Lini Masa Pembebasan Papua dari Kekerasan
Gejolak di tanah Papua terus berulang. Terakhir, empat prajurit TNI dalam operasi penyelamatan sandera gugur diserang kelompok kriminal bersenjata. Evaluasi penanganan Papua diperlukan.

Berselang dua bulan, operasi pembebasan sandera pilot Susi Air, Philip Mehrtens, belum juga membuahkan hasil. Kondisi terkini, operasi pembebasan diperluas ke empat kabupaten, yakni Kabupaten Nduga, Lanny Jaya, Yahukimo, dan Puncak Papua.
Konflik senjata yang melibatkan TNI dan Polri dengan kelompok kriminal bersenjata di Papua terus terjadi. Konflik itu tak hanya mengorbankan warga sipil, tetapi juga aparat yang menjaga keamanan, termasuk dari KKB. Dibutuhkan desain pendekatan yang dapat menekan ekosistem konflik dan masyarakat setempat dapat hidup dengan rasa aman daripada hanya mengandalkan operasi keamanan.
Konflik terakhir di Papua menyebabkan empat prajurit gugur dan satu orang lainnya masih dicari setelah diserang KKB. Mereka menjadi korban saat melaksanakan operasi menyelamatkan sandera berkebangsaan Selandia Baru di daerah Mugi, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, pertengahan April lalu.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat sepanjang 2022, konflik bersenjata di Papua mengakibatkan 63 korban jiwa. Korban ini terdiri dari 46 warga, 13 anggota TNI/Polri, dan 4 anggota KKB. Sementara itu, catatan Kompas dan data TNI/Polri menyebutkan sudah terjadi enam aksi penyerangan terhadap aparat keamanan oleh KKB di tahun 2023. Peristiwa ini terjadi di dua kabupaten di Papua Pegunungan, yakni Yahukimo dan Nduga, serta tiga kabupaten di Papua Tengah, yakni Intan Jaya, Puncak, dan Puncak Jaya.
Konflik terakhir di Papua menyebabkan empat prajurit gugur dan satu orang lainnya masih dicari setelah diserang KKB.
Sejauh ini, pemerintah telah melakukan pendekatan kesejahteraan dan pembangunan infrastruktur dalam merespons kekerasan di papua. Sejak menjabat sebagai Kepala Negara pada 2014, Presiden Joko Widodo sudah belasan kali mengunjungi Papua. Seperti dalam kunjungan di masa awal menjabat 27-29 Desember 2014, Presiden meletakkan batu pertama pembangunan Pasar Pharaa dan Pasar Mama-mama di Sentani, Jayapura, mengunjung lokasi pembangunan Jembatan Holtekamp yang menghubungkan Toubati Enggros dengan kawasan Holtekamp di Jayapura, serta memantau kemajuan pebangunan Pasar Rufei dan pelabuhan di Sorong.
Selain bertemu sukarelawannya untuk pemenangan pemilihan presiden, Presiden juga sempat berdialog dengan banyak tokoh adat, kelompok masyarakat, dan tokoh agama baik di Wamena maupun di Sorong. Sebagian besar infrastruktur, seperti Jembatan Holtekamp yang kini disebut Jembatan Youtefa maupun Pasar Pharaa dan Pasar Mama-mama, sudah rampung.
Tahun lalu, dibentuk tiga daerah otonom baru—Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, dan Provinsi Papua Selatan. Presiden Jokowi menyebut pemekaran wilayah ini akan mempermudah jangkauan pelayanan di tanah Papua yang luas. Apalagi, aspirasi tersebut berasal dari masyarakat Papua sendiri dan sudah disuarakan sejak beberapa tahun lalu. ”Ini dalam rangka pemerataan pembangunan karena memang tanah Papua ini terlalu luas kalau hanya dua provinsi terlalu luas,” ujar Presiden, Rabu (31/8/2022).
Namun, pendekatan yang demikian masih belum optimal menekan kekerasan di Papua.
