh laut. Lingkup Dapil III DPR Jawa Barat dan lingkup Dapil II DPR Kalimantan Selatan tak sesuai ketentuan yang ditetapkan sendiri oleh pembuat UU.
Dengan rumusan lingkup dapil dan prinsip pembentukan dapil yang ditetapkan dalam UU tersebut, Dapil III Jawa Barat itu seharusnya dapat diperbaiki dengan memasukkan satu atau lebih kecamatan (seperti Kecamatan Puncak) dari wilayah Kabupaten Bogor menjadi bagian dari Dapil III sehingga Kota Bogor dengan Kabupaten Cianjur dihubungkan oleh kecamatan tersebut.
Satu atau lebih kecamatan dari Kabupaten Banjar dapat dijadikan bagian dari lingkup Dapil II DPR Kalimantan Selatan sehingga Kota Banjarmasin tersambung dengan Kota Banjarbaru dan lingkup Dapil II Kalimantan Selatan menjadi suatu kesatuan wilayah dapil. Namun, ketentuan ini tak dilaksanakan DPR dan pemerintah yang tak hanya menetapkan lingkup dapil dan tujuh prinsip penyusunan dapil, tetapi juga menetapkan dapil anggota DPR dan DPRD provinsi. Pembuat UU tak melaksanakan UU yang dibuat sendiri.
Pembuat UU tak melaksanakan UU yang dibuat sendiri.
Jumlah akhir kursi DPR
Masalah ketiga berkaitan dengan jumlah kursi DPR. Jika setiap penambahan daerah otonom provinsi baru diikuti penambahan kursi DPR untuk dialokasikan ke provinsi baru, dan mengingat sejumlah daerah sudah mengusulkan pembentukan sejumlah provinsi baru yang untuk sementara dimoratorium pemerintah, berapa jumlah akhir kursi DPR? Jika ada provinsi yang mengalami pertambahan penduduk yang tinggi diikuti dengan penambahan kursi DPR untuk dialokasikan ke provinsi itu, berapa jumlah akhir kursi DPR?
Setidaknya terdapat dua alternatif jawaban atas pertanyaan ini. Alternatif pertama, jumlah kursi DPR akan bertambah terus sesuai dengan penambahan provinsi dan pertumbuhan penduduk. Jumlah kursi DPR akan tetap apabila tak ada penambahan provinsi baru dan apabila tak terjadi pertumbuhan penduduk yang mencolok.
Alternatif kedua, DPR dan pemerintah menetapkan jumlah maksimal kursi DPR disertai dengan dua ketentuan tambahan. Kedua ketentuan itu berupa berapa jumlah penduduk untuk satu kursi DPR (berdasarkan jumlah ini alokasi kursi DPR suatu provinsi akan dikurangi apabila mengalami penurunan jumlah penduduk yang mencolok untuk dialihkan ke provinsi yang mengalami pertumbuhan penduduk mencolok), dan alokasi kursi DPR untuk provinsi baru diambil dari kursi provinsi induk karena sebagian wilayah dan sebagian jumlah penduduk provinsi induk telah menjadi bagian dari provinsi baru.

Majelis hakim konstitusi, Rabu (17/7/2019) kembali memimpin persidangan sengketa PHPU pileg di Mahkamah Konstitusi.
Alternatif pertama sangat buruk dari segi efisiensi dan efektivitas, tetapi paling mudah menjadi kesepakatan karena fraksi/partai di DPR dan pemerintah tak perlu berdebat dan bersitegang. Alternatif kedua paling masuk akal sebagaimana diadopsi negara demokrasi lain, tetapi mungkin perlu deliberasi secara luas untuk mencapai kesepakatan.
Jumlah kursi DPR yang paling rasional di dunia adalah Lhok Sabha India sebanyak 543, dengan jumlah penduduk India 1,2 miliar. AS yang berpenduduk 330 juta memiliki 435 kursi DPR. Dua negara demokrasi lain yang mempunyai kursi DPR sangat berlebih dibandingkan jumlah penduduknya adalah Inggris (650 kursi parlemen untuk 66 juta penduduk) dan Jerman (709 kursi Bundestag untuk 83 juta penduduk.
Jumlah kursi parlemen di Inggris begitu tinggi untuk menjaga kesatuan Inggris Raya karena tuntutan wilayah Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara. Jumlah kursi parlemen Jerman menjadi besar setelah Jerman Timur bersatu dengan Jerman Barat menjadi Jerman. Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 260 juta memiliki 575 kursi DPR, dan mungkinkah akan bertambah lagi?
(Ramlan Surbakti Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga, dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia)