Kembali Revisi UU MK, DPR Diminta Coret Pasal Evaluasi Hakim Konstitusi
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengungkapkan, tidak ada satu negara pun di dunia yang mengatur ”recalling” hakim konstitusi oleh lembaga pengusul.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020). Saat ini Pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. RUU tersebut merupakan revisi terhadap UU MK. Salah satu hal yang banyak mendapat sorotan dalam RUU MK, yaitu soal perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi hingga 15 tahun atau maksimal pensiun pada usia 70 tahun.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat diminta mencoret pasal mengenai evaluasi hakim konstitusi oleh lembaga pengusul yang ada di dalam draf revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Sebab, mekanisme evaluasi tersebut mengganggu independensi kekuasaan kehakiman.
”Tidak ada di seluruh dunia recalling hakim konstitusi oleh lembaga pengusul. Recalling semacam itu tent ada kaitannya dengan respons politik terhadap putusan-putusan MK yang mengecewakan para politikus,” ujar Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Kerja Revisi UU MK, Kamis (30/3/2023).
Pemberhentian terhadap Hakim Konstitusi Aswanto di tengah masa jabatannya yang dilakukan oleh DPR, menurut Jimly, dipengaruhi oleh faktor kemarahan atas putusan MK terkait UU Cipta Kerja. Kemarahan tersebut juga tecermin di dalam pasal-pasal di draf revisi UU MK.
Tidak ada di seluruh dunia recalling hakim konstitusi oleh lembaga pengusul. Recalling semacam itu tent ada kaitannya dengan respons politik terhadap putusan-putusan MK yang mengecewakan para politikus.
Sebenarnya, kemarahan serupa juga pernah terjadi ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat yang dipimpin John Marshal pertama kalinya membatalkan undang-undang tahun 1803. Saat itu, Presiden Thomas Jefferson juga marah. ”Selama empat tahun, tiap kali bicara hukum dan pengadilan dia maki-maki. Dia anggap MA AS sudah merusak konstitusi dan demokrasi. Ini terjadi di banyak negara yang mendirikan MK,” kata Jimly.
Keberadaan MK memang sangat strategis dalam rangka mengawal demokrasi. Peradilan konstitusi dibentuk untuk mengimbangi majority rule dengan minority right dengan ukuran kesepakatan tertinggi (konstitusi). Pemerintah dan DPR merupakan cerminan majority rule karena berkuasa setelah memenangi suara terbanyak.
”Tapi apakah produk mayoritas rakyat itu identik dengan kebenaran dan keadilan? Tidak. Maka dibuatlah MK,” kata Jimly.
Karena itu itu, ia mengajak para politisi untuk berpikir panjang tentang demokrasi dan bahwa demokrasi harus dikawal. Para politisi juga diharapkan berpikir dalam kerangka negara hukum dimana dalam urusan kekuasaan kehakiman semua negara mengidealkan peradilan yang independen. Keberadaan lembaga peradilan yang independen sangat penting untuk mengawal demokrasi, baik demokrasi politik maupun ekonomi.
MELATI MEWANGI UNTUK KOMPAS
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie.
Berbeda halnya dengan mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan. Meski sama-sama merupakan hakim konstitusi generasi pertama, Maruarar sedikit berbeda pandangan dengan Jimly mengenai evaluasi hakim konstitusi. Ia masih menganggap hakim perlu dievaluasi dan dimonitor secara terus-menerus kinerja dan etikanya.
Namun, ia tidak setuju jika evaluasi tersebut dilakukan oleh DPR. Ia mengusulkan evaluasi dapat dilakukan oleh publik atau oleh Majelis Kehormatan MK yang di dalamnya ada unsur Komisi Yudisial.
Anggota Komisi III DPR, Benny K Harman, sepakat dengan Jimly bahwa independensi hakim konstitusi merupakan sesuatu yang absolut dan penting untuk dijaga. Salah satunya dengan mengatur masa jabatan secara tegas. ”Supaya dalam kurun waktu itu tidak diganggu dan tidak ada ancaman serta hal-hal lain yang mempengaruhi pelaksanaan kewenangan,” ujar Benny.
Anggota Komisi III DPR ,Benny K Harman, saat mengikuti rapat dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di ruang rapat Komisi III Gedung DPR, Jakarta, Rabu (29/3/2023).
Anggota Komisi III DPR lainnya, Arteria Dahlan, mempertanyakan apakah yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bagaimana pengaturannya di dalam undang-undang. Ia juga berterima kasih telah diingatkan tentang prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka. Isu lainnya adalah pilihan masa jabatan apakah menggunakan sistem periodisasi atau usia pensiun.
”Kita sudah milih usia. Tapi milih-nya, kan, enggak ikhlas. Tetap pakai yang namanya evaluasi. Jujur kalau kita pakai evaluasi, memang bisa untuk menyerang independensi. Saya ingin bertanya adakah negara yang pakai sistem usia tetapi pakai evaluasi,” kata Arteria.
Berkenaan dengan evaluasi, Jimly menyarankan agar pembuat undang-undang menginstitusionalkan Majelis Kehormatan MK. Tak hanya untuk hakim, Majelis Kehormatan MK juga untuk mengevaluasi dan memonitor kerja pegawai MK. Ia pun menyarankan agar secara tegas tata cara persidangan Majelis Kehormatan MK diatur di dalam undang-undang, dengan mensyaratkan sidang terbuka.