Baca juga: Potret Kesejahteraan dan Kekerasan di Papua

Para korban luka dalam insiden kontak senjata antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata di Kampung Olenki, Kabupaten Puncak, Papua, Selasa (17/9/2019).
Jika menengok ke belakang, beragam cara juga telah diupayakan pemerintah untuk mengatasi problem keamanan di Papua. Terhitung sejak dilakukan Pembebasan Papua (dulu disebut Irian Barat dan selanjutnya Irian Jaya) yang terjadi di masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Kala itu Bung Karno menggelorakan Tri Komando Rakyat. Mayor Jenderal Soeharto ditugaskan oleh Presiden Soekarno menjadi Panglima Komando Mandala untuk membebaskan Irian Barat. Selain menyiapkan operasi militer, Indonesia pun berjuang membebaskan Papua melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selanjutnya, pada 16 Agustus 1962, tercapai Persetujuan New York tentang penyerahan Irian Barat kepada RI.
Saat telah menjadi Presiden kedua RI, Soeharto menuturkan ada kekhususan pembangunan di Irian Barat. Apalagi, wilayah tersebut tertinggal 17 tahun dibandingkan wilayah lain di Indonesia yang merdeka sejak tahun 1945.
”Waktu Orde Baru melaksanakan pembangunan, saya menaruh perhatian khusus kepada Irian Jaya. Saya tetapkan, daerah itu harus mengejar ketinggalannya,” katanya pada buku Soeharto Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang dipaparkannya kepada G Dwipayana dan Ramadhan KH.
Percepatan pembangunan
Di samping dana pembangunan untuk provinsi, Soeharto menuturkan, ada pula dana lain untuk wilayah Irian Jaya yang melewati Inpres Desa, Kabupaten, atau Provinsi. Begitu pula Inpres SD, Inpres Puskesmas, dan dana khusus sebagai tambahan untuk mempercepat pembangunan di wilayah tersebut.
Salah satu yang dikenang dari Presiden Abdurrahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur, adalah pendekatannya dalam menangani Papua. Pada akhir Desember 1999, Presiden Gus Dur mengunjungi Jayapura. Laporan wartawan Kompas saat itu menyebutkan, sedikitnya 20.000 orang yang menamakan dirinya sebagai rakyat Papua Barat ikut menjemput Gus Dur di Bandara Sentani.
Kala itu Presiden pun berdialog dengan tokoh atau pemimpin masyarakat dari Irian Jaya. Pada malam terakhir tahun 1999 itu pula Gus Dur setuju pergantian nama Irian Jaya menjadi Papua. Sebelumnya, Theys H Eluay, yang mengklaim sebagai pemimpin besar Papua, meminta presiden mengembalikan nama asli Papua.
Baca juga: Anak Korban Kekerasan dan Konflik di Papua Meningkat Tajam
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F08%2F20%2Fe52821b2-7c41-4e5e-844a-fac6820cba82_jpg.jpg)
Mahasiswa asal Papua mengikuti karnaval budaya untuk memperingati 100 hari meninggalnya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Jalan Malioboro Yogyakarta, Sabtu (10/4). Dalam karnaval budaya yang dimotori oleh Kaum Muda Nahdlatul Ulama Yogyakarta tersebut ditampilkan atraksi seni budaya dari sejumlah propinsi di Indonesia yang diwakili oleh para mahasiswa yang ada di Yogyakarta.
Di sisi lain, pada dialog saat itu, Gus Dur tegas menolak permintaan beberapa tokoh masyarakat Irian Jaya yang menghendaki kemerdekaan Papua. Menurut Gus Dur, tugasnya sebagai presiden adalah menjaga keutuhan wilayah Indonesia seperti yang diatur dalam UUD 1945.
”Saya akan mempertahankan dengan cara-cara serta kemampuan saya. Jika permintaan tersebut sebatas pernyataan sikap silakan, asal jangan berusaha menegakkan negara dalam negara,” kata Presiden Gus Dur (Kompas, 1 Januari 2000).
Sementara itu, seperti tertulis di buku berjudul SBY,Selalu Ada Pilihan, untuk Pencinta Demokrasi dan Para Pemimpin Indonesia Mendatang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpandangan salah satu isu sensitif dan fundamental di Papua adalah menyangkut hak asasi manusia (HAM). Presiden Yudhoyono pun menyampaikan inti jawaban kepada para kolega pemimpin dunia yang menanyakan soal itu.
”Saya mengerti ada concern banyak negara tentang isu HAM di Papua. Saya pastikan bahwa dalam menjaga keamanan di wilayah itu, tentara dan polisi kami juga menghormati hukum dan hak-hak asasi manusia. Jika ternyata ada pelanggaran atas hukum dan HAM di sana, siapa pun yang bersalah kami tindak. Tidak ada yang kebal,” kata Presiden SBY.
Kendati demikian, di masa pemerintahan Presiden SBY, pendekatan pembangunan juga lebih ditekankan. Pada 2011, dibentuk Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) dengan Kepalanya Bambang Darmono.
Pendekatan humanis berbasis teritorial yang pernah disebut-sebut Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada akhir November 2022 lalu untuk mengatasi masalah keamanan juga belum tampak realisasinya.
Tantangan saat ini
Kini, setelah dilakukan pemekaran daerah otonom pada 2022, Papua masih menghadapi persoalan klasiknya, yakni kekerasan yang melibatkan KKB dan aparat keamanan. Pendekatan humanis berbasis teritorial yang pernah disebut-sebut Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada akhir November 2022 untuk mengatasi masalah keamanan juga belum tampak realisasinya.
Saat itu, Wapres Amin mengatakan, akar masalah di Papua adalah kesejahteraan dan penegakan HAM. Karena itu, kata Wapres, pemerintah tidak pandang bulu. Siapa pun yang melanggar HAM akan diproses secara hukum. ”Ya sudah. Salah satu akarnya itu, satu, kesejahteraan. Dan yang kedua (menyangkut) penegakan hak asasi manusia. HAM-HAM itu kita tegakkan,” kata Wapres Amin.
Baca juga: Juni, Wapres Bakal di Papua Selama Seminggu
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F21%2F054c3e4d-a61b-446c-b2dc-3c04e40996b8_jpeg.jpg)
Mayor Inf (Purn) Isak Sattu berjalan ke kursi terdakwa sesaat sebelum sidang pelanggaran HAM Berat Paniai dimulai di Pengadilan Negeri Makassar, Rabu (21/9/2022).
Sayangnya, sejumlah pelanggaran HAM di Papua lebih tampak dibiarkan, tanpa ada penyelesaian. Sebut saja Tragedi Wasior (2001) dan Peristiwa Wamena (2003). Kalaupun ditangani serius, seperti Kasus Paniai (2014) yang bisa menyeret satu tersangkanya menjadi terdakwa di pengadilan HAM, itu pun tak memuaskan hasilnya. Terdakwa tunggal dalam kasus itu, Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu, divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan HAM di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, pada awal Desember 2022.
Upaya Wapres Amin mengunjungi Papua juga belum mampu membuka ruang dialog dengan KKB. Pada kunjungan ke beberapa kota dan kabupaten di tanah Papua pada 28 November hingga 2 Desember 2022, Wapres menyebut kunjungan kerja (kunker) tersebut bagai ”tawaf Papua”, berputar mengelilingi Papua. Saat itu, ia mengunjungi Jayapura, Merauke, Mimika, Kaimana, dan Biak Numfor.
Apabila dicermati, ada perbedaan antara destinasi yang direncanakan dikunjungi Wapres dan pelaksanaan kunjungan kerja. Awalnya, Wapres akan mengunjungi Provinsi Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Sulawesi Selatan. Namun, dalam pelaksanaannya, Wapres Amin tidak jadi mengunjungi Papua Pegunungan.
