Wapres Amin akan ”berkantor” selama seminggu di tanah Papua pada Juni. Sejumlah agenda seremonial menanti. Pengamat menilai, lebih penting membangun kepercayaan masyarakat Papua ketimbang sebatas kunjungan kerja.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Presiden Ma’ruf Amin akan kembali mengunjungi Papua pada Juni mendatang. Dalam kunjungan kerja sekitar sepekan itu, beberapa agenda seremonial sudah menanti. Kunjungan kerja itu pun diharapkan diimbangi dengan upaya kepercayaan masyarakat Papua ketimbang sekadar hadir dalam acara seremonial.
Kepala Sekretariat Wapres Ahmad Erani Yustika, Sabtu (29/4/2023), dari Malang, Jawa Timur, menyebutkan, kunjungan kerja Wapres ke Papua diperkirakan berlangsung pada akhir Juni dan akan berlangsung sekitar satu minggu. Meski demikian, waktu kunjungan belum ditentukan karena masih menyesuaikan dengan jadwal lainnya.
”Jumlah kota/kabupaten yang akan dikunjungi tetap akan banyak. Kalau ada yang tidak dikunjungi, nanti protes, dianggap perhatian (yang diberikan) tidak sama,” tuturnya.
Sejauh ini, beberapa kota dan kabupaten sudah mulai dicatat sebagai tujuan kunjungan kerja. Namun, semua masih akan dipertimbangkan lebih lanjut. Salah satu prioritas adalah daerah-daerah yang belum sempat disambangi saat kunjungan kerja terakhir.
Kunjungan kerja Wapres ke Papua diperkirakan berlangsung pada akhir Juni dan akan berlangsung sekitar satu minggu.
Sepanjang 28 November sampai 2 Desember 2022, Wapres mengunjungi Jayapura, Merauke, Mimika, Kaimana, dan Biak Numfor. Saat itu, Wapres tidak jadi mengunjungi Provinsi Papua Pegunungan meski masuk dalam rencana. Di hari-hari menjelang kedatangan Wapres, terjadi penembakan di Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan, pada 29 November 2022 dan seorang prajurit TNI gugur. Sehari setelahnya, terjadi lagi penembakan dan mengakibatkan seorang lagi prajurit TNI gugur dan dua prajurit terluka.
”Permintaan Pak Wapres untuk hadir di sekian banyak titik di Papua, tetapi nanti akan kami sisir (dengan pertimbangan) dari sekian banyak aspek, terutama yang belum pernah dikunjungi, kemudian (aspek) keamanan,” kata Erani.
Selain itu, agenda yang akan dihadiri diutamakan menyangkut program-program strategis, isu-isu kesejahteraan, upaya perdamaian, dan lapangan pekerjaan. Semua itu yang akan menjadi pertimbangan dalam menentukan prioritas.
Sebelumnya, Juru Bicara Wapres Masduki Baidlowi menyebutkan, salah satu acara yang akan dihadiri Wapres Amin di Papua adalah peletakan batu pertama untuk pembangunan pusat studi Kristen di Papua (Papua Christian Center).
Hal ini pernah dibahas Wapres dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono sebelum cuti bersama Lebaran 2023, di kediaman resmi Wapres, Jakarta, Senin (17/4/2023). Pembangunan pusat studi ini disebut sebagai salah satu aspirasi masyarakat setempat dan direncanakan akan dibangun di dua tempat di Papua.
”Wapres punya concern untuk datang dan melakukan semacam ground breaking, peletakan batu pertama. Itu salah satunya dan masih banyak hal lain, (antara lain meninjau) kantor pusat pemerintahan di empat daerah otonom baru (DOB) itu,” papar Masduki seusai mengikuti rapat terbatas mengenai Papua yang dipimpin Wapres Amin di Istana Wapres, Rabu (26/4/2023).
Masduki mengakui, kebanyakan agenda Wapres memang seremonial, termasuk yang akan dilakukan di Papua. Menurut dia, acara seremonial adalah bagian dari proses yang harus dilalui mulai perencanaan, penganggaran, sampai pembangunan.
”Ya, otomatis dengan sendirinya ada (acara) seremonial yang tak terhindarkan,” ujarnya kepada wartawan.
Terkait kemungkinan Wapres Amin menangani konflik di Papua, Erani mengatakan hal ini akan didahului komunikasi terlebih dahulu di antara pihak-pihak yang menginginkan negosiasi perdamaian. Ini diperlukan untuk melihat apakah hal tersebut akan menjadi cara yang tepat untuk menyelesaikan persoalan di Papua.
”Sebab, masing-masing pihak selama ini merasa tidak menggunakan pendekatan keamanan atau kekerasan untuk mengelola isu Papua, termasuk dari negara, pemerintah, dan TNI. Karena yang banyak menjadi korban dari TNI beberapa waktu terakhir ini,” tutur Erani.
Hal ini dinilai perlu dibicarakan kembali. Langkah-langkah selanjutnya ataupun siapa yang akan maju akan diputuskan Presiden Joko Widodo dengan menimbang masukan dari berbagai pemangku kepentingan. ”Pak Wapres pasti koordinasi dengan Presiden Joko Widodo sebelum kunker (kunjungan kerja) ataupun setelahnya. Setiap rakor (rapat koordinasi) hasilnya juga pasti selalu dilaporkan kepada Presiden,” kata Erani menambahkan.
Terkait kemungkinan Wapres Amin menangani konflik di Papua, Erani mengatakan hal ini akan didahului komunikasi terlebih dahulu di antara pihak-pihak yang menginginkan negosiasi perdamaian.
Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Herlambang Perdana menilai, semestinya Pemerintah Indonesia, termasuk Wapres Amin, membangun kepercayaan di mata masyarakat Papua ketimbang kunjungan kerja dan hadir di agenda seremonial. Herlambang juga menyebutkan beberapa hal yang seharusnya dilakukan, tetapi tidak kunjung dikerjakan.
Pertama, fakta kekerasan yang terjadi secara terus-menerus di Papua. Hal ini, menurut Herlambang, berakar pada pendekatan keamanan yang berlebihan. Selama ini, pemerintah atau Jakarta tidak pernah berupaya untuk meyakinkan pendekatan keamanan ini sebagai bagian yang penting, sebaliknya masyarakat Papua merasa kekerasan terjadi terus-menerus.
”Jadi, menurut hemat saya, Wapres harus bicara, seminggu ini, untuk meyakinkan pendekatan keamanan bukan yang utama, melainkan membangun dialog,” ujar Herlambang saat dihubungi dari Jakarta.
Kepercayaan juga bisa dibangun melalui komitmen pemerintah untuk tidak mengkriminalisasi ekspresi politik warga Papua. Kasus Victor Yeimo yang diproses hukum karena dituduh makar dalam upaya aksi damai antirasisme mendapat perhatian publik sampai sekarang.
”Paling tidak Pemerintah Indonesia bisa menunjukkan komitmen (bahwa) tidak akan terjadi upaya kriminalisasi terhadap ekspresi politik yang diupayakan teman-teman Papua,” katanya.
Kunjungan kerja dan sekadar menghadiri acara-acara seremonial tidak akan menghasilkan kepercayaan dari masyarakat Papua. ”Yang terjadi, saya khawatir, justru sebaliknya sebab problem mendasar, yakni trust atau kepercayaan yang hilang ini tidak ditangani. Bagaimana mau percaya dengan inisiatif Jakarta, sementara upaya untuk membangun dialog tidak dilakukan. Di sisi lain, kekerasan terus terjadi, operasi militer juga terus berlangsung,” papar Herlambang.