Ridwan Kamil dan Tokoh Publik yang Masuk Partai Politik
Fenomena tokoh publik nonpartai politik Indonesia bergabung dengan partai politik kerap mengemuka, Ridwan Kamil salah satunya. Apa yang perlu diperhatikan parpol dan tokoh publik dalam prosesnya?
- Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menceritakan alasannya bergabung dengan partai politik dalam Kompas Editor’s Talks yang diselenggarakan Redaksi Harian Kompas.
- Parpol dinilai Ridwan Kamil menjadi platform paling cepat untuk memasifkan gagasan-gagasannya.
- Kamil juga berbagi tips soal apa yang harus diperhatikan tokoh publik sebelum memilih partai politik dan apa yang perlu dilakukan jika sudah bergabung dengan parpol.
Ridwan Kamil ingat betul dirinya tidak berpartai saat maju dalam perhelatan Pemilihan Wali Kota Bandung 2013 ataupun Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2018. Ia berpikir, politik merupakan cara memperjuangkan cita-cita. Dan cara yang diambilnya saat itu ialah berkontestasi dengan dicalonkan atau diusung partai politik tanpa bergabung dengan parpol tersebut.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Namun, menjelang Pemilihan Umum 2024, Ridwan Kamil memutuskan untuk merapat ke Partai Golkar. Gubernur Jawa Barat ini menilai, sudah saatnya gagasan-gagasan yang ia miliki diperluas. Parpol, lanjut Kamil, ialah platform paling cepat untuk memasifkan gagasan-gagasannya.
”Itulah kenapa saya memutuskan masuk partai. Saya ingin memperluas kebaikan-kebaikan, memasifkan gagasan-gagasan, yang tadinya hanya di Jawa Barat, bisa meluas ke seluruh Indonesia melalui pintu parpol,” kata Kamil dalam webinar eksklusif bagi pelanggan Kompas.id, ”Kenapa Tokoh Publik Mau Masuk Partai Politik?”, di Jakarta, Rabu (8/2/2023) sore.
Pada 18 Januari 2023, Kamil resmi menjadi kader Golkar. Keputusan itu diambilnya setelah melakukan riset tentang parpol. Ia menemukan. cakupan parpol sangat luas karena memiliki anak cabang ranting sampai ke desa. Parpol juga setidaknya memiliki tiga fungsi, yaitu pelayanan publik, pendidikan politik, dan perebutan kekuasaan. Dua fungsi pertama itu yang ingin ia jalankan bersama parpol tanpa menunggu momentum menjelang pemilu yang lima tahun sekali.
Saya ingin memperluas kebaikan-kebaikan, memasifkan gagasan-gagasan, yang tadinya hanya di Jawa Barat, bisa meluas ke seluruh Indonesia melalui pintu parpol.
Niat Kamil untuk bergabung ke parpol sebenarnya sudah terlihat sejak jauh-jauh hari. Sepanjang 2022, ia sering bertemu sejumlah tokoh dan hadir dalam acara sejumlah parpol, seperti Partai Nasdem dan Partai Amanat Nasional (PAN). Ia tak memungkiri ada ketertarikan dari parpol lain, tetapi komunikasi yang berjalan tidak dua arah. Pilihan jatuh pada Golkar setelah ada komunikasi yang intens dan sambutan yang baik dari partai berlambang pohon beringin itu.
Baca juga : Ridwan Kamil Jadi Pengerek Suara Golkar
Mantan Wali Kota Bandung ini juga melihat ada kesamaan semangat kerja dengan Golkar. Terlebih, lanjut Kamil, profesional-profesional biasanya menjatuhkan pilihan pada Golkar untuk berpartai. ”Orang seperti saya, yang kerjanya membangun jembatan, jalan, masjid, dan lainnya, menemukan kesesuaian semangat dengan Golkar. Apa yang saya kerjakan lebih nyambung dengan Golkar. Hasil karya pembangunan menjadi sebuah warna dalam platform partai,” ujarnya.
Kamil juga mengaku memahami betul konsekuensi dari keputusannya bergabung dengan parpol, yaitu mengikuti konsensus yang sudah ditentukan, termasuk soal pilihan calon presiden dan wakil presiden ataupun penugasan untuknya. Begitu bergabung, Kamil langsung didapuk sebagai Wakil Ketua Umum Bidang Penggalangan Pemilih DPP Partai Golkar.
Mengemban tugas tersebut, Kamil akan menggalang suara pemilih, khususnya generasi muda. Ia, antara lain, akan memanfaatkan kepiawaiannya menggunakan media sosial untuk mempromosikan Golkar. Apalagi, Kamil memiliki modal baik berupa popularitas maupun elektabilitas. Ia bahkan muncul sebagai sosok yang tak hanya populer sebagai kepala daerah, tetapi juga masuk dalam jajaran capres dan cawapres pilihan publik versi sejumlah hasil lembaga survei.
