Koalisi Mesti Mulai Bicarakan Kepentingan Bangsa dan Gagasan Nyata
Koalisi partai politik sudah saatnya mulai berbicara kepentingan bangsa, bukan semata pragmatisme. Hal ini termasuk membicarakan agenda perumusan kebijakan yang berpihak kepada rakyat serta gagasan substantif.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah politikus partai besar akhir-akhir ini menggagas wacana koalisi partai, termasuk di antaranya wacana koalisi besar. Koalisi-koalisi partai tersebut dinilai penting untuk mulai membicarakan agenda dalam merumuskan kebijakan yang mengedepankan pengaplikasian nilai Pancasila dan berpihak kepada masyarakat banyak.
Koalisi diharapkan menyusun agenda kerja.
Perumusan agenda kerja dan program prioritas yang jelas sejak awal akan dapat merebut momentum di tengah kondisi yang tidak menentu.
Besar tidaknya sebuah koalisi seharusnya dilihat dari perannya dalam menjalankan konstitusi hidup bernegara dan berbangsa yang menjunjung hukum tertinggi, konstitusi, dan Pancasila.
”Koalisi partai-partai diharapkan menyusun agenda kerja, di mana mampu merumuskan kebijakan-kebijakan agar tercipta tata nilai ekosistem Pancasila dalam tata kelola ekonomi,” kata pakar komunikasi politik yang juga Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPI), Antonius Benny Susetyo, lewat keterangan tertulis, Senin (10/4/2023).
Terkait hal itu, Benny menuturkan arti penting fungsi silang antara negara, pasar, dan warga. Perumusan agenda kerja dan program prioritas yang jelas sejak awal akan dapat merebut momentum di tengah kondisi yang tidak menentu.
”Dalam situasi kondisi global politik yang tidak menentu memang dibutuhkan kestabilan politik. Namun, kestabilan politik juga harusnya mengarah kepada agenda besar perubahan untuk menciptakan tata kelola ekonomi yang berkeadilan untuk menciptakan kesejahteraan dan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan,” ujarnya.
Sehubungan hal tersebut, Benny mengatakan, dibutuhkan visi besar untuk merumuskan pembangunan keadaban politik. Pembangunan keadaban politik seharusnya berpijak pada etika politik. ”Dalam arti, ini adalah bagaimana etika politik Pancasila itu menjadi dimensi etis bagi pengambilan keputusan,” katanya.
Benny berpendapat, diperlukan terobosan besar untuk menciptakan keadaban politik. Keadaban politik dimaksud tercipta jika masing-masing partai politik mempunyai komitmen untuk membangun tata kelola pemerintahan yang efektif, pemerintahan yang berpihak kepada rakyat, dengan prioritas program-program terukur dan jelas untuk menatap masa depan Indonesia.
Saatnya lah koalisi partai-partai politik tidak bicara tentang pragmatisme, (yakni) saya dapat apa dan proyek apa, tetapi bicara tentang kepentingan bangsa dan negara.
Prioritaskan Pancasila
Menurut Benny, besar tidaknya sebuah koalisi seharusnya dilihat dari perannya dalam menjalankan konstitusi hidup bernegara dan berbangsa yang menjunjung hukum tertinggi, konstitusi, dan Pancasila. Pancasila mesti dijadikan sebagai roh kebijakan bagi dimensi etis dan dimensi menjalankan kerja.
”Maka, Pancasila itu harus diprioritaskan menjadi working ideology dan living ideology dalam membangun tata kelola pemerintahan ke depan. Saatnya lah koalisi partai-partai politik tidak bicara tentang pragmatisme, (yakni) saya dapat apa dan proyek apa, tetapi bicara tentang kepentingan bangsa dan negara dalam menghadapi sebuah situasi yang tidak menentu, dalam menghadapi geopolitik yang tidak menentu,” tuturnya.
Arti penting adanya gagasan dalam koalisi pun menjadi salah satu aspek yang dibahas dalam Satu Meja The Forum bertema ”Jokowi Orkestrasi Koalisi?” yang ditayangkan Kompas TV pada Rabu (5/4/2023) malam pekan lalu. Dalam kesempatan tersebut, pengamat politik Khoirul Umam mengatakan, berbagai kesempatan, termasuk silaturahmi pimpinan dan elite politik, menunjukkan koalisi relatif miskin gagasan dan ide.
”Padahal, banyak sekali aspek yang bisa kita dalami secara detail. Terkait isu ekonomi dan kesejahteraan (misalnya), bagaimana utang luar negeri begitu menumpuk, sementara kemudian economy performance kita juga tidak optimal,” kata Khoirul.
Khoirul menuturkan, narasi transformasi ekonomi pun belum didetailkan seperti apa sehingga akan mampu mengubah wajah ekonomi Indonesia seperti Jepang dan Korea Selatan. ”Link and match dalam konteks pendidikan yang kemudian ber-impact pada sosial ekonomi itu tidak dijelaskan secara clear,” ujarnya.
Pada aspek lain, menurut Khoirul, juga ada banyak catatan terkait konteks hukum, antikorupsi, dan keadilan. ”Pilar-pilar antikorupsi kita mengalami kemunduran sangat signifikan. Democratic regression itu ber-impact kepada pelemahan lembaga-lembaga dan juga kinerja antikorupsi. Nah, itu yang kemarin terkonfirmasi dalam konteks corruption perseption index kita (yang) drop dan itu adalah penurunan tertajam sepanjang sejarah reformasi,” paparnya.
Menurut Khoirul, hal ini menjadi tugas besar koalisi. ”Belum lagi bicara tentang konteks demokrasi secara general. Kebebasan sipil mengalami penurunan, termasuk politik identitas yang ternyata juga masih cukup ter-maintain. Oleh karena itu, saya pikir ada baiknya ruang diskusi kita digeser juga dalam hal-hal yang sifatnya substantif sehingga akan lebih tangible (nyata, berwujud),” tuturnya.