Tim Pemeriksa Fakta Mafindo menemukan 257 hoaks pada Januari 2023. Hoaks bertema politik menempati urutan tertinggi.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekosongan hukum akibat tidak adanya aturan tentang sosialisasi melalui media sosial di luar tahapan kampanye mengakibatkan Badan Pengawas Pemilu tidak bisa menindak konten-konten disinformasi. Padahal, konten disinformasi pemilu sudah mulai menjamur dan dikhawatirkan bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemilu.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengakui, Bawaslu kesulitan menindak konten-konten disinformasi yang muncul di luar tahapan kampanye resmi. Padahal, konten-konten tersebut sudah mulai marak meskipun tahapan kampanye pemilu baru akan dimulai pada akhir November mendatang.
Menurut dia, kekosongan hukum akibat tidak diterbitkannya aturan mengenai sosialisasi di luar tahapan kampanye membuat tidak adanya ruang untuk melakukan penindakan. Meskipun pihaknya telah mendorong untuk menerbitkan aturan tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) justru tak jadi membuatnya. Padahal, media sosial termasuk sebagai salah satu ruang baru yang belum diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Akibatnya, Bawaslu sulit melakukan penindakan terhadap konten-konten disinformasi yang kini mulai marak. Penindakan hanya dilakukan melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terhdap berita menyesatkan menggunakan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
”Penindakannya pun bukan menggunakan UU Pemilu karena penindakan hanya diatur selama tahapan kampanye pemilu. Ini yang menjadi persoalan ke depan, terlebih hoaks berpotensi meningkat mendekati pilpres,” kata Bagja saat diskusi publik bertajuk ”Kolaborasi Lindungi Pemilu dari Ancaman Disinformasi” yang dilakukan secara daring, Senin (17/4/2023).
Mengutip Laporan Pemetaan Hoaks Edisi Januari 2023 yang diterbitkan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), tim Pemeriksa Fakta Mafindo menemukan 257 hoaks. Temuan di awal tahun ini atau sebulan setelah penetapan partai politik peserta Pemilu 2024 itu lebih tinggi atau hingga 82 persen dibandingkan dengan rata-rata temuan hoaks sepanjang 2022 yang mencapai 141 hoaks per bulan.
Hoaks bertema politik menempati urutan tertinggi, yakni 31,1 persen (80 hoaks). Konten hoaks tersebut berkaitan dengan dukungan atau penolakan tokoh-tokoh yang dianggap potensial sebagai kandidat calon presiden-calon wakil presiden.
Beberapa nama yang muncul dalam hoaks politik bertema Pemilu 2024, di antaranya, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, bakal calon presiden dari Koalisi Perubahan Anies Baswedan, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri, serta putra Presiden Joko Widodo Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.
Bagja menuturkan, disinformasi tentang pemilu bisa berdampak pada penurunan kepercayaan publik terhadap pemilu.
Padahal, penyelenggara pemilu di berbagai tingkat telah berjibaku menyelenggarakan tahapan pemilu, bahkan mempertaruhkan nyawa demi kelancaran pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Oleh karena itu, lanjutnya, Bawaslu melakukan sejumlah langkah antisipatif dengan melakukan identifikasi kerawanan hoaks. Edukasi dan literasi digital kepemiluan diperlukan meskipun tidak semuanya bisa dijangkau. Mereka pun membentuk gugus tugas pengawasan di media, termasuk membangun komunitas digital pengawasan pemilu partisipatif.
”Kolaborasi bersama lembaga negara, masyarakat sipil, media, dan platform media sosial kami lakukan untuk mencegah banjir informasi digital pemilu,” ucap Bagja.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, ada tren perubahan disinformasi dalam dua pemilu terakhir. Jika di Pemilu 2014 disinformasi hanya menyerang antarpeserta pemilu, pada Pemilu 2019 disinformasi menyerang penyelenggara pemilu.
Oleh karena itu, menurut dia, penyelenggara pemilu harus responsif melakukan klarifikasi tanpa menunggu waktu yang lama. Jika terus dibiarkan, disinformasi bisa menyebar dan viral sehingga lebih sulit untuk memberikan klarifikasi kepada masyarakat.
”Disinformasi kepada penyelenggara pemilu biasanya dibuat untuk menurunkan kepercayaan publik kepada penyelenggara pemilu. Selain itu, penyebaran disinformasi ini juga semakin merawat emosi publik yang terbangun karena disinformasi dari pemilu-pemilu sebelumnya,” ujar Khoirunnisa.
Oleh karena itu, lanjutnya, Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Disinformasi Pemilu mendorong agar ekosistem digital bisa lebih demokratis. Terlebih, Bawaslu juga sulit melakukan penindakan konten disinformasi yang terjadi di luar tahapan pemilu.
Adapun hal-hal yang perlu dilakukan, antara lain, memperkuat kemampuan untuk mendeteksi, menganalisis, dan mengungkap disinformasi. Selain itu, perlu penguatan konsolidasi masyarakat sipil bersama penyelenggara pemilu. ”Masyarakat juga bisa melaporkan konten-konten yang sifatnya disinformasi kepada Bawaslu ataupun platform media sosial,” ucap Khoirunnisa.
Ketua Presidium Mafindo Septaji Eko Nugroho menambahkan, penyelenggara pemilu perlu menyisir isu-isu yang berpotensi dijadikan konten disinformasi. Ini mesti dilakukan sedini mungkin tanpa menunggu munculnya disinformasi berkembang di masyarakat. Sebab, jika penanganannya terlambat, akan sulit menginformasikan kebenaran, terlebih ada perbedaan informasi yang diterima antarmasyarakat.