Menguatnya Pragmatisme Politik dan Rendahnya ”Party ID”
Pragmatisme politik yang ditandai rendahnya identifikasi partai dan menguatnya kefiguran akan berdampak buruk terhadap wajah Pemilu 2024. Orientasi parpol cenderung jangka pendek, tanpa mempertimbangkan aspek ideologis.
Perhelatan pemilu serentak 2024 semakin menghangat setelah Komisi Pemilihan Umum mendeklarasikan dimulainya tahapan pemilu pada 14 Juni 2022. Penjajakan mulai dilakukan oleh sejumlah partai politik. Upaya ini sebagai prakondisi menuju pemilu serentak 2024.
Berbagai temuan hasil survei semakin merujuk pada pasangan calon presiden/wakil presiden (capres/cawapres) yang digadang-gadang akan bertarung sengit dalam konstelasi Pemilu 2024. Hal unik yang ditemukan lainnya adalah menguatnya kefiguran sebagai rujukan utama alasan publik dalam menentukan pilihan calon presiden/wakil presiden.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Survei yang dilakukan oleh Poltracking Indonesia pada Mei 2022, misalnya, dominan alasan publik memilih capres/cawapres adalah karena figurnya secara personal (51,4 persen) dan alasan figur tokoh partai/pimpinan partai hanya (14,5 persen). Artinya, dominan karakteristik pemilih adalah pemilih yang menentukan pilihannya berdasarkan figur, bukan pemilih yang berbasis partai/pemilih loyal.
Baca juga : Membangun Elektabilitas dan Preferensi Memilih Figur
Munculnya deretan nama seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Ridwan Kamil yang digadang-gadang dalam bursa capres 2024 merupakan manifestasi dari ketergantungan parpol terhadap eksistensi figur. Kefiguran ini masif dampaknya pada dua kali pelaksanaan pemilu, yakni Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.
Fenomena keterpilihan Presiden Joko Widodo merupakan hasil kesuksesan dari strategi kefiguran yang digunakan untuk mengalahkan dominasi parpol. Jokowi yang bukan berasal dari kalangan elite parpol seakan melenggang bebas karena memiliki dorongan yang kuat oleh publik.
Konflik politik antara Ganjar Pranowo dan PDI-P juga memperlihatkan gesekan antara kefiguran dan parpol.
Konflik politik antara Ganjar Pranowo dan PDI-P juga memperlihatkan gesekan antara kefiguran dan parpol. Sebaliknya, deklarasi capres/cawapres yang dilakukan Nasdem baru-baru ini merupakan bukti bahwa kefiguran mampu mengalahkan dominasi parpol dalam melakukan kandidasi bakal capres/cawapres yang akan diusung. Sebab, figur yang diusung oleh Nasdem merupakan figur yang bukan kader Nasdem secara struktural, tetapi memiliki pengaruh kuat di kalangan pemilih.
Apa faktor yang membuat rendahnya keterpilihan pimpinan partai dan menguatnya kefiguran personal dalam dua kali pelaksanaan pemilu belakangan? Padahal, seyogianya para parpol memiliki otoritas penuh dalam melakukan kandidasi, bukan justru sebaliknya ketergantungan terhadap eksistensi figur.
Identifikasi partai
Identifikasi partai (party identity/party ID) telah menjadi faktor utama perilaku memilih dalam dinamika politik Indonesia. Pemilih cenderung mengindentikkan diri dengan partai, kemudian menentukan pilihan suaranya kepada kandidat yang diusung oleh partainya. Karakteristik pemilih seperti ini biasanya dilatarbelakangi oleh fakta historis yang panjang sehingga pemilih tersebut memiliki faktor kedekatan ideologis dengan salah satu partai.
Namun, dalam dua kali pelaksanaan pilpres (2014 dan 2019), kita menghadapi fakta politik rendahnya party ID dan menguatnya aspek kefiguran dalam konstelasi politik. Parpol seolah tak berdaya menghadapi fakta tersebut dan pada akhirnya