Serangan siber rentan terjadi. Bawaslu di sejumlah daerah pernah menerima serangan siber. Sebanyak 116 serangan berimbas pada kerja-kerja Bawaslu.
Oleh
IQBAL BASYARI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu membentuk Tim Tanggap Insiden Siber untuk mengantisipasi potensi pencurian data pemilu. Sebab, serangan siber kepada penyelenggara pemilu tidak hanya bisa merusak sistem informasi dan mengganggu pelayanan publik, tetapi juga bisa menghilangkan data sehingga berpotensi menimbulkan kekacauan dan ketidakpercayaan publik.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Puadi, mengatakan, Tim Tanggap Insiden Siber Bawaslu CSIRT yang diresmikan di Jakarta, Senin (13/3/2023), merupakan salah satu upaya untuk melindungi sistem atau data. Tim tersebut juga bertugas memulihkan insiden keamanan siber yang terjadi di Bawaslu RI, Bawaslu provinsi, dan Bawaslu kabupaten/kota.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Menurut dia, serangan siber rentan terjadi di seluruh wilayah tugas Bawaslu di Indonesia. Beberapa daerah yang pernah mendapatkan gangguan siber antara lain di Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, dan Sumatera Barat. Sebanyak 116 serangan di antaranya bahkan berdampak pada kerja-kerja Bawaslu.
”Kami harus lebih waspada dan hati-hati, mitigasinya pun harus segera dilakukan secara spontan ketika ada serangan siber,” kata Puadi.
Ia menuturkan, ada sejumlah ancaman serangan siber ke Bawaslu. Serangan biasanya menargetkan pencurian data, yakni data hasil pengawasan, data pelanggaran, serta data sengketa proses pemilu yang menjadi kewenangan Bawaslu. Terlebih, dalam data tersebut ada data yang dikecualikan sehingga Bawaslu harus memperkuat keamanannya.
Serangan siber, lanjutnya, tidak hanya merusak sistem informasi, tetapi juga bisa mengganggu pelayanan publik. Selain itu, kebocoran dan pencurian data pemilu bahkan berpotensi menimbulkan kekacauan politik serta ketidakpercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan dan hasil pemilu.
Menurut Puadi, tidak ada sistem informasi yang sepenuhnya aman dari gangguan dan serangan. Untuk itu, diperlukan sejumlah langkah untuk mencegah dan merespons gangguan atau serangan siber. Maka dalam upaya pencegahan, Bawaslu menggandeng sejumlah pihak yang dipandang memiliki perangkat, pengetahuan, dan pengalaman untuk sosialisasi serta pelatihan keamanan siber.
Bahkan di lingkungan Bawaslu, ia mengakui masih terbatasnya sumber daya manusia berkualifikasi teknologi informasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pemahaman tentang kebersihan dan keamanan siber juga masih rendah. Selain itu, sistem informasi di bawah Bawaslu juga masih banyak yang memiliki celah keamanan. ”Keberadaan Bawaslu CSIRT juga sejalan dengan upaya Bawaslu untuk mengakselerasi penerapan sistem pemerintahan berbasis elektronik,” ujarnya.
Deputi Bidang Operasi Kemanan Siber dan Sandi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Dominggus Pakel mengatakan, tim CSIRT harus tanggap terhadap ancaman keamanan siber. Mereka harus melakukan pengamanan berlapis sebagai bentuk perlindungan terhadap data dan informasi yang dimiliki Bawaslu.
Menurut dia, penguatan keamanan siber terhadap lembaga penyelenggara pemilu merupakan bentuk dukungan kepada demokrasi. Kerja sama antara BSSN dan Bawaslu juga telah dimulai sejak 2021 melalui pemanfaatan layanan sertifikasi elektronik.
”Kegiatan launching Bawaslu CSIRT pada hari ini diharapkan dapat menjadi embrio positif yang patut kita jaga sebagai upaya meningkatkan keamanan siber nasional,” ujarnya.