Kekayaan Pejabat Negara Tercatat Rp 609,35 Triliun
Akumulasi kekayaan penyelenggara negara di pusat dan daerah yang tercatat di LHKPN mencapai Rp 609,3 triliun. Namun, angka ini dinilai belum sepenuhnya sesuai realita.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
Tanda terima laporan harta penyelenggara negara (LHKPN) yang dibawa Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Kamis (9/1/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Akumulasi harta kekayaan penyelenggara negara yang dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2022 untuk tahun lapor 2021 mencapai Rp 609,35 triliun, naik dari tahun sebelumnya Rp 567,4 triliun. Harta tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan, menjadi porsi terbesar mencapai lebih dari 70 persen.
Jumlah akumulasi harta senilai Rp 609,35 triliun itu berasal dari 366.465 wajib lapor. Dengan begitu, rata-rata per wajib lapor menyampaikan memiliki kekayaan Rp 1,66 miliar. Namun, rentang variasi nominal kekayaan yang dilaporkan amat bervariasi. Misalnya, lima penyelenggara negara dengan kekayaan terbesar jika digabung memiliki kekayaan mencapai Rp 27,1 triliun atau sekitar 4,4 persen dari total akumulasi kekayaan untuk tahun lapor 2021.
Sementara itu, pelaporan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tahun lapor 2022 masih berlangsung hingga 31 Maret 2023.
Kendati nominal yang tercatat oleh KPK cukup besar secara akumulasi, nilai ini diyakini masih belum benar-benar mencerminkan kekayaan riil penyelenggara negara. Sebab, dalam pengisian LHKPN, penyelenggara negara, baik eksekutif dan legislatif di pusat maupun daerah, serta pejabat BUMN/BUMD diberikan kepercayaan untuk melaporkan secara mandiri jenis barang dan jumlah hartanya. Penyelenggara negara juga diberi pilihan untuk mencantumkan nilai estimasi pelaporan harta menggunakan nilai perolehan atau nilai pasar.
Beberapa pekan terakhir, di ruang publik ramai diskursus mengenai sejumlah pejabat yang memiliki harta tidak sesuai dengan profil penghasilannya. KPK, misalnya, mengklarifikasi LHKPN bekas pejabat eselon III Kepala Bagian Umum Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Kantor Wilayah Jakarta Selatan Rafael Alun Trisambodo serta bekas Kepala Kantor Bea dan Cukai Daerah Istimewa Yogyakarta Eko Darmanto. Pada Selasa (14/3), KPK juga akan mengklarifikasi LHKPN Kepala Kantor Pajak Madya Jakarta Timur Wahono Saputro dan Kepala Bea dan Cukai Makassar Andhi Pramono.
Terkini, muncul laporan terkait dugaan kejanggalan laporan LHKPN Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu Dodik Samsu Hidayat. Harta Dodik yang dilaporkan di LHKPN pada 2017 sampai dengan 2021 selalu sama, yakni Rp 5,35 miliar. Padahal, jabatannya berubah dari Kepala Subdirektorat Peraturan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) Direktorat Peraturan Perpajakan menjadi kepala kantor wilayah. Informasi kejanggalan LHKPN Dodik itu disampaikan pegiat antikorupsi, Emerson Yuntho, di akun media sosialnya.
Terkait hal itu, Inspektur Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh, di Jakarta, Senin (13/3/2023), mengatakan, LHKPN dan laporan hasil kajian yang tidak diperbarui akan diverifikasi oleh Inspektorat Jenderal Kemenkeu. ”Untuk (LHKPN Dodik) ini, termasuk yang terjaring dalam anomali, tetapi masuk kategori untuk diimbau perbaikan pelaporan,” kata Awan.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengakui, belum semua harta yang disampaikan wajib lapor sesuai dengan kenyataan. Sebab, nilai properti menggunakan harga taksiran. Begitu juga dengan nilai saham di perusahaan tertutup yang nilainya sulit ditaksir. KPK juga tidak mempunyai akses untuk mendapatkan informasi nilai valuasi lembar saham di perusahaan tertutup.
Oleh karena itu, KPK akan memperbaiki pengisian nilai properti dengan merujuk ke nilai jual obyek pajak (NJOP). Adapun untuk harga saham belum bisa ditemukan cara mengecek nilai perusahaan.
Pada tahun ini, kata Pahala, KPK membuat peraturan terkait laporan yang tak ada perubahan nilai harta kekayaannya. KPK akan memberi akses kepada instansi terkait untuk menegur pelapor tersebut.
Selain itu, KPK juga akan membuat panduan terkait dengan valuasi suatu produk. ”Soal valuasi tidak ada aturannya. Tidak ada rujukannya berapa misalnya harga properti. Mobil baru, sudah dipakai tiga tahun, berapa penurunannya,” kata Pahala.
Meskipun tidak sepenuhnya harta yang dilaporkan sesuai kenyataan, KPK berusaha memverifikasi LHKPN yang disampaikan pelapor. Dalam proses pemeriksaan, KPK menggunakan sistem Sipedal untuk mendapatkan data dari bank dan asuransi. Informasi yang diperoleh mencakup data pelapor, istri, dan anak.
KPK juga meminta data ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mendapatkan sertifikat tanah yang dimiliki pelapor, istri, dan anak. Selain itu, ke Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap untuk mengetahui kepemilikan kendaraan.
Ketika terjadi perbedaan data, KPK mengirimkan surat klarifikasi. Namun, ketika di bank terdapat penerimaan yang tidak sesuai dengan laporannya, KPK menerbitkan surat pemeriksaan. Pahala menegaskan, ketika penerimaan tersebut dari pihak yang ada hubungannya dengan pelapor, orang tersebut dipanggil KPK untuk pemeriksaan.
Adapun selama kurun 2019-2022, dari 1.635 pemeriksaan LHKPN, 411 laporan hasil pemeriksaan berdasarkan permintaan ataupun inisiatif telah diteruskan ke tahap penindakan, yakni penyelidikan, penyidikan, dan pelacakan aset.
Menurut Emerson Yuntho, kementerian atau lembaga harus membuat surat pernyataan bagi pejabat yang melaporkan LHKPN dengan tidak jujur bersedia diberhentikan dari jabatannya dan hartanya bisa disita untuk negara. Hal itu bertujuan agar ke depan mereka tidak asal kirim laporan saja, tetapi juga menyampaikan secara jujur dan tidak ada data yang disembunyikan.
Di sisi lain, kata Emerson, KPK harus membangun sistem. Ketika ada yang mencurigakan, seperti jumlah harta yang tidak sesuai profil, ada pemetaan terhadap yang berisiko tinggi. Ini bisa dilakukan langkah-langkah lebih lanjut, seperti pemeriksaan.
Ia juga berharap ada perbaikan undang-undang. Sebab, selama ini tidak ada ancaman pidana atau sanksi bagi mereka yang tidak lapor atau yang tidak memberikan laporan secara jujur. ”Jadi, orang akhirnya asal milih atau mendingan tidak usah lapor sama sekali,” ujarnya.