JAKARTA, KOMPAS — Tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang dilahirkan di era reformasi untuk memperkuat mekanisme kontrol dan membatasi kekuasaan kini cenderung menurun. Pada momentum 25 tahun Indonesia menapaki reformasi, muncul harapan adanya evaluasi menyeluruh guna memperkuat fungsi lembaga-lembaga negara, terutama yang menjadi anak kandung reformasi.
Lembaga yang dinilai lahir untuk mencapai tujuan reformasi, antara lain, Dewan Perwakilan Daerah (2001), Mahkamah Konstitusi (2003), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (2003).
Berdasarkan kajian Litbang Kompas berbasis survei nasional dari kurun waktu 2015 hingga Januari 2023, citra positif DPD, MK, dan KPK di mata publik menurun. Secara kualitatif, sejumlah pakar yang ditanya soal kinerja DPD, MK, dan KPK juga memberi catatan kritis serta menilai ada penurunan kinerja, bahkan pelemahan terhadap lembaga itu.
Di tengah kondisi ini, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, Jumat (24/3/2023), menilai, tingkat efektivitas dan ekstraktif dari lembaga-lembaga negara harus dievaluasi. Ia merujuk pada pandangan Daron Acemoglu dan James Robinson dalam Why Nations Fail, yang menekankan lembaga-lembaga politik, sosial, dan ekonomi harus efektif dan tidak boleh ekstraktif.
Ekstraktif artinya hanya memanfaatkan sumber daya untuk dirinya sendiri, tetapi tak berpengaruh terhadap rakyat. ”Ini berlaku untuk semua lembaga. Maka, saya sarankan kepada semua partai politik supaya setelah 25 tahun reformasi diadakan evaluasi. Harus ada penataan kembali sistem kenegaraan,” katanya.
Ada problem struktural, problem antarlembaga, dan problem politis yang kerap mengintervensi serta mengganggu independensi. Alhasil, mereka melenceng dari roh reformasi.
Seruan serupa disampaikan mantan Ketua MK Hamdan Zoelva. Menurut dia, evaluasi diperlukan untuk semua lembaga bentukan reformasi. Setelah itu, sumber masalahnya perlu diperbaiki, apakah di UUD 1945 atau di undang-undang. Namun, ia melihat, persoalan yang muncul terkadang bukan hanya di peraturan perundang-undangan, melainkan juga dalam tataran implementasi.
”Ada problem struktural, problem antarlembaga, dan problem politis yang kerap mengintervensi serta mengganggu independensi. Alhasil, mereka melenceng dari roh reformasi,” kata Hamdan.
Pelemahan
Direktur Eksekutif Kemitraan yang juga Wakil Ketua KPK 2015-2019 Laode M Syarif melihat ada pelemahan terhadap lembaga anak kandung reformasi, seperti KPK dan MK, yang sejak awal didesain untuk mengontrol serta membatasi kekuasaan agar tidak semena-mena dan korup. Menurut dia, pelemahan KPK dan MK bertentangan dengan cita-cita reformasi dan demokrasi.
Upaya pelemahan terhadap institusi KPK, menurut sebagian elemen masyarakat sipil, dilakukan dengan merevisi UU KPK, kemudian penerapan tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK dengan sejumlah orang dinyatakan tak memenuhi syarat. Pelemahan terhadap MK, antara lain, dilakukan dengan mengganti Hakim Konstitusi Aswanto di tengah masa jabatannya. Hal ini dinilai sebagai intervensi terhadap MK.
”Mungkin pemerintah dan parlemen sekarang melihat KPK dan MK terlalu membatasi sehingga ingin melemahkan KPK dan MK, padahal kedua lembaga ini banyak dijadikan rujukan oleh masyarakat dunia,” kata Laode.
Hamdan Zoelva berpandangan, lembaga-lembaga di bidang penegakan hukum yang lahir dari rahim reformasi, khususnya pemberantasan korupsi, belum membuahkan hasil. Korupsi tetap merajalela. Indeks Persepsi Korupsi tak membaik signifikan.
Mungkin pemerintah dan parlemen sekarang melihat KPK dan MK terlalu membatasi sehingga ingin melemahkan KPK dan MK, padahal kedua lembaga ini banyak dijadikan rujukan oleh masyarakat dunia.
Sejak UU KPK disahkan pada 2002, budaya korupsi ditarget berangsur hilang dalam kurun waktu 20 tahun. Hal itu sejalan dengan cita-cita reformasi, yaitu membebaskan Indonesia dari korupsi. Namun, menurut Hamdan, KPK lupa akan fungsi utamanya, yaitu supervisi dan koordinasi.
Terkait dengan MK, pengajar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menilai putusan-putusan MK belakangan ini membuat demokrasi tidak kompetitif, mendukung pelemahan lembaga pengawas, dan melayani kepentingan besar.
”Kalau nanti pemerintahan baru, tidak ada utang budi, mungkin mereka bisa lebih berjarak. Lebih independen,” kata Yance.
Dia merujuk pada perubahan UU MK Tahun 2020 yang menghapus periodisasi masa jabatan hakim yang semula lima tahun menjadi maksimal 15 tahun atau berusia 70 tahun.
Sementara itu, DPD, yang diharapkan menjalankan fungsi kontrol di legislatif, memiliki persoalan desain kelembagaan. Jimly Asshiddiqie yang juga anggota DPD berpandangan, DPD merupakan hasil kompromi yang tidak matang sebagai konsep kenegaraan.
Oleh karena itu, kedudukannya antara ada dan tiada. Menurut Jimly, jika DPD ingin diperkuat, lembaga ini harus berhadapan dengan DPR yang tak akan mau kekuasaannya dikurangi. Namun, jika penguatan tidak dilakukan, DPD hanya akan terus terlihat sibuk, tetapi untuk sesuatu yang tak menentukan dalam kegiatan bernegara.
Ketua DPD La Nyalla Mattalitti mengakui DPD belum maksimal dan ideal dalam menjalankan fungsi serta perannya sebagai agregator kepentingan daerah sekaligus sebagai mekanisme checks and balance di legislatif, khususnya terhadap DPR. Hal itu terjadi karena Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD sangat diskriminatif terhadap DPD.
Respons KPK dan MK
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron memandang kritik kepada KPK sebagai bagian dari evaluasi untuk meningkatkan kinerja. Ia menganggap penilaian pelemahan bukan soal norma atau hukum, melainkan dari kinerja saat ini yang memiliki tantangan dari perkembangan teknologi yang perlu diadaptasi. Modus dan teknologi yang digunakan koruptor semakin canggih.
Sementara itu, juru bicara MK, Enny Nurbaningsih, mengungkapkan, upaya menilai kinerja MK harus komprehensif, meliputi aspek yudisial dan non-yudisial. Dari sisi non-yudisial, perbaikan terus dilakukan, sedangkan dari fungsi yudisial, kualitas putusan MK meningkat. Beberapa putusan itu bahkan merupakan landmark decisions dalam pandangan pihak luar.
”Terkait pelaksanaan fungsi yudisial, saya menjamin sampai kini MK tetap mampu menjaga independensinya,” katanya.