Mengacu pada amanat putusan uji materi UU MK, pemilihan ketua MK paling lambat digelar pada 20 Maret 2023. MK telah merencanakan pemilihan akan digelar pada 15 Maret mendatang.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, Ayu Nurfaizah
·5 menit baca
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Gedung Mahkamah Konstitusi, di Jakarta, Jumat (24/5/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah penyelesaian kasus dugaan pengubahan substansi putusan yang diduga melibatkan hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi akan menggelar pemilihan ketua baru setelah berakhirnya masa jabatan Anwar Usman. Diharapkan, ketua MK terpilih nantinya merupakan sosok dengan jiwa kepemimpinan yang kuat sehingga mampu menghadang berbagai upaya intervensi yang dilakukan dari lembaga politik, seperti Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah.
Pemilihan ketua MK menurut rencana dilaksanakan pada pekan depan, tepatnya Rabu (15/3/2023). Pemilihan ketua MK tersebut dilaksanakan sesuai dengan amanat putusan dalam uji materi UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang perubahan keempat UU MK. Dalam putusannya, pemilihan ketua MK paling lambat dilakukan sembilan bulan dari putusan MK yang dibacakan pada 20 Juni 2022 atau paling lambat pada 20 Maret 2023.
Anwar Usman telah menjabat sebagai ketua MK sejak 2 April 2018 menggantikan Arief Hidayat. Mengacu pada UU lama yang mengatur masa jabatan pimpinan MK selama 2,5 tahun, Anwar seharusnya berhenti dari jabatan ketua pada 2 Oktober 2020.
Namun, UU MK terbaru (tahun 2020) mengubah masa jabatan ketua dan wakil ketua menjadi lima tahun serta mengubah penghitungan masa berakhirnya tugas hakim konstitusi dari semula periodik lima tahunan menjadi maksimal 15 tahun atau berusia 70 tahun.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman memasukkan surat suara ke dalam kotak suara saat voting untuk memilih Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2019-2021 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (25/3/2019). Pemilihan diikuti dua kandidat, yaitu Hakim Konstitusi Aswanto dan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna. Aswanto akhirnya terpilih sebagai Wakil Ketua MK setelah I Dewa Gede Palguna mengundurkan diri dari pencalonan saat voting memasuki putaran yang ketiga.
Selain ketua MK, posisi wakil ketua MK juga saat ini kosong. Sebelumnya, jabatan wakil ketua MK diampu oleh hakim konstitusi Aswanto. Akan tetapi, DPR memberhentikan secara sepihak Aswanto pada November 2022. Sejak saat itu, jabatan wakil ketua MK dibiarkan kosong.
Mengacu pada Pasal 4 Ayat (3) UU No 7/2020 tentang Perubahan Ketiga UU MK, ketua dan wakil ketua MK dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa jabatan selama lima tahun. Ketua dan wakil ketua MK yang sedang menjabat dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan.
Pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Fathan AG Wardhana, berharap sembilan hakim konstitusi dapat memilih pimpinan MK secara bijak dengan mempertimbangkan kepentingan institusi. Selama ini, banyak persoalan yang terjadi di tubuh MK, seperti kasus pengubahan substansi putusan 103/PUU-XX/2022, kasus pencopotan hakim konstitusi Aswanto, dan putusan-putusan yang oleh sebagian kalangan kurang bisa memenuhi harapan publik.
”Mencuatnya kasus-kasus semacam ini berkaitan dengan kepemimpinan. Butuh ketegasan seorang pemimpin. Di zaman Pak Mahfud (saat menjadi Ketua MK), ada juga kasus, tetapi MK tidak babak belur seperti ini karena ketuanya punya wibawa dan kepemimpinan yang kuat sehingga kepercayaan publik bisa langsung kembali,” tuturnya, Jumat (9/3).
Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi, Selasa (16/7/2019).
Menurut Allan, MK butuh pemimpin yang mampu memberikan angin segar. Hal itu terutama ketika upaya-upaya mengintervensi lembaga kekuasaan kehakiman tersebut muncul, seperti kasus pencopotan Aswanto. ”Itu jelas melanggar UU MK, mengabaikan proses seleksi yang terbuka dan transparan seperti amanat UU. Harusnya ketua MK bersikap dengan apa yang dilakukan DPR. Harus berani sebab posisi DPR dan MK, kan, setara,” katanya.
Terkait dengan kasus pengubahan putusan 103/2022 yang kini tengah ditangani Majelis Kehormatan MK, Allan juga berharap agar hal tersebut menjadi pertimbangan bagi para hakim konstitusi dalam menjatuhkan pilihan.
