Sinyal Pembentukan Koalisi Besar Menguat
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan sempat menyebut nama Koalisi Kebangsaan di hadapan Presiden Jokowi serta elite KIB dan koalisi Gerindra-PKB. Presiden menilai cocok jika kedua koalisi bergabung.
> Dalam pidato sambutannya di acara Silaturahmi Ramadhan di Kantor DPP PAN, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyebut nama Koalisi Kebangsaan.
> KIB dan koalisi Gerindra-PKB membuka kemungkinan menggabungkan kedua koalisi sehingga terbentuk koalisi besar.
> Pengamat menilai upaya pembentukan koalisi besar rentan menghadapi kebuntuan ketika ada manuver baru dari PDI-P.
JAKARTA, KOMPAS — Sinyal pembentukan koalisi besar menguat setelah bertemunya lima ketua umum partai politik yang selama ini berada dalam dua koalisi partai dengan Presiden Joko Widodo. Para ketua umum pun sepakat mengenai urgensi koalisi besar. Presiden bahkan menilai cocok jika kedua koalisi partai tersebut bergabung.
Presiden Joko Widodo bertemu dengan lima ketua umum partai politik (parpol) dalam acara Silaturahmi Ramadhan di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (PAN), Jakarta, Minggu (2/4/2023) siang.
Selain Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan sebagai tuan rumah, hadir pula Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, serta Pelaksana Tugas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Mardiono. Lima parpol tersebut kini telah membentuk dua poros koalisi dalam menghadapi Pilpres 2024. Koalisi dimaksud adalah Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB (Golkar, PAN, PPP) dan koalisi Gerindra dengan PKB yang kerap disebut Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya.
Kelima parpol itu juga bagian dari koalisi parpol pendukung pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Adapun PDI-P dan Nasdem yang juga bagian dari koalisi tidak terlihat hadir. PDI-P merupakan satu-satunya parpol yang bisa mengusung calon presiden (capres) tanpa berkoalisi dan hingga saat ini belum memutuskan untuk bekerja sama dengan parpol mana pun. Sementara Nasdem berkoalisi dengan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berada di luar pemerintahan untuk mengusung Anies Baswedan sebagai bakal capres.
Baca juga : Wacana Koalisi Besar Berembus, Apa Plus Minusnya?
Di Kantor DPP PAN, baik Presiden maupun kelima ketua umum parpol sama-sama mendengarkan tausiah Ramadhan yang disampaikan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti dan Pemimpin Pondok Pesantren Ora Aji, Sleman, Yogyakarta, Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah. Setelah itu, mereka berdiskusi secara tertutup selama hampir satu jam.
Seusai pertemuan tertutup, Zulkifli Hasan menjelaskan, pertemuan bukan sekadar basa-basi politik, melainkan momentum meningkatkan soliditas antarparpol pendukung pemerintah untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan. Untuk itu, ia mengundang semua ketua umum parpol anggota koalisi pemerintahan. Akan tetapi, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh disebutnya berhalangan hadir karena sedang berada di luar negeri.
Selain mempererat soliditas, keberlanjutan pembangunan pasca-kepemimpinan Presiden Jokowi turut dibahas. Diskusi ini masih akan berlanjut, khususnya tentang pembentukan koalisi besar. ”Tentu akan ada lanjutan diskusi mengenai koalisi besar, capresnya bagaimana. Itu perjalanan, ada waktunya,” tambahnya.
Koalisi kebangsaan
Saat menyampaikan sambutan pembukaan acara, Zulkifli bahkan sempat menyebut nama koalisi kebangsaan ketika menjelaskan soal alasan digelarnya acara silaturahmi. ”Kalau konsolidasi batin, spiritual, komitmen kebangsaan siap untuk memasuki tahun politik ini, maka akan menghasilkan koalisi kebangsaan yang kokoh dan kuat, untuk melanjutkan dan meneruskan apa yang sudah dikerjakan,” ujarnya.
