Warga yang tak tercatat di daftar pemilih dipastikan masih akan ditemui pada Pemilu 2024. Begitu pula pemilih yang memaksa menggunakan hak suaranya di TPS berbeda. Permasalahan klasik ini harus diantisipasi.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
Meskipun proses penyusunan daftar pemilih dilakukan bertahap dan melalui penyisiran yang berlapis, berdasarkan pengalaman dari pemilu ke pemilu, permasalahan klasik yang dihadapi pemilih diperkirakan masih akan membayangi Pemilihan Umum 2024. Seperti pada beberapa pemilu sebelumnya, ada saja pemilih yang tak tercatat dalam daftar pemilih tetap hingga pemilih yang memaksakan diri menggunakan hak suara di tempatnya merantau tanpa mengurus pindah lokasi tempat memilih terlebih dahulu.
Jika tak diantisipasi sejak dini, berbagai permasalahan itu bisa menyebabkan hilangnya hak warga menggunakan suaranya untuk ikut menentukan arah masa depan bangsa. Peran serta setiap warga, termasuk penyelenggara pemilu, menjadi penting untuk mengatasi permasalahan itu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Hingga 10 bulan sebelum Pemilihan Umum 2024 diselenggarakan pada 14 April 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu telah mendata warga yang bisa menggunakan hak pilihnya. Petugas pemutakhiran data pemilih mendatangi rumah warga untuk melaksanakan tahapan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih.
Dari pelaksanaan coklit yang berlangsung mulai dari 12 Februari hingga 14 Maret tersebut, KPU telah menetapkan daftar pemilih sementara (DPS) Pemilu 2024 sebanyak 205.853.518 pemilih, yang terbagi atas 102.847.040 laki-laki dan 103.006.478 perempuan. Pemilih tersebut tersebar di 514 kabupaten/kota, 7.277 kecamatan, dan 83.860 desa/kelurahan. Mereka akan memilih di 823.287 tempat pemungutan suara (TPS) di dalam dan luar negeri.
Jumlah pemilih tersebut masih belum final. KPU masih melaksanakan penyusunan daftar pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP) pada 1 Mei hingga 18 Juni mendatang dan dilanjutkan penyusunan daftar pemilih tetap (DPT) pada 19-21 Juni. Rekapitulasi dan pengumuman DPT akan dilaksanakan 22 Juni 2023 hingga 14 Februari 2024.
Anggota KPU, Betty Epsilon Idroos, di Jakarta, Selasa (18/4/2023), menyebutkan, jika ada warga yang tak terdaftar dalam DPT, hal itu tak bisa dihindari. Menurut dia, meskipun KPU telah menyusun daftar pemilih, masih ada kemungkinan pemilih yang belum terdata.
Oleh karena itu, KPU memberikan kesempatan kepada masyarakat, pengawas pemilu, serta peserta pemilu untuk menyampaikan tanggapan terhadap DPS paling lama 21 hari setelah DPS diumumkan. Masukan dan tanggapan dapat disampaikan apabila dalam DPS yang telah dirilis terdapat kesalahan data pemilih, pemilih yang belum terdaftar, atau perubahan status pemilih. Perubahan status pemilih bisa dari yang memenuhi syarat (MS) menjadi tidak memenuhi syarat (TMS), atau sebaliknya.
Masukan dan tanggapan dapat disampaikan apabila dalam DPS yang telah dirilis terdapat kesalahan data pemilih.
Pemilih yang dikategorikan sebagai pemilih MS adalah warga negara Indonesia (WNI) berusia 17 tahun pada tanggal pemilihan atau sudah pernah menikah. Pemilih yang dikategorikan TMS adalah pemilih yang meninggal, pemilih yang belum berusia 17 tahun, serta anggota TNI-Polri.
Tanggapan bisa disampaikan ke Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), atau KPU kabupaten/kota dengan mengisi formulir Model A-Tanggapan yang disertai dokumen seperti kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) dan kartu keluarga (KK).
