Partai Nonparlemen Terbelah Sikapi Gagasan Koalisi Besar
Dari sembilan partai nonparlemen, lima berpotensi mengarah ke koalisi besar, dua partai berpotensi mengarah ke Koalisi Perubahan untuk Persatuan, dan dua partai belum menentukan sikap atau belum terbaca sikapnya.
- Sembilan partai nonparlemen memiliki sikap yang berbeda-beda terkait dengan wacana koalisi besar di Pemilu 2024.
- Dari pemetaan sementara, lima parpol cenderung mendukung koalisi besar, dua parpol cenderung mendukung Koalisi Perubahan untuk Persatuan, dan dua parpol belum terbaca sikapnya.
- Analis politik menilai strategi yang dipilih oleh parpol nonparlemen dalam berkoalisi akan berdampak pada perolehan suara mereka di Pemilu Legislatif 2024.
JAKARTA, KOMPAS — Wacana koalisi besar yang bergulir belakangan ini disikapi beragam oleh sembilan partai politik nonparlemen yang menjadi peserta Pemilu 2024. Sebagian dari mereka ada yang memilih merapat, berseberangan, dan ada yang belum menentukan sikap.
Sinyal pembentukan koalisi besar ini kian menguat seusai pertemuan lima partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) dengan Presiden Joko Widodo. KIB terdiri dari Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Adapun KIR merupakan koalisi Partai Gerindra dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
”Pembentukan koalisi besar itu sesuai dengan rencana Partai Bulan Bintang (PBB). Hal ini bagus untuk bangsa Indonesia,” ujar Sekretaris Jenderal PBB Afriansyah Noor saat dihubungi di Jakarta, Jumat (7/4/2023).
Kemarin, Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra juga telah bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Salah satu pembahasan keduanya mengenai pembentukan koalisi besar. Koalisi besar ini dinilai sangat ideal bagi demokrasi Indonesia karena kekuatan politik akan bersatu dan potensi keterbelahan kian mengecil.
Meskipun demikian, PBB yakin bahwa penentuan pasangan bakal calon presiden-calon wakil presiden akan alot. Untuk itu, kata Afriansyah, PBB terus menyodorkan Yusril sebagai bakal cawapres demi menghindari perpecahan dalam koalisi.
Dari 18 parpol peserta Pemilu 2024, sembilan berada di parlemen dan sembilan lainnya di luar parlemen. Selain PBB, ada sejumlah partai nonparlemen lain yang juga cenderung sejalan dengan ide koalisi besar. Rabu (5/4/2023), Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo bertemu dengan Prabowo. Dalam pertemuan itu, keduanya membahas agenda kerja sama politik ke depan dan berencana membahasnya kembali dalam diskusi berikutnya.
Selain itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga berikhtiar bergabung dalam koalisi besar. Sejak awal, PSI telah mendukung pemerintahan Jokowi dan bertekad untuk melanjutkannya dengan cara bernaung dalam koalisi besar.
Pemilih partai, baik parlemen maupun nonparlemen cenderung beririsan satu sama lain. Hal ini berakibat pada potensi keterpilihan partai nonparlemen yang lebih rendah. Untuk itu, mereka perlu menyiapkan strategi baru dalam menggalang dukungan.
”PSI ingin bergandengan tangan dan bekerja sama dengan koalisi besar. Kami akan lihat hasil perbincangan dengan Pak Airlangga (Ketua Umum Partai Golkar) minggu depan,” ujar Wakil Ketua Pembina PSI Grace Natalie (Kompas.id, 5/4/2023).
Saat dihubungi, Sekretaris Jenderal Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) Mahfuz Sidik menuturkan, ide koalisi besar ini sejalan dengan ide partainya yang mengutamakan rekonsiliasi nasional dan konsolidasi para elite. Hal ini mengingat keterbelahan yang terjadi seusai Pemilu 2014, Pemilu Gubernur DKI Jakarta 2017, dan Pemilu 2019.
Karena itu, dia memandang koalisi besar sangat diperlukan untuk menyatukan kepentingan nasional. Walakin, penjajakan koalisi diharapkan tidak berdasarkan kepentingan partai atau figur tertentu. ”Jadi, Partai Gelora sangat mendukung ide koalisi besar demi menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman kekacauan global saat ini,” tutur Mahfuz.
Baca juga: Koalisi Besar Jadi Magnet Baru Elite
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Ummat Nazaruddin menyebutkan, koalisi besar merupakan upaya untuk mengamankan pemerintahan Jokowi. Hal ini dianggap berseberangan dengan nilai-nilai dalam Partai Ummat yang mendukung terjadinya perubahan. Sesuai dengan Rapat Kerja Nasional Partai Ummat, lanjut Nazaruddin, pihaknya lebih mendukung bakal capres Anies Baswedan dan bergabung dengan Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).