Di Papua Pegunungan di hari-hari saat kunjungan Wapres Amin ke Papua, seperti diberitakan Kompas.id, 30 November 2022, terjadi dua peristiwa berdarah di Distrik Deikai, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan. Pada Selasa (29/11/2022), Brigadir Muhammad Yusdhar gugur ditembak orang tidak dikenal.
Sehari berikutnya, Brigadir Dua Gilang Aji Prasetya juga gugur dan diduga ditembak KKB. Di peristiwa yang sama, Brigadir Satu Fazuarsyah dan Bripda Dona Bagaskara terluka parah. Para korban tewas dan terluka adalah bagian dari personel Operasi Damai Cartenz yang berfokus pada pelayanan kesehatan, pendidikan, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat di Papua.
Menurut Juru Bicara Jaringan Damai Papua Yan Christian Warinussy, situasi keamanan yang tidak kondusif akan menjadi kendala bagi Wapres Amin yang kini mengemban misi sebagai Ketua Badan Pengarah Percepatan Otonomi Khusus Papua. ”Program pembangunan di Papua akan terhambat karena faktor keamanan yang tidak kondusif,” kata Yan.
Siaga tempur
Kini, untuk pengamanan di tanah Papua, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono pada Selasa (18/4/2023), yang tengah berada di Surabaya, Jawa Timur, menyampaikan, pihaknya sudah mengerahkan 11.400 personel dalam misi operasi keamanan di Papua. Prajurit ini disebar di berbagai wilayah termasuk perbatasan antara Indonesia dan Papua Niugini. TNI juga ditugaskan menjaga keamanan obyek vital yang ada di Papua.
Sejauh ini, TNI belum berencana menambah pasukan untuk menjaga keamanan dan ketertiban di Papua. Rotasi yang dilakukan adalah rotasi rutin. Yudo menambahkan, TNI tetap melaksanakan operasi penegakan hukum. Adapun di daerah tertentu sesuai kondisi terkini, operasi diubah menjadi operasi siaga tempur.
Baca juga: Papua Darurat Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak

Ikhsan Yosarie
Langkah itu menuai kritik dari sejumlah pihak. Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute, Ikhsan Yosarie, menegaskan bahwa peran Presiden dan Wapres dalam menciptakan kedamaian di Papua yang kerap bergejolak perlu terus diarusutamakan dan diakselerasi. ”Peran-peran ini juga linier dengan pendekatan keamanan manusia,” ujarnya.
Cara pendekatan keamanan manusia (human security) yang menjadi rekomendasi PBB dinilai dapat membuka dan memuluskan upaya perdamaian di Papua ketimbang dengan pendekatan keamanan. ”Terutama operasi siaga tempur yang potensial akan menutup jalur dialog tersebut. Sebab, kedua pihak tentu akan sama-sama mengedepankan pendekatan keamanan sehingga berpotensi menambah korban jiwa dan luka-luka,” ujar Ikhsan, Rabu (19/4/2023).
Di kesempatan berbeda, Ismail Hasani, peneliti senior Setara Institute dan pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengatakan, penyerangan dan kontak tembak Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) terhadap aparat keamanan dalam upaya pencarian Pilot Susi Air yang disandera KKB di wilayah Mugi-Mam, Kabupaten Nduga, pada 15 April 2023, memicu eskalasi konflik yang kian memanas di Papua.
Cara pendekatan keamanan manusia (human security) yang menjadi rekomendasi PBB dinilai dapat membuka dan memuluskan upaya perdamaian di Papua ketimbang dengan pendekatan keamanan.
”Bukan hanya menambah panjang rentetan peristiwa penembakan dan korban, peristiwa tersebut semakin memperkuat ekosistem konflik dan kekerasan di Papua sehingga menciptakan kondisi yang sangat tidak aman bagi kehidupan masyarakat dan aparat di Papua, terutama menciptakan ketakutan terhadap anak-anak,” ujarnya.
