Penggantian Aswanto Membuat Hakim Konstitusi Bisa Diganti Sewaktu-waktu
Presiden memuluskan keputusan DPR yang mengganti Hakim Konstitusi Aswanto. Pagi ini, Guntur Hamzah akan mengucapkan sumpah sebagai Hakim Konstitusi di hadapan Presiden. Pintu intervensi kekuasaan kehakiman kian terbuka.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, DIAN DEWI PURNAMASARI, SUHARTONO
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) dan beberapa perwakilan elemen masyarakat yang tergabung dalam Masyarakat Madani menggelar aksi seruan penyelamatan Mahkamah Konstitusi di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/10/2022). Mereka memprotes langkah DPR yang memberhentikan dan mengganti Hakim Konstitusi Aswanto.
JAKARTA, KOMPAS - Pengucapan sumpah dan janji Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi yang menggantikan Hakim Konstitusi Aswanto, di hadapan Presiden Joko Widodo, tetap akan digelar di tengah kuatnya desakan agar Presiden menolak penggantian yang didasarkan pada keputusan DPR tersebut.
Hal ini dinilai memperlihatkan pintu intervensi terhadap kekuasaan kehakiman yang kian terbuka lebar. Seluruh hakim konstitusi dapat diberhentikan sewaktu-waktu jika lembaga pengusul, yakni DPR, Presiden, ataupun Mahkamah Agung, tak puas dengan kinerja yang bersangkutan.
Berdasarkan undangan yang beredar, Guntur Hamzah dijadwalkan mengucapkan sumpah jabatan sebagai hakim konstitusi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/11/2022) pukul 09.30. Pelantikan digelar empat jam sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) dijadwalkan membacakan putusan uji materi Pasal 87 Huruf b UU MK yang terkait dengan proses penggantian Aswanto oleh DPR.
”Ya, besok (hari ini), Presiden akan menghadiri pengucapan sumpah dan janji hakim konstitusi yang baru,” ujar Menteri Sekretaris Negara Pratikno kepada Kompas tanpa merinci lebih jauh, Selasa (22/11).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Guntur Hamzah (kiri) saat disetujui disahkan menjadi hakim konstitusi menggantikan Aswanto, di Mahkamah Konstitusi saat Rapat Paripurna ke-7 Masa Sidang 1 Tahun Sidang 2022-2023 di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (29/8/2022).
Sementara itu, menurut sumber di Istana, Presiden tak bisa menolak permintaan DPR. Sama seperti yang pernah dikemukakan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, mengacu pada Pasal 18 UU MK, pengajuan hakim konstitusi dari lembaga pengusul ditetapkan dengan keputusan presiden (keppres).
”Dengan keppres itu artinya secara hukum Presiden hanya menjalankan kewajiban administratif. Presiden hanya merespons keputusan lembaga lain, yaitu DPR, sehingga Presiden tidak melakukan penilaian terhadap proses keputusan DPR atau keputusan MA,” ujar sumber tersebut.
Secara politik, Presiden dalam posisi menghormati sesama lembaga negara. ”Dengan menghormati DPR, Presiden tidak ingin berhadapan dan konfrontasi dengan lembaga lain,” lanjut sumber tersebut.
Namun, menurut mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Presiden sebenarnya dapat mengoreksi keputusan DPR yang secara ketatanegaraan bertentangan dengan UU MK. Terlebih, keputusan DPR itu bisa menjadi preseden buruk karena dapat mengintervensi kemandirian hakim.
Hakim Konstitusi Aswanto memasukan surat suara ke dalam kotak suara saat voting untuk memilih Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2019-2021 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (25/3/2019). Aswanto terpilih sebagai Wakil Ketua MK setelah kandidat lainnya Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengundurkan diri dari pencalonan saat voting memasuki putaran yang ketiga.
”Ketentuan sudah jelas diatur di UU MK bahwa hakim konstitusi diberhentikan apabila ada pelanggaran berat yang menyebabkan dia diberhentikan tidak dengan hormat. Jika alasan DPR di luar ketentuan UU itu, lalu dasarnya apa Presiden mengeluarkan keppres,” tutur Palguna.
Tunggu putusan MK
Apalagi, pada hari yang sama, MK akan memutus uji materi UU MK terkait Pasal 87 Huruf b yang sangat terkait dengan proses penggantian Aswanto oleh DPR. Pemohon uji materi, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, mempersoalkan langkah DPR yang dinilainya mengintervensi MK dengan mengganti Aswanto.
Langkah DPR itu dinilai tidak sejalan atau menafsirkan secara berbeda putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Pada putusan itu, MK menyatakan diperlukan tindakan hukum berupa konfirmasi kepada lembaga pengusul terkait masa jabatan hakim konstitusi yang tidak lagi menganut periodisasi. Konfirmasi sebatas pemberitahuan. Namun, oleh DPR, konfirmasi dimaknai permintaan persetujuan.
Menurut Palguna, Presiden seharusnya menunggu putusan MK. Hal senada diungkapkan peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fahrizal.
Hakim konstitusi dalam persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (15/02/2021).
Menanti putusan MK juga penting karena, menurut Nicky, keputusan Presiden tak tepat. Jika Presiden setia pada aspirasi pemerintahan yang berlandaskan konstitusi, seharusnya keputusan DPR ditolak karena mekanisme pengangkatan dan pengunduran diri hakim dalam UU MK telah dilanggar.
Saling mengoreksi
Senada dengan Palguna, ia pun menilai Presiden punya kewenangan mengoreksi keputusan DPR yang salah. Itulah fungsi sistem pengawasan dan keseimbangan (check and balances) kekuasaan, yaitu saling mengoreksi jika ada praktik ketatanegaraan yang keliru. Jika kemudian justru saling melegitimasi keputusan yang salah, bisa berbahaya bagi negara hukum yang demokratis.
Keputusan Presiden yang tetap memproses penggantian Aswanto, menurut pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, justru memperlihatkan campur tangan negara, yakni legislatif dan eksekutif, pada kekuasaan kehakiman yang sebenarnya sudah dijamin kemerdekaannya oleh UUD 1945.
Sementara itu, mantan Ketua MK Hamdan Zoelva mengungkapkan, langkah Presiden tetap melantik Guntur Hamzah sepertinya karena Presiden ingin menjaga hubungan baik dengan DPR. Apalagi pemberhentian Aswanto dan pengangkatan Guntur diputuskan oleh paripurna DPR. “Ini bisa diuji melalui PTUN. (Sebab) prosesnya dari awal mengabaikan hukum yang berlaku,” kata dia.