Sampai hari ini kita masih melihat fenomena media partisan yang membela kepentingan sang pemilik media dan juga yang menjadi pimpinan partai politik.
Oleh
IGNATIUS HARYANTO
·3 menit baca
KOMPAS/YOLA SASTRA
Para pendukung Anies Baswedan mendeklarasikan Relawan Perubahan di Kota Padang, Sumatera Barat, 4 Desember 2022.
Dalam meliput Pemilu 2024 yang prosesnya sudah berlangsung tahun ini, Kompas diharapkan bisa meliput dengan komprehensif, obyektif, dan independen. Sebagai media yang berpengaruh, sudah seharusnya pula Kompas berperan menjadi bagian dari pendewasaan demokrasi di negeri ini.
Harapan semacam inilah yang mengemuka dalam Forum OmbudsmanKompas, Jumat, 24 Februari 2023, yang secara khusus membahas liputan jelang Pemilu 2024. Topik soal pemilu merupakan salah satu topik yang sebenarnya sudah berkali-kali dibicarakan dalam Forum Ombudsman Kompas. Pada setiap ajang pesta demokrasi itu, ombudsman mengawal kerja editorial, mengevaluasi, sekaligus merekomendasikan berbagai perspektif guna menguatkan kelengkapan pemberitaan, profesionalitas, dan independensi.
Kali ini, setahun jelang Pemilu 2024, editorial Kompas sudah tampak intens memunculkan beragam kreasi jurnalistik. Sejak awal minggu lalu, misalnya, Kompas menurunkan hasil Survei Kepemimpinan Nasional, mulai dari mengevaluasi dan melihat penilaian publik atas kinerja pemerintah hari ini, berlanjut pada pengkajian elektabilitas partai politik, hingga elektabilitas sejumlah kandidat presiden ke depan dan juga kandidat wakil presidennya.
Di luar liputan yang sudah demikian komprehensif, menurut saya, yang masih kurang diliput oleh Kompas dalam masa menjelang Pemilu 2024 ini juga ialah tentang calon anggota legislatif (DPR, DPRD, DPD). Kita tentu berharap ada sejumlah sosok yang memiliki kapasitas unggul untuk maju sebagai wakil rakyat ke depan.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo hadir untuk melantik Hevearita Gunaryanti Rahayu sebagai Wali Kota Semarang di Gedung Gradhika Bakti Praja, Kompleks Kantor Gubernur Jawa Tengah, Kota Semarang, 30 Januari 2023.
Memang, anggota legislatif kita masih jauh dari ideal: besarnya modal untuk maju sebagai calon wakil rakyat, ketergantungan yang tinggi akan sikap politik partai ketimbang sikap pribadi si legislator, menjadi bagian dari fenomena bahwa politik kerap berada di atas rasionalitas publik. Jika kita membuka kinerja dari DPR, khususnya dari sisi membuat UU, DPR periode 2019-2024 secara jumlah kalah banyak (total menghasilkan 55 UU sejauh ini) dibandingkan dengan DPR periode 2014-2019 (105 UU) atau dengan DPR periode 2009-2014 (130 UU) (sumber: www.setneg.go.id).
Angka di atas memang hanya menunjuk pada produktivitas pembuatan UU, tetapi jika ditelusuri lebih jauh, banyak juga UU yang dihasilkan itu adalah UU pemekaran wilayah, yang kita pun tahu bagaimana prosesnya berjalan. Setiap awal tahun, ratusan rancangan undang-undang masuk Program Legislasi Nasional, tetapi tak lebih dari 20 persen yang lantas terwujudkan. Belum lagi kalau kita melihat bahwa berbagai UU yang kemudian disahkan pun bermasalah, baik dari sisi substansi maupun proses pembuatannya sebagaimana yang terjadi dengan UU Cipta Kerja dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Otoritarianisme modern
Pada pembahasan lain, Herlambang P Wiratraman, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang menjadi narasumber Forum Ombudsman kali ini, mengingatkan bahwa pemilu menjadi suatu sumber kuasa otoritarianisme modern, di mana terjadi kartelisasi politik dan korupsi sistemik dalam organ politik lembaga negara dan partai.
Dari berbagai pemilu yang digelar, arah memperkuat sistem presidensial makin nyata, dan ini, menurut Herlambang, lebih terkait dengan sejauh mana presiden/wakil presiden terpilih dapat mengakomodasi kepentingan koalisi kartel tersebut dan kebijakan-kebijakan yang ramah dengan kuasa kartel.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Wartawan merekam Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurachman yang berbicara dalam konferensi pers seusai Rapat Pimpinan TNI AD, di Markas Besar TNI AD, Jakarta, 10 Februari 2023.
Sejumlah tinjauan dari para analis politik di dalam dan luar negeri melihat ada kemunduran pada demokrasi di Indonesia, dan pemilu yang seharusnya sebagai sarana untuk membuat negeri menjadi makin demokratis jatuh menjadi, dalam pandangan Antony Lee, Kepala Desk Politik dan Hukum Kompas, suatu demokrasi prosedural ketimbang demokrasi yang substansial. Semakin sering pemilu dilakukan seharusnya terjadi pendewasaan demokrasi untuk masyarakat dan para elite politiknya. Namun, kenyataannya tidak selalu demikian.
Dalam situasi yang tidak ideal tersebut, Kompas tetap harus melayani pembacanya untuk memberikan informasi yang akurat, dapat dipercaya, dan independen. Dalam berbagai kasus, Kompas pun dapat saja terjebak dalam kepentingan para kandidat, yakni para pengikutnya kerap protes jika narasi yang disampaikan harian ini berbeda dengan kemauan mereka. Tidak ada pilihan lain sehingga Kompas harus makin transparan atas liputan dan proses liputannya.
Dalam setahun ke depan, Kompas diharapkan memberikan informasi yang lebih komprehensif terkait para calon anggota DPR, DPRD, ataupun DPD, peta kekuatan politik di sejumlah wilayah dan juga bagaimana konsolidasi partai politik dilakukan.
Kompas tetap harus melayani pembacanya untuk memberikan informasi yang akurat, dapat dipercaya, dan independen.
Meski demikian, aspirasi masyarakat juga tetap didengar. Lepas dari hasil survei yang telah disampaikan, gambaran yang lebih kualitatif juga perlu direkam dan disampaikan kepada para pemangku kepentingan politik.
Berkaca pada fakta yang tampak, sampai hari ini kita masih melihat fenomena media partisan yang membela kepentingan sang pemilik media dan juga yang menjadi pimpinan partai politik. Publik sulit untuk bisa memercayai media semacam ini karena isinya yang bias dengan kepentingan politik si pemilik media. Untuk itu, media yang independen, yang melakukan liputan secara profesional, diharapkan menjadi penawar dari liputan yang penuh dengan bias.