Tanpa Data Pembanding, Pengawasan Coklit Tak Akan Komprehensif
Anggota KPU, Betty Epsilon Idroos, mengatakan, KPU tak akan memberikan data warga yang akan jadi sasaran pencocokan dan penelitian atau coklit. Risikonya, Bawaslu sulit pastikan akurasi, validitas, dan keabsahan coklit.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati (tengah) memberikan paparan saat diskusi bertajuk ”Menelisik Kendala dan Solusi Pemutakhiran Data Pemilih Pemilu 2024” di Jakarta, Rabu (1/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Pengawasan tahapan pencocokan dan penelitian atau coklit dinilai tidak akan komprehensif karena Badan Pengawas Pemilu tidak mendapatkan akses data yang digunakan oleh Komisi Pemilihan Umum. Bawaslu sulit memastikan akurasi, validitas, dan keabsahan coklit. Akibatnya, sulit bagi Bawaslu memastikan tidak ada warga yang kehilangan hak pilihnya.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Betty Epsilon Idroos, mengatakan, KPU tidak akan memberikan data warga yang akan menjadi sasaran pencocokan dan penelitian atau coklit. Sebab, data coklit merupakan alas data dan zero sharing data policy sehingga tidak bisa dibagikan kepada pihak lain, termasuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
”Data yang masih on progress juga tidak bisa kami bagikan ke Bawaslu,” ujarnya saat diskusi bertajuk ”Menelisik Kendala dan Solusi Pemutakhiran Data Pemilih Pemilu 2024” di Jakarta, Rabu (1/3/2023).
Data yang dijadikan acuan untuk coklit merupakan output dari sinkronisasi antara data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) dari Kementerian Dalam Negeri dengan daftar pemilih berkelanjutan KPU yang berasal dari daftar pemilih tetap di pemilu sebelumnya. Panitia Pemutakhiran Data Pemilih atau Pantarlih akan mengunjungi calon pemilih langsung dari rumah ke rumah yang dimulai pada 12 Februari hingga 14 Maret.
Data yang masih ’on progress’ juga tidak bisa kami bagikan ke Bawaslu.
Betty menuturkan, Bawaslu tetap mendapatkan akses nomor induk kependudukan (NIK) daring dari Kemendagri untuk melakukan pengecekan data coklit. Bawaslu pun bisa meminta data DP4 yang menjadi basis data coklik KPU ke Kemendagri sebagai pemilik data. Pihaknya hanya bisa membagikan data ke Bawaslu berupa daftar pemilih sementara (DPS), daftar pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHP), dan daftar pemilih tetap (DPT).
Menurut Betty, proses pelaksanaan coklit berjalan sesuai jadwal dan tanpa ada kendala berarti. Sebagian daerah bahkan telah mencapai lebih dari 75 persen sasaran coklit meskipun tahapannya masih tersisa sekitar dua pekan. Permasalahan e-coklit dan kurangnya stiker yang sempat terjadi di masa awal sudah bisa diatasi. Pihaknya pun meminta semua pantarlih melaksanakan coklit sesuai petunjuk teknis yang telah disusun.
Tenaga Ahli Bawaslu, Iji Jaelani, mengatakan, Bawaslu telah meminta KPU agar memberikan data yang menjadi sasaran coklit. Namun, hingga saat ini pihaknya belum mendapatkan data yang akan digunakan sebagai data pembanding tersebut.
Untuk menyiasati keterbatasan data, lanjutnya, Bawaslu melakukan uji petik di daerah-daerah yang warganya rentan kehilangan hak pilih, seperti wilayah tapal batas, pemilih pemula, dan kelompok disabilitas. ”Bawaslu tetap bisa mengawasi tahapan coklit meskipun tidak mendapatkan data pembanding,” ujarnya.
Bawaslu tetap bisa mengawasi tahapan coklit meskipun tidak mendapatkan data pembanding.
Di sisi lain, kata Iji, Bawaslu juga mengawasi kinerja KPU dalam melakukan coklit. Selama dua pekan pertama, Bawaslu menemukan 1.481 petugas coklit yang tidak memiliki surat keputusan. Mereka biasanya adalah ”joki” dari pantarlih resmi yang mendapatkan surat keputusan dari KPU. Pihaknya juga memastikan proses coklit dilakukan sesuai tata cara dan prosedur yang berlaku.
Sangat krusial
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menilai, masalah keterbukaan informasi publik menjadi hal yang sangat krusial. Sebab, Bawaslu tidak bisa melakukan pengawasan terhadap validitas dan hasil coklit yang dilakukan oleh KPU. Kondisi tersebut mengakibatkan efektivitas pengawasan Bawaslu dalam tahapan coklit tidak akan maksimal karena tidak memiliki data pembanding untuk melakukan pengecekan di lapangan.
”Dengan minimnya data yang dimiliki, bisa berdampak pada Bawaslu tidak bisa melakukan pengawasan secara komprehensif. Validitas, akurasi, keabsahan hasil coklit, termasuk penyusunan DPT tidak bisa komprehensif,” ujarnya.
Menurut Neni, uji petik yang dilakukan oleh Bawaslu tidak akan cukup mewakili pengawasan tahapan coklit karena sampel yang diambil sangat terbatas. Padahal, pengawasan secara komprehensif diperlukan untuk memastikan tidak ada warga yang kehilangan hak pilihnya. Ketidakakuratan DPT juga bisa berdampak pada kurangnya logistik kertas suara di tempat pemungutan suara. ”Tidak akuratnya DPT berpotensi menjadi bahan sengketa pemilu,” katanya.