”Meski situasi politik terus berubah,Partai Ummat akan merapat pada KPP dan mendukung Anies,” ucapnya.
Sekretaris Jenderal Partai Garuda Yohanna Murtika mengatakan, internalnya masih fokus dalam kerja-kerja politik khususnya rekrutmen calon anggota legislatif. Walakin, mereka akan memutuskan untuk merapat pada koalisi yang mampu membawa visi dan misi Partai Garuda, yakni mewujudkan cita-cita perubahan Indonesia.
Di sisi lain, baik Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) maupun Partai Buruh, menyatakan belum membahas lebih lanjut terkait arah dukungan. Mereka juga fokus pada urusan internal partai, yakni perekrutan caleg, dan tidak larut dalam kepentingan koalisi besar.
Namun, Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyatakan, koalisi besar itu membahayakan masa depan demokrasi. Ini karena kepentingan elite partai tidak selalu sejalan dengan konstituennya. Untuk itu, diperlukan referendum atau konsolidasi secara besar-besaran dalam menentukan koalisi. Partai Buruh, lanjut Iqbal, akan memberi dukungan pada koalisi yang tidak mendukung Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Dalam konteks ini, mereka tidak mendukung koalisi mana pun.
”Meskipun begitu, Partai Buruh mengadakan konvensi untuk menentukan bakal capres-cawapres yang akan didukung. Karena ada nama yang bersinggungan dengan partai lain, kami akan berkompromi dengan tokoh yang dicalonkan. Jadi, bukan berkoalisi berdasarkan partai, melainkan komitmen dari bakal calon capres-cawapres,” ujarnya.
Jadi, partai nonparlemen dapat belajar taktik atau strategi yang digunakan dalam pemilu oleh partai parlemen. Apalagi saat koalisi yang didukung mereka menang, potensi masuk dalam pemerintahan pasti ada. Hal ini jelas menolong mereka dalam pemilu mendatang, dari segi modal.
Ketua Umum PKN I Gede Pasek Suardika menyampaikan, pihaknya masih fokus urusan internal partai dan belum berpikir soal koalisi. Hal ini dianggap tidak relevan karena pasangan calon juga belum tersedia. Karena itu, PKN masih menunggu nama pasangan calon dari koalisi.
Terpisah, Ketua Bidang Hukum Partai Hanura Servasius Serbaya Manek menyatakan, partainya menyambut baik wacana koalisi besar. Hal ini menunjukkan kehidupan berdemokrasi Indonesia yang semakin matang. Dalam hal ini, Partai Hanura akan berada dalam koalisi yang bervisi melanjutkan pembangunan pada era Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Baca juga: Magnet Koalisi Besar, Setelah Perindo Kini Giliran PSI Ingin Gabung
Beda kepentingan
Menurut peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati, partai nonparlemen yang memutuskan atau mengarah untuk merapat pada koalisi besar ini didasarkan kepentingan elektoral. Mereka lebih memilih koalisi dengan potensi menang yang lebih tinggi ketimbang lainnya. Ini karena partai nonparlemen masih mengilhami efek ekor jas.
Dalam kondisi ini, pasangan bakal capres-cawapres dari koalisi besar akan membantu promosi partai mereka dalam pemilu mendatang sehingga potensi keterpilihan akan meningkat. Selain itu, bisa jadi keputusan merapat pada koalisi besar dilakukan untuk menggalang modal dalam pemilu berikutnya.
”Jadi, partai nonparlemen dapat belajar taktik atau strategi yang digunakan dalam pemilu oleh partai parlemen. Apalagi saat koalisi yang didukung mereka menang, potensi masuk dalam pemerintahan pasti ada. Hal ini jelas menolong mereka dalam pemilu mendatang, dari segi modal,” kata Wasisto.
Sementara itu, untuk partai yang berseberangan dengan koalisi besar, umumnya lebih mengedepankan ideologi partai. Hal ini tampak dari koalisi yang kerap menggaungkan perubahan. Mereka akan berharap pada limpahan suara golongan pemilih muda yang masih berapi-api dalam memperjuangkan perubahan.
Baca juga: Agar Parpol Nonparlemen Tak Sekadar Menjadi Peserta Pemilu
Pemilih partai, baik parlemen maupun nonparlemen, kata Wasisto, cenderung beririsan satu sama lain. Hal ini berakibat pada potensi keterpilihan partai nonparlemen yang lebih rendah. Untuk itu, mereka perlu menyiapkan strategi baru dalam menggalang dukungan. Hal ini mereka wujudkan dengan ikut berkontestasi dalam pemilu presiden mendatang.
Catatan: pukul 19.00 ada pembaharuan konten setelah ada pernyataan susulan dari Ketua Bidang Hukum Partai Hanura Servasius Serbaya Manek.