Cegah Akumulasi Kekayaan Tak Wajar Pejabat, Perkuat Pengawasan Internal
KPK akan mengklarifikasi LHKPN Eko Darmanto pada Selasa (7/3/2023) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. Eko akan diklarifikasi terkait aset, utang, kepemilikan mobil antik, dan data elektronik yang dikumpulkan KPK.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mencuatnya kasus bekas pejabat eselon III Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo dan bekas Kepala Kantor Bea dan Cukai Provinsi DI Yogyakarta Eko Darmanto menjadi momentum untuk memperkuat pengawasan internal di kementerian atau lembaga. Pertambahan kekayaan penyelenggara negara bisa dimonitor sejak awal berdasarkan kesesuaian gaya hidup sehari-hari dan informasi pihak di sekitarnya.
Setelah mengklarifikasi Rafael, Rabu (1/3/2023), KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Eko pada Selasa (7/3/2023) di Gedung Merah Putih KPK. Eko juga mendapatkan sorotan publik karena kerap memamerkan gaya hidupnya yang mewah di media sosial.
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan, Eko telah menyatakan bersedia hadir. Eko juga sudah diminta Kemenkeu berkantor di Jakarta. KPK berencana akan mengklarifikasi terhadap Eko terkait dengan aset, utang, dan kepemilikan mobil antik. ”Termasuk data yang kita peroleh, kita konfirmasi juga. Ini lagi jalan pengumpulan data elektroniknya,” kata Pahala saat dihubungi di Jakarta, Jumat (3/3/2023).
Terkait dengan LHKPN Rafael, Pahala mengungkapkan, dari total hartanya yang mencapai Rp 56,1 miliar, sebanyak Rp 51 miliar berupa properti yang dilaporkan atas nama dirinya dan istrinya. Jumlah tersebut merupakan akumulasi sejak Rafael belum melaporkan LHKPN pada 2011.
Pada 2021, Rafael melaporkan gajinya Rp 800 juta setahun dan istrinya Rp 420 juta setahun. Selain itu, hasil usaha Rp 300 juta dan biaya hidup setahun Rp 777 juta. Keuntungan usahanya dicatat sebagai pendapatan pribadi, yakni Rafael dan istri.
”Hanya pendapatan dividennya (yang dilaporkan di LHKPN). Kalau tidak bagi dividen, ya, tidak ada pendapatan bagi pribadi meskipun PT (Perseroan Terbatas)-nya untung besar. Makanya, punya enam perusahaan ini sangat cerdas caranya,” kata Pahala.
Berdasarkan data LHKPN, Rafael melaporkan surat berharga dari enam perusahaan tersebut senilai Rp 1,5 miliar. Menurut Pahala, belajar dari kasus Rafael, seharusnya pertambahan kekayaan penyelenggara negara bisa dimonitor sejak awal berdasarkan kesesuaian gaya hidup sehari-hari dan informasi sekitarnya. Hal tersebut membutuhkan peran atasan atau pengawasan internal. ”Mekanisme pengawasan internal perlu dibuat lebih efektif,” kata Pahala.
Ia menjelaskan, LHKPN dibuat setiap tahun dan gaya hidup seseorang dapat dilihat sehari-hari. Ketika ada yang tidak sesuai dengan LHKPN seperti menggunakan mobil mewah atau ada informasi dari lingkungan kerjanya, maka perlu segera dipanggil dan diklarifikasi. Dengan cara ini, maka bisa dideteksi dan seorang aparatur sipil negara (ASN) akan takut melakukan pelanggaran.
Sementara itu, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkapkan bahwa PPATK telah memblokir rekening bank Rafael, beberapa perusahaan, dan konsultan yang terkait. PPATK menduga mereka sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang profesional.
”(Selain Rafael, rekening) beberapa perusahaan dan konsultan (diblokir). Diduga sebagai professional money launderer/PML,” kata Ivan.
Sebelummya, KPK mengindikasikan bahwa Rafael menggunakan perantara untuk membeli sejumlah aset. Ia diduga membeli properti, tanah, dan kendaraan atas nama orang lain.
Menurut Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Misbakhul Hasan, penggunaan nama orang lain merupakan salah satu modus untuk mengaburkan jumlah harta kekayaan dan upaya mengelabui aparat penegak hukum apabila terjerat kasus hukum.
Belajar dari kasus Rafael, LHKPN sangat strategis untuk pemeriksaan awal harta kekayaan seorang penyelenggara negara. Apabila tidak bisa seluruh pejabat negara diperiksa, dapat dilakukan uji petik terutama nilai kekayaan pejabat yang naik sangat signifikan per tahunnya.
”Tinggal kemauan Irjen (Inspektur Jenderal) Kemenkeu dan KPK untuk men-tracking atau menelusuri sumber kekayaannya, apakah dari sumber yang legal atau tidak,” kata Misbakhul.
Selain itu, pengawas internal juga harus menggunakan teknologi informasi untuk mempermudah sistem peringatan dini yang saat ini masih lemah. Independensi pengawas internal pun harus diperkuat. Sebab, secara struktur organisasi kementerian/lembaga sulit independen, apalagi yang diawasi koleganya sendiri. Karena itu, apa yang dikerjakan pengawas internal perlu langsung dihubungkan ke pengawas eksternal, seperti Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) dan KPK.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, meyakini, fenomena pejabat berharta tidak wajar dalam melaporkan LHKPN telah marak terjadi. Kasus ini tidak cukup ditindaklanjuti dengan penindakan yang kasuistik dan jangka pendek. Evaluasi dan pembenahan pengendalian internal institusi negara, pemanfaatan LHKPN sebagai instrumen pencegahan korupsi, dan kembali menimbang urgensi pengundangan regulasi terkait illicit enrichment (peningkatan kekayaan secara tidak sah) perlu dilakukan.