Publik juga dapat mengecek secara mandiri melalui portal cekdptonline.kpu.go.id. Apabila data pemilih belum sesuai atau belum terdaftar, dapat dilakukan pelaporan melalui fitur klik ”Daftar” pada laman tersebut, kemudian akan diarahkan ke portal laporpemilih.kpu.go.id. Melalui portal tersebut, calon pemilih dapat mengusulkan perbaikan data atau mendaftarkan diri sebagai pemilih baru.
Permasalahan klasik lain datang dari warga yang bekerja merantau. Mereka umumnya tak menggunakan hak politiknya di TPS di kampung halaman atau sesuai alamat di KTP-el. Hal itu dikarenakan mereka tak bisa meninggalkan pekerjaan di kota tempatnya merantau. Bagi yang sudah masuk dalam DPT, kata Betty, mereka bisa mengurus pindah TPS paling lambat 30 hari sebelum pemungutan suara.
Menurut Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu, ada delapan kriteria pemilih yang bisa mengurus perpindahan lokasi memilih. Kriteria itu di antaranya menjalankan tugas di tempat lain pada hari pemungutan suara dan sedang menjalani hukuman penjara.
Anggota KPU DKI Jakarta, Partono Samini, mengatakan, pemilih yang pindah lokasi TPS banyak ditemukan di wilayah perkotaan, seperti halnya Jakarta. ”Pada Pemilu 2019, ada sekitar 180.000 pemilih yang pindah memilih di Jakarta,” ucapnya.
Problemnya, menurut Partono, pemilih dari luar daerah tersebut ada saja yang tidak tahu ataupun enggan mengurus formulir A-5 Pindah Memilih. Mereka langsung mendatangi TPS saat hari pemungutan suara. Seperti pada Pemilu 2019, muncul kabar bohong atau hoaks melalui media sosial yang menyebutkan pemilik KTP-el dapat menggunakan hak pilih di TPS mana pun.
Pemungutan suara ulang
Akibatnya, mereka tidak terdaftar dalam daftar pemilih tambahan di TPS tempatnya merantau. Kondisi itu kerap menimbulkan adu mulut antara pemilih dan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS. Sebab, pemilih memaksa agar tetap dapat menggunakan hak suaranya.
Situasi-situasi seperti itu akhirnya membuat KPPS memperbolehkan pemilih menggunakan hak pilihnya. Badan Pengawas Pemilu akhirnya merekomendasikan TPS tersebut melakukan pemungutan suara ulang. ”Satu surat suara saja dari mereka yang memaksa menggunakan hak pilihnya bisa membuat pemungutan suara ulang,” ujar Partono.
Situasi lain yang kerap dihadapi pemilih, lanjutnya, adalah pemilih yang belum memiliki KTP-el. Masalah ketiga ini bisa diatasi dengan membawa KK ke TPS sebagai pengganti KTP-el.
Situasi-situasi seperti itu akhirnya membuat KPPS memperbolehkan pemilih menggunakan hak pilihnya. Badan Pengawas Pemilu akhirnya merekomendasikan TPS tersebut melakukan pemungutan suara ulang.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta mengatakan, untuk mengatasi permasalahan klasik ini, KPU harus melaksanakan tahapan coklit secara optimal karena tahapan itu jadi awal penetapan daftar pemilih. Untuk itu, Bawaslu mesti memiliki data pemilih yang detail untuk memastikan semua warga yang memenuhi syarat terdaftar sebagai pemilih.
KPU dan Bawaslu juga harus memberikan bimbingan teknis kepada semua petugas ad hoc, KPPS, agar tak ada warga atau perantau yang memaksakan diri menggunakan hak suara di TPS berbeda. ”Jika semua petugas ad hoc memahami aturan yang ada, pelanggaran tidak akan terjadi sehingga tidak sampai ada pemungutan suara ulang,” ujar Kaka.