Substansi Putusan MK Diduga Diubah Setelah Dibacakan
Substansi putusan uji materi perkara UU No 7/2020 tentang MK diduga diubah. Putusan yang dibacakan ataupun salinan putusan dan risalahnya berbeda. MK didesak mengusut dan menindak.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·6 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Agustus 2020.
JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Konstitusi diduga diterpa skandal pengubahan substansi putusan perkara 103/PUU-XX/2022 tentang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK. Putusan yang dibacakan oleh hakim di ruang persidangan tersebut berbeda dengan apa yang tertulis dalam salinan putusan dan risalah sidang. MK didesak untuk menyelidiki dugaan perubahan substansi putusan tersebut serta menemukan pihak-pihak yang harus bertanggung jawab atas tindakan tersebut.
Substansi putusan yang diduga diubah ialah perkara 103/PUU-XX/2022 tentang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak mempersoalkan Pasal 87 huruf b UU 7/2020, khususnya terkait pemberhentian secara hormat hakim konstitusiAswanto di tengah masa jabatannya. Aswanto di-recall oleh Lembaga pengusung (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk alasan telah membatalkan produk DPR atau tak memiliki komitmen terhadap lembaga yang mengusulkannya.
Putusan tersebut sebelumnya dibacakan beberapa jam setelah Sekretaris Jenderal MK, Guntur Hamzah, dilantik menjadi hakim konstitusi untuk menggantikan Aswanto.
Perbedaan frasa
Zico saat dihubungi Kamis (26/1/2023) mengaku kaget pada saat membaca putusan nomor 103/2022 pada halaman 51 yang berbeda dengan apa yang dibacakan pada sidang pembacaan putusan pada 23 November 2022 lalu. Sebab, ada perbedaan yang sangat signifikan antara substansi putusan yang dibacakan dengan salinan putusan dan risalah persidangan di situs resmi MK.
Dalam pertimbangan putusan yang dibacakan oleh hakim konstitusi Saldi Isra, ada perubahan frasa dari “Dengan demikian, …” menjadi “Ke depan,…”. Adapun bunyi selengkapnya adalah, “Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK…”
SUSANA RITA KUMALASANTI
#---This is Caption---#
Namun, dalam salinan putusan dan risalah persidangan tertulis: “Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK…”
Zico mengaku yakin bahwa perubahan tersebut bukan sekadar salah ketik atau typo, melainkan sebuah kesengajaan yang sangat terang-benderang. Selain itu, ada perbedaan signifikan terhadap makna kata-kata yang diubah. Ia juga yakin perubahan dilakukan secara sadar untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu.
"Perubahan tersebut bukan sekadar salah ketik atau typo, melainkan sebuah kesengajaan yang sangat terang-benderang. Selain itu, ada perbedaan signifikan terhadap makna kata-kata yang diubah. Ia juga yakin perubahan dilakukan secara sadar untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu"
“Permasalahan yang sekarang harus dicari jawabannya adalah siapakah pelakunya,” kata Zico, Kamis. Pihaknya menduga pihak yang mengubah putusan tersebut adalah mereka yang meng-handle putusan dan sidang, sehingga terduga pelaku ada di kepaniteraan MK ataupun individu hakim konstitusi.
Ia pun mengaku akan memperkarakan persoalan tersebut dengan menempuh berbagai upaya hukum yang ada. “Dalam lingkup pidana, pelaku yang memerintahkan pengubahan substansi putusan ini secara terang-terangan memenuhi unsur dalam Pasal 211 dan 421 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam lingkup tata usaha negara, pengubahan ini secara jelas terang-terangan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik,” ujarnya.
Dalam lingkup tata negara dan institusi MK, menurut dia, hal tersebut harus dilakukan penyelidikan oleh Majelis Kehormatan MK terkait siapakah harus dikenai sanksi. Hanya saja, saat ini Majelis Kehormatan mati suri. Untuk itu, ia berharap MK segera membentuk Majelis Kehormatan MK agar dirinya dapat mengadukan persoalan dugaan pengubahan substansi putusan tersebut ke institusi pengawas hakim MK tersebut.
Selain majelis kehormatan yang mati suri, ia juga mempersoalkan tentang ketentuan bahwa salah satu unsur anggota Majelis Kehormatan berasal dari kalangan hakim konstitusi aktif. Ketentuan itu bisa merugikan dirinya selaku pemohon uji materi 103/2022.
DOKUMEN PRIBADI
Advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak
Oleh karena saat ini Majelis Kehormatan belum ada, ia mempersoalkan kasus pengubahan putusan tersebut melalui uji materi Pasal 23 UU MK. Pasal tersebut mengatur tentang alasan-alasan pemberhentian hakim MK (meninggal dunia, mengundurkan diri atas permintaan sendiri, berusia 70 tahun, sakit jasmani/rohani secara terus menerus selama tiga bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya). Di dalam berkas permohonannya, ia memasukkan persoalan perubahan substansi putusan 103/2022. Perkara baru ini didaftarkan ke Kepaniteraan MK pada Kamis (26/1) kemarin.
