Sebanyak 24 Provinsi Dinilai Rawan Pelanggaran Netralitas ASN Jelang Pemilu 2024
Persoalan netralitas ASN jadi masalah turun-temurun dan acapkali dimanfaatkan oleh calon atau pasangan calon dalam kontestasi. Antara pelanggaran yang berulang dan sanksi hukum seperti ”lingkaran setan” jelang pemilu.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Data Pelanggaran Netralitas Nasional 2020-2022 mencatat sebanyak 24 dari 34 provinsi dengan jumlah pelanggaran lebih dari 20 aparatur sipil negara. Jumlah itu termasuk kategori tinggi dan dianggap sebagai daerah rawan pelanggaran netralitasASN pada Pemilihan Umum 2024.
Data itu diterbitkan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara menggunakan basis data pelanggaran saat pemilihan umum kepala daerah serentak 2020. Dari 24 provinsi itu, misalnya, ada yang mencapai jumlah pelanggaran di atas 100 ASN, di antaranya Sulawesi Tenggara (180 ASN), Sulawesi Utara (170 ASN), Maluku Utara (166 ASN), Nusa Tenggara Barat (143 ASN), Sulawesi Selatan (140 ASN), dan Jawa Tengah (123 ASN).
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas menyebutkan, peta pelanggaran dibagi menjadi tiga jenis, yaitu hijau (jumlah pelanggaran di bawah 5 ASN), kuning (jumlah pelanggaran 6-20 ASN), dan merah (jumlah pelanggaran di atas 20 ASN). Untuk hijau ada empat provinsi dan kuning enam provinsi.
”Ke depan (Pemilu 2024), targetnya adalah mengurangi jumlah pelanggaran netralitas yang dilakukan ASN,” ujarnya seusai mengisi acara Konferensi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Ke-II mengenai Demokrasi, Anak Muda, dan Pemilu 2024 di Jakarta, Selasa (14/3/2023).
Menjaga netralitas dalam pemilu, kata Azwar, menjadi kewajiban penting setiap ASN. Pengawasan pelanggaran netralitas oleh ASN dilakukan oleh KASN. Pelanggaran oleh ASN rata-rata karena hubungan kekerabatan atau atasan.
Oleh karena itu, Badan Pengawas Pemilu, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan Kepegawaian Negara, dan KASN telah menandatangani surat keputusan bersama. Surat itu berisi komitmen pemerintah untuk menjaga netralitas ASN.
Prinsip dari pengawasan tetap mengandalkan upaya pencegahan. Hal ini dengan melibatkan lembaga, kementerian, atau dinas terkait untuk mengawasi dan membina internal masing-masing.
”KASN dan Bawaslu akan memonitor, lalu kami akan menindaklanjuti dengan teguran hingga pemberian sanksi,” kata Azwar.
Referensi pengawasan
Secara terpisah, Komisioner KASN Arie Budhiman menuturkan, pemetaan data pelanggaran ASN menjadi referensi pengawasan netralitas mereka dalam Pemilu 2024. Sebanyak 24 provinsi yang termasuk tingkatan merah dianggap rawan dan perlu diawasi lebih ketat.
Pengawasan dan pembinaan ASN kini dilakukan mulai dari sebelum hingga saat kampanye. Ini karena jumlah pelanggaran banyak terjadi saat periode itu. Pelanggaran sebelum kampanye sebanyak 751 ASN dan saat kampanye 845 ASN. Secara spesifik, pelanggaran terbanyak adalah ASN yang berkampanye atau sosialisasi politik di media sosial (30,4 persen).
Selain itu, ada juga ASN mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan (22,4 persen), melakukan foto bersama bakal calon atau pasangan calon dengan simbol tangan yang mengindikasikan keberpihakan (12,6 persen), ASN yang menghadiri deklarasi bakal calon atau pasangan calon (10,9 persen), dan mendekati partai politik untuk pencalonan dirinya atau orang lain (5,6 persen).
Dalam menindaklanjuti pelanggaran para ASN, kata Arie, mereka dapat direkomendasikan untuk menerima sanksi moral ataupun hukuman disiplin. Sanksi moral terbagi menjadi dua yakni pernyataan tertutup dan terbuka, sedangkan hukuman dibagi tiga yaitu ringan, sedang, dan berat.
”Prinsip dari pengawasan tetap mengandalkan upaya pencegahan. Hal ini dengan melibatkan lembaga, kementerian, atau dinas terkait untuk mengawasi dan membina internal masing-masing,” tutur Arie.
Persoalan ini seperti ’lingkaran setan’ yang tidak akan selesai, apalagi dalam Pemilu 2024. Sejumlah ASN tetap berpihak dan mendukung pilihan masing-masing demi kepentingan pribadi.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin, sanksi dan hukuman kerap diberikan pada ASN yang melanggar netralitas. Namun, pelanggaran itu juga selalu berulang kali terjadi. Para ASN cenderung tetap berpihak saat pilkada ataupun pemilu secara diam-diam.
”Persoalan ini seperti ’lingkaran setan’ yang tidak akan selesai, apalagi dalam Pemilu 2024. Sejumlah ASN tetap berpihak dan mendukung pilihan masing-masing demi kepentingan pribadi,” ungkapnya saat dihubungi.
Sejumlah pihak juga ada yang memobilisasi ASN untuk kepentingan elektoral. Hal ini, kata Ujang, tidak dapat dihindari dan pemberian sanksi akan terus dikompromi. Dia mencontohkan ASN yang berpihak pada pemenang pemilu atau pilkada cenderung dilepaskan, sedangkan berpihak pada yang kalah akan ditindak.
Ujang menambahkan, cukup sulit untuk mengawasi netralitas ASN. Hal yang dapat dilakukan hanya menegakkan aturan dengan tegas dan pengawasan diperketat. Persoalan netralitas ASN menjadi masalah turun-temurun dan acapkali dimanfaatkan oleh calon atau pasangan calon dalam kontestasi.