Baca juga : Adu Siasat Mengikat Koalisi Partai Politik
Prabowo Subianto yang juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan mengakui, melalui pertemuan ini dirinya merasakan kecocokan karena berada dalam frekuensi yang sama dengan para ketua umum parpol lain. Sebagai sesama pendukung pemerintah, mereka bisa memahami sulitnya pembangunan serta tantangan berat yang akan dihadapi pada tahun-tahun mendatang. Misalnya, kondisi geopolitik dan persoalan pangan dalam negeri. ”Jadi, untuk (sejumlah persoalan) ini, kita butuh kerja sama yang solid, suatu frekuensi yang sama,” ujarnya.
Prabowo tidak memungkiri, terbuka kemungkinan untuk menggabungkan KIB dengan koalisi Gerindra-PKB. Namun, belum ada pembahasan mengenai sosok capres yang akan diusung. Pasca-pertemuan ini, ia memastikan bahwa komunikasi antarketua umum parpol terkait juga diyakini bakal semakin intens.
Airlangga Hartarto menambahkan, bagi KIB, keberlanjutan pembangunan dan pembentukan koalisi besar penting mengingat Indonesia adalah negara besar. Urgensi koalisi besar pun semakin kuat untuk menghadapi berbagai tantangan, seperti perubahan iklim, dinamika geopolitik di kawasan Indo-Pasifik, serta politisasi identitas yang masih terjadi.
”Ini butuh kebersamaan. Kebersamaan itu koalisi besar. Koalisi besar itu mempunyai ideologi yang sama. Kami semuanya ada di pemerintahan, baik Pak Prabowo, Pak Zulkifli Hasan, Pak Mardiono, Cak Imin, itu DPR-nya, kan juga berada dalam gerbong pemerintah. Gerbong inilah yang siap untuk melanjutkan program secara lebih cepat,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu.
Airlangga juga merupakan tokoh yang pertama kali mengemukakan wacana koalisi besar. Gagasan itu ia sampaikan seusai mengikuti buka puasa bersama di Kantor DPP Partai Nasdem atau Nasdem Tower, Jakarta, akhir Maret. Selain Airlangga dan Surya Paloh, acara tersebut dihadiri Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Sekretaris Jenderal PKS Aboe Bakar Al Habsyi, serta Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali mengungkapkan, pihaknya tak pernah menerima undangan dari PAN. Nasdem pun tidak mempermasalahkannya. Namun, sebagai parpol pendukung Jokowi-Amin sejak 2019, Nasdem tidak menganggap agenda tersebut sebagai pertemuan resmi koalisi pemerintahan karena tidak dilaksanakan di Kompleks Istana Kepresidenan dan lebih mengarah pada pembicaraan tentang Pilpres 2024.
”PAN itu, kan, baru bergabung di pemerintahan. Mungkin Bang Zul (Zulkifli Hasan) lupa kalau Nasdem adalah anggota koalisi pemerintahan,” kata Ali.
Terkait wacana pembentukan koalisi besar, ia mengatakan, Nasdem menghormatinya karena merupakan kedaulatan setiap parpol. Namun, koalisi besar bisa mengurangi jumlah kandidat capres dan cawapres yang akan berkontestasi di Pilpres 2024 sehingga secara tidak langsung akan menghambat kesempatan anak bangsa untuk menjadi pemimpin.
”Bagi kami, koalisi besar itu penting karena kita adalah bangsa besar, tetapi lebih tepat jika dibentuk setelah pilpres,” ujar Ali.
Baca juga : Musim Semi Sukarelawan Politik
Restu Presiden
Presiden Jokowi membenarkan, pertemuan dirinya dengan lima ketua umum parpol membahas komitmen kebangsaan dan keberlanjutan pembangunan di masa mendatang. Namun, mengenai pembentukan koalisi besar, ia mengaku tidak ikut membicarakannya. ”Yang berbicara itu ketua-ketua partai, saya bagian mendengarkan saja,” katanya.