Dalam pengujian ini, ia meminta agar Ketua MK Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Guntur Hamzah tidak turut menyidangkan perkara terbaru. “Terduga pelaku penggantian substansi putusan hanya bisa dilakukan oleh kepaniteraan maupun hakim konstitusi. Terkait kepaniteraan, sebagai sebuah organisasi, kepaniteraan MK berada di bawah dan merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari ketua MK Anwar Usman. Oleh karenanya, Ketua MK seharusnya tidak ikut pengadili perkara ini,” ungkapnya.
“Terduga pelaku penggantian substansi putusan hanya bisa dilakukan oleh kepaniteraan maupun hakim konstitusi. Terkait kepaniteraan, sebagai sebuah organisasi, kepaniteraan MK berada di bawah dan merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari ketua MK Anwar Usman. Oleh karenanya, Ketua MK seharusnya tidak ikut pengadili perkara ini”
Alasan lainnya, pihaknya saat ini tengah menempuh upaya hukum keberatan administratif ke Panitera MK. Nantinya, Zico juga berpotensi melakukan upaya hukum banding administratif kepada Ketua MK sehingga sudah selayaknya jika Anwar Usman tidak turut mengadili perkara ini.
Sementara itu, hakim konstitusi Guntur Hamzah juga diminta tidak turut mengadili perkara pengujian terkini yang dilakukan Zico. Sebab, perkara 103/2022 yang substansinya diubah sangat berkaitan erat dengan Guntur.
Sementara itu, juru bicara MK yang juga Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat dikonfirmasi mengenai dugaan pengubahan substansi putusan 103/2022 mengatakan, pihaknya akan mengecek informasi tersebut.
Saat ini, keputusan presiden tentang pengangkatan Guntur Hamzah sedang digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan tersebut diajukan oleh Priyanto Hadisaputro dengan nomor perkara 2/G/2023/PTUN.JKT. Perkara tersebut saat ini masih diperiksa oleh majelis hakim PTUN.
“Seharusnya dengan bermodal putusan 103 yang tidak diubah, maka gugatan tersebut akan memiliki standing kuat untuk dikabulkan. Namun, putusan 103 diubah. Oleh karena perkara ini sangat berkaitan erat dengan hakim konstitusi Guntur Hamzah, maka sepatutnyalah hakim konstitusi Guntur Hamzah tidak mengadili perkara itu,” ujar Zico.
Penyelundupan hukum
Pengajar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Yance Arisona mengungkapkan, peristiwa ini bisa menjadi skandal pengubahan putusan. Ia sepakat bahwa ada makna yang sangat berbeda antara frasa “dengan demikian” dan “ke depan”.
Terkait substansi mana yang sah, menurut dia, yang diucapkan di dalam berpidangan adalah yang memiliki kekuatan hukum, bukan yang ditulis dalam salinan putusan. “Untuk putusan 103 ini perlu dicek, tidak disengaja, ataukah ada kesengajaan. Kalau ada kesengajaan, bisa jadi ada penyelundupan hukum,” ungkap Yance.
“Untuk putusan 103 ini perlu dicek, tidak disengaja, ataukah ada kesengajaan. Kalau ada kesengajaan, bisa jadi ada penyelundupan hukum”
Pendiri kantor hukum Themis Indonesia, Feri Amsari, mengungkapkan, ada dua kemungkinan terkait perubahan substansi putusan yang terjadi pada putusan 103/2022. Kemungkinan pertama, ada kesepakatan di balik layar diantara para hakim. Atau kemungkinan kedua, ada yang “bermain” mengubah substansi putusan. “Yang mengubah itu bisa hakimnya, bisa juga panitera penggantinya,” ujar Feri menduga.
Terkait dengan hal tersebut, penyelidikan perlu dilakukan. Penyelidikan bisa dilakukan oleh pengawas internal MK atau dengan membentuk tim independen seperti yang pernah dilakukan oleh Mahfud MD saat menjabat Ketua MK saat menunjuk Refly Harun sebagai ketua satuan tugas untuk menyelidiki dugaan adanya praktik suap di kalangan MK.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari
“Tetapi (peristiwa) ini mengejutkan. Karena satu kalimat saja bisa menimbulkan penafsiran yang sangat berbeda. Kalau apa yang dibacakan lalu berbeda dengan apa yang menjadi putusan yang bisa diakses publik, itu aka nada pemaknaan yang sangat berbeda.” ujar Feri.
Sementara itu pengajar hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura, mengungkapkan, perubahan substansi putusan bisa menjadi bukti bagi pihak-pihak yang menggugat Keppres Pengangkatan Guntur Hamzah ke PTUN Jakarta.
MK harus menangani persoalan ini secara serius dan menindak tegas orang-orang yang terlibat dalam perubahan tersebut. “Kalau tidak diusut secara tegas, saya pikir bisa menjadi modus. Ke depan, hal demikian bisa dianggap lumrah. Untung ini ketahuan, bagaimana kalau seandainya tidak ketahuan,” ungkapnya.
Oleh karena itu, ia mendesak agar kasus semacam ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang biasa mengingat dampaknya sangat berat.