Kondisi ini bertentangan dengan semangat dan fokus pendekatan keamanan manusia dalam merespons berbagai konflik di banyak negara di dunia. Eskalasi konflik ini akan semakin memanas dengan peningkatan status operasi di Papua menjadi operasi siaga tempur darat untuk melawan KKB, sebagaimana disampaikan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono pada 18 April 2023.
Peningkatan status ini bukan hanya semakin menebalkan rasa takut, melainkan juga mencemaskan banyak aspek kemanusiaan. Sebuah operasi siaga tempur dipastikan akan mengutamakan keberhasilan operasi dan dipastikan akan mengorbankan aspek keamanan manusia.
Peningkatan status operasi di Papua menjadi operasi tempur juga dinilai kontraproduktif dengan pernyataan Laksamana Yudo Margono, setelah resmi dilantik sebagai Panglima TNI, untuk menggunakan pendekatan yang lebih humanis di Papua. Operasi tempur tidak relevan dalam upaya resolusi konflik di Papua. Sebab, pendekatan keamanan hanya memicu pihak-pihak lainnya turut menggunakan pendekatan keamanan serupa sehingga menutup ruang dialog dan pendekatan humanis lainnya.
Baca juga: Investigasi Komnas HAM, Anggota TNI Diduga Aniaya Tujuh Anak di Sinak
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F08%2F18%2Fbc8f69bb-7af7-430c-91c1-2ef144286b52_jpeg.jpg)
Direktur Ekskekutif Setara Institute Ismail Hasani
Alih-alih fokus memastikan dan membangun desain pendekatan yang lebih humanis di Papua, peningkatan status operasi ini semakin memperkuat ekosistem konflik dan kekerasan, yang akan menjadi bahaya saat ini dan masa mendatang. Melalui pendekatan keamanan Manusia, rasa aman masyarakat di Papua menjadi prioritas utama dalam penanganan konflik.
Pendekatan keamanan manusia dibangun untuk mengikis dehumanisasi. Melalui pendekatan ini, setiap orang berhak untuk bebas dari rasa takut (freedom from fear), bebas atas apa yang diinginkan (freedom from want), dan bebas untuk kehidupan yang bermartabat (freedom to live in dignity). ”Tiga kebebasan dasar ini pula yang hilang dari Papua dan negara, bisa mulai mengembalikannya dengan pilihan-pilihan penanganan yang manusiawi,” ujar Ismail.
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid juga menilai operasi tempur yang ditetapkan TNI justru akan terus memproduksi spiral kekerasan. Justru, peristiwa yang menewaskan prajurit TNI akhir pekan lalu semestinya menjadi pelajaran berharga bagi Presiden dan DPR untuk mengevaluasi pendekatan keamanan militeristik yang selama ini dijalankan di Papua.
Pendekatan keamanan militeristik sekaligus melahirkan praktik impunitas dalam kekerasan yang melibatkan aparat keamanan. Hal ini perlu segera diputus untuk mencegah berulangnya kekerasan aparat kepada masyarakat sipil di Papua sekaligus menjadi titik awal untuk membuka ruang dialog.
Perjuangan membebaskan, membangun, dan menjaga Papua sebagai bagian NKRI adalah perjuangan tanpa henti dari masa ke masa. ”Irian Barat adalah sebagian dari tubuh kami,” kata Presiden Soekarno dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams. Merujuk pandangan Bung Karno tersebut, sebagaimana halnya bagian tubuh, maka Papua mesti dirawat dengan tepat, dulu, kini, hingga sepanjang hayat negeri ini.
Masyarakat Papua sebagai bagian masyarakat Indonesia memiliki hak dan kewajiban sama dengan saudara-saudaranya di Tanah Air. Untuk itu, semestinya menghadapi gejolak di sana tentu bukan sekadar menggunakan pendekatan keamanan, melainkan jalan kemanusiaan.