Kendati demikian, Kamil mengatakan, popularitas dan elektabilitas merupakan harta yang diserahkannya pada parpol untuk digunakan sesuai kebutuhan. Adapun ia akan fokus pada tugasnya. Toh, kata Kamil, magnetnya diklaim sudah membuahkan hasil. Hal itu dibuktikan dengan sudah banyak tokoh publik yang mau bergabung dengan Golkar. ”Mulai dari profesor, advokat, hingga artis akan bersama-sama dengan saya mengumumkan kepada publik bahwa mereka bergabung dengan Golkar,” ujarnya.
Baca juga : Tugas Pertama Ridwan Kamil: Safari Politik untuk Dongkrak Elektabilitas
Bagi tokoh publik yang ingin bergabung ke parpol tetapi khawatir, Kamil memberikan sejumlah tips. Pertama, mengubah perspektif bahwa parpol tidak melulu soal perebutan kekuasaan yang kerap menghasilkan persepsi negatif. Sebab, Kamil percaya parpol juga memiliki dua fungsi lain yang sama pentingnya, yaitu pelayanan publik dan pendidikan politik.
Bagi tokoh publik yang sudah bergabung parpol, ia mengingatkan agar memperhatikan rekam jejak di dunia digital. Menurut dia, percuma terkenal jika orang lain kesulitan menemukan jejak digitalnya. Maka, penting membangun reputasi dan popularitas digital, terutama melalui media sosial.
Selanjutnya, tokoh publik itu juga harus memilih pandangan bahwa bergabung dengan institusi demokrasi merupakan jalan untuk memengaruhi kebijakan publik yang akan berdampak pada hidup seseorang. Ia juga mengingatkan, harus ditanamkan kepada tokoh tersebut bahwa bergabung dengan parpol tidak melulu harus menjadi caleg dan berlomba dalam meraih kekuasaan. Ada peran lain yang tidak populer dan cenderung tenggelam karena ramainya perebutan kekuasaan. Dua peran lainnya harus dipopulerkan.
Adapun bagi tokoh publik yang sudah bergabung dengan parpol, ia mengingatkan agar memperhatikan rekam jejak di dunia digital. Menurut dia, percuma terkenal jika orang lain kesulitan menemukan jejak digitalnya. Maka, penting membangun reputasi dan popularitas digital, terutama melalui media sosial. Ia menilai hal itu lebih efektif ketimbang memakai cara lama, seperti memasang baliho.
”Interaksi di baliho, kan, tidak terukur. Hanya satu arah. Disukai atau tidaknya tidak ketahuan. Beda dengan di media sosial. Ada perubahan cara masyarakat mengapresiasi dan mencari kita. Ilmu itu harus dimiliki orang ketika masuk politik praktis,” ujar Kamil.
Ia juga mengingatkan tokoh publik agar tidak terlalu percaya diri dengan popularitasnya. Sebab, kepopuleran seseorang tidak menjamin dirinya akan disukai. Maka, perlu diperhatikan komunikasi publik ataupun gestursaat berhadapan dengan publik agar popularitas itu sejalan dengan elektabilitas.
Baca juga : Momentum Ridwan Kamil
Menggaet tokoh publik
Kamil bukan satu-satunya tokoh publik nonpartai politik Indonesia yang memutuskan bergabung dengan parpol. Raden Wulansari atau Mulan Jameela, misalnya, bergabung dengan Partai Gerindra setelah lebih dulu dikenal sebagai penyanyi. Ada pula mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal (Purn) Ganip Warsito dan legenda tenis Yayuk Basuki yang bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Selain itu, mantan Deputi Badan Intelijen Negara Mayor Jenderal (Purn) Neno Hamriono dan mantan Ketua KPU DKI Jakarta Dahlia Umar merapat ke Partai Persatuan Pembangunan.
Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, partainya terbuka bagi siapa pun yang ingin bergabung, termasuk tokoh publik. Namun, ia juga menegaskan, Gerindra merupakan partai yang mengedepankan kader-kadernya. Dengan demikian, dalam pencalonan anggota legislatif maupun kepala daerah, Gerindra membaginya secara proporsional.
”Porsi untuk kader lebih banyak. Adapun untuk menambah kekuatan partai, terutama dari segi sumber daya manusia, kami menampung tokoh masyarakat yang bersimpati pada perjuangan Gerindra dan memiliki visi dan misi yang sama,“ tutur Dasco saat ditemui di Kompleks DPR, Jakarta, Rabu (8/2/2023).