Jokowi mengatakan hanya akan berbicara mengenai koalisi jika ada yang bertanya. Ketika ditanya tentang kecocokan penggabungan KIB dengan koalisi Gerindra-PKB, ia pun mengamininya. ”Saya hanya bilang cocok, terserah kepada ketua-ketua partai atau gabungan ketua partai. Untuk kebaikan negara, untuk kebaikan bangsa, untuk rakyat, hal yang berkaitan bisa dimusyawarahkan. Itu akan lebih baik,” kata Jokowi.
Ia menekankan, pilpres merupakan urusan parpol atau gabungan parpol sehingga hendaknya Presiden tidak dibawa-bawa dalam pembicaraan tersebut. Akan tetapi, sambil berkelakar, ia juga mengakui bahwa para ketua umum parpol kerap mengatakan bahwa langkah yang diambil telah mendapatkan restu dari Presiden. ”Apa hubungannya, saya kadang-kadang, apa hubungannya. Enggak ada hubungannya,” ujar Jokowi.
Sekalipun tak mengakui turut serta menentukan konstelasi koalisi, dalam sambutannya, Jokowi menyampaikan, para elite kerap meminta dukungan dari dirinya untuk membentuk koalisi. Misalnya, ketika Golkar, PAN, dan PPP bersepakat untuk membentuk KIB.
”KIB, kan, terbentuk karena pertemuan Pak Airlangga, Pak Zulkifli, dan Pak Mardiono. Terbentuk, baru datang ke saya, ’Pak mohon restu’. Kalau saya ditanya gitu, ya, saya restui,” kata Jokowi.
Begitu juga ketika Gerinda dan PKB memutuskan untuk bernaung dalam satu koalisi. Ia menuturkan, Muhaimin Iskandar pernah meminta pendapatnya tentang kecocokan PKB dengan Gerindra. Niat itu kemudian ia sampaikan kepada Prabowo. ”Pak Prabowo, ini kelihatannya Cak Imin ingin gandengan dengan Bapak. Hanya gitu saja, akhirnya sambung gitu lho. Tapi bukan karena saya, bukan karena saya,” ujar Jokowi.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes melihat potensi koalisi besar terjadi karena belum adanya kepastian sosok capres yang akan diusung oleh parpol ataupun koalisi parpol. Baik PDI-P sebagai satu-satunya parpol yang bisa mengusung capres tanpa berkoalisi maupun KIB dan koalisi Gerindra-PKB hingga saat ini belum menentukan capres secara resmi. Ketidakpastian itu dinilai bakal mendorong parpol-parpol untuk bernegosiasi.
Selain itu, Arya menduga, koalisi besar ini juga terkait dengan orientasi politik Jokowi dan dinamika hubungannya dengan PDI-P. Pasca-kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20, hubungan Jokowi dengan PDI-P dinilai akan berdinamika. Namun, sejak Pilpres 2024, keduanya ada dalam posisi yang saling membutuhkan dan sulit untuk berpisah jalan.
Baca juga : Menghitung Hari Pengumuman Capres PDI-P
Arya menambahkan, hal lain yang turut memengaruhi intensi pembentukan koalisi ini adalah ketatnya persaingan jika Pilpres 2024 diikuti tiga pasangan capres dan cawapres. ”Saya kira, elite politik dan khususnya Presiden tengah menguji percobaan politik baru. Memang dalam kondisi politik yang tidak pasti, para elite akan menyiapkan skenario-skenario dalam merespons kondisi di tingkat partai dan pemilih,” kata Arya.
Meski demikian, ia juga memprediksi upaya pembentukan koalisi besar rentan menghadapi kebuntuan ketika ada manuver baru dari PDI-P. Manuver dimaksud bisa berbentuk pembicaraan intens dengan parpol-parpol besar, misalnya Gerindra atau Golkar, ihwal pasangan capres dan cawapres.