”Saya yakin tiap hakim pasti sudah tahu siapa pelakunya. Hanya dia terbebani kode etik jadi tidak bisa mengungkapkan, tidak punya kewenangan juga sebab Majelis Kehormatan MK yang akan ungkap. Para hakim perlu menyadari bahwa pilihan mereka nanti akan menentukan masa depan MK,” kata Allan agar hakim konstitusi tidak memilih orang yang memiliki masalah secara etik.
Dukung Majelis Kehormatan
Hingga Kamis (9/3), Majelis Kehormatan MK sudah menyelesaikan permintaan keterangan terhadap para hakim konstitusi. Akan tetapi, Majelis Kehormatan masih meminta keterangan dari pihak-pihak yang dibutuhkan untuk melakukan pendalaman terkait terduga pelaku pengubahan substansi putusan.
AYU NURFAIZAH UNTUK KOMPAS
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna di Kantor Mahkamah Konstitusi (MK), Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (1/3/2023).
Saat dikonfirmasi mengenai terduga pelaku pengubahan putusan, Ketua Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna mengungkapkan, ”Maaf. Saya belum bisa menyebutkan hakim terduganya sampai sidang pemeriksaan lanjutan nanti.”
Majelis Kehormatan MK memiliki waktu 30 hari kerja untuk menyelesaikan kasus dugaan pengubahan putusan 103/2020. Artinya, Majelis Kehormatan akan mengakhiri tugasnya pada 20 Maret mendatang apabila tidak ada perpanjangan masa kerja 15 hari. Saat dikonfirmasi apakah 20 Maret mendatang Majelis Kehormatan sudah dapat membacakan putusannya, Palguna menjawab, ”Kami berusaha keras sebelum itu. Capek kalau kelamaan.”
Pada Kamis, Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan dukungannya terhadap kerja Majelis Kehormatan MK dan mendorong Lembaga etik tersebut untuk mengambil keputusan yang obyektif dan tegas terkait kasus dugaan pengubahan putusan 103. Koalisi beraudiensi dengan tiga anggota Majelis Kehormatan (Palguna, Enny Nurbaningsih, dan Soedjito).
”Kedatangan kami untuk memberi dukungan kepada Majelis Kehormatan MK agar dapat menyelesaikan skandal perubahan pengubahan bunyi pada putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022. Selain itu, kami juga menyampaikan kepada MKMK untuk menemukan pelaku serta menjatuhkan saksi berat berupa pemberhentian kepada pelaku yang terbukti melakukan tindakan tersebut,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, yang merupakan anggota koalisi. Selain ICW, masyarakat sipil lain yang tergabung dalam koalisi di antaranya Transparency International Indonesia (TII) dan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas.
Perwakilan dari sejumlah kelompok masyarakat sipil saat bertemu Majelis Kehormatan MK, Kamis (9/3/2023).
Dalam pertemuan ini, koalisi juga menyampaikan surat dukungan dari sejumlah tokoh, yaitu lima mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, di antaranya Abraham Samad, Laode M Syarif, Bambang Widjojanto, Saut Situmorang, dan Busyro Muqoddas. Lima guru besar dari berbagai universitas, di antaranya Guru Besar Ilmu Hukum UII Ni'matul Huda dan Guru Besar FH Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, Guru Besar FH Universitas Muhammadiyah Jakarta Zainal Arifin Husein, dan Guru Besar FH Universitas Andalas Zainul Daulay, juga menyampaikan dukungan.
Kurnia menjelaskan, koalisi ini telah dibentuk sejak pemberhentian sewenang-wenang hakim konstitusi Aswanto pada akhir September 2022. Pemberhentian tersebut dinilai dilakukan secara sewenang-wenang, juga bertentangan dengan UU MK. Dalam UU MK tidak diatur penghentian hakim di tengah periode.
Ia menilai pemberhentian hakim Aswanto oleh DPR dan Presiden di tengah jabatan ini melanggar konstitusi. Ditambah lagi, perbuatan mengubah putusan tidak sekedar melanggar kode etik, tetapi juga bernuansa tindak pidana. Menurut Kurnia, selama proses formil pemberhentian hakim ini bermasalah, proses materiil dengan diangkatnya hakim Guntur Hamzah sebagai pengganti Aswanto juga tidak dapat dinilai benar.
”Pertemuan hari ini mestinya ditangkap sebagai bentuk kepedulian dan keresahan publik terhadap independensi MK. Pasalnya, terdapat intervensi cabang-cabang kekuasaan, baik eksekutif dan legislatif, dalam pengambilan keputusan di MK. Publik menginginkan MK bersih dari orang-orang bermasalah dan bebas dari konflik kepentingan,” papar Kurnia.