Selain demi memperkaya partai dan mengakomodasi visi-misi tokoh tersebut, Dasco mengatakan bahwa terdapat alasan lain Gerindra berupaya menggaet tokoh publik. Menurut Dasco, Gerindra percaya bahwa tokoh publik nasional dan daerah berpotensi mengisi pembangunan.
Baca juga : Caleg Pesohor, dari Panggung Turun ke Kampung
Ditanya terkait akan menjadi apa tokoh publik tersebut ketika sudah bergabung dengan Gerindra, Dasco mengatakan, hal itu tergantung pada sosok tokoh tersebut. Yang jelas, kata Dasco, terdapat mekanisme panjang yang perlu ditempuh oleh tokoh publik tersebut ketika bergabung dengan Gerindra. Namun, ia enggan merinci mekanisme yang dimaksud.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno mengatakan, partainya memang kerap melakukan pembicaraan dengan tokoh publik. Pembicaraan itu bahkan dilakukan jauh sebelum pemilu. Sebab, menurut Eddy, tujuannya tidak hanya untuk menggenjot elektabilitas partai menjelang pemilu, tetapi juga untuk menciptakan caleg yang tangguh dan bisa masuk parlemen.
Maka, Eddy mengatakan, PAN menyiapkan ketentuan internal soal pengaderan. Tokoh publik tidak mendapatkan perlakuan istimewa sehingga tetap perlu mengikuti tahapan pengaderan. Setidaknya ada tiga jenjang yang perlu dilalui oleh setiap kader.
”Mereka tidak serta-merta menjadi primadona atau diberikan fasilitas untuk menjadi caleg unggulan. Tidak akan ada perbedaan dengan caleg yang sebelumnya sudah merupakan kader dan memahami kondisi di dapil. Sebab, ujungnya adalah bagaimana sosialiasi dan memenangi kursi di dapil,” ujarnya.
Penguatan parpol
Fenomena perekrutan tokoh publik ini muncul, antara lain, karena terputusnya agenda penguatan kelembagaan parpol. Menurut peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu, penguataan parpol yang belum selesai ini bertemu dengan orientasi politik publik. Yohan mengatakan, berdasarkan hasil sejumlah survei, masyarakat lebih tertarik pada figur ketimbang parpol.
Akibat kondisi itu, lanjutnya, parpol mau tidak mau menyesuaikan dengan keinginan publik dengan merekrut tokoh-tokoh yang memiliki popularitas tinggi. Padahal, di sisi lain, parpol harus terus menguatkan kelembagaannya. Sebab, popularitas tokoh tidak serta-merta meningkatkan elektabilitas partai. Keduanya tidak berbanding lurus. Untuk itu, katanya, parpol perlu menguatkan infrastrukturnya agar tidak hanya bertumpu pada kekuatan sosok.
Menurut Yohan, agenda penguatan kelembagaan partai dan fenomena elektoral ketokohan itu harus berjalan beriringan. Terlebih, citra parpol tidak sebaik lembaga lain. Padahal, parpol merupakan pilar demokrasi dan sumber semua kebijakan publik.
”Karena agendanya penguatan parpol, maka rekrutmen tokoh publik juga harus tetap memperhatikan kapasitas. Parpol harus memperkuat kaderisasi. Harus ada ukuran-ukuran atau tahapan yang perlu dilalui tokoh publik ketika bergabung dengan parpol. Dengan demikian, perekrutan tak sekadar demi mengejar popularitas,” kata Yohan.
Baca juga : Menguatnya Pragmatisme Politik dan Rendahnya ”Party ID”
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Wasisto Raharjo Jati, juga menilai, perekrutan tokoh publik ada kaitannya dengan kaderisasi partai. Menurut Wasis, pola kaderisasi internal partai tidak selalu menghasilkan kader berkualitas di setiap periode. Selain itu, pendidikan kaderisasi itu berbiaya politik besar. Biaya itu bisa jadi sama dengan biaya kampanye politik dan operasional parpol lainnya.
Faktor-faktor itu yang kemudian mendorong parpol untuk memilih merekrut tokoh publik. Terlebih, tokoh publik dianggap lebih matang secara kepribadian, mapan secara sumber daya, dan luas secara jaringan. Ditambah, kehadiran tokoh publik dapat mengerek elektabilitas parpol. ”Apalagi kini adalah eranya personalisasi politik. Kekuatan figur itu menjadi utama daripada ideologi,” ucap Wasis.
Ia mengingatkan, perlu ada kesesuaian pemikiran politik antara tokoh publik dan partainya. Hal mendasar adalah jangan sampai tokoh itu merasa besar dari partai. Adapun partai jangan sampai hanya sekadar menggunakan tokoh itu sebagai pengumpul suara, alih-alih menjadi pilar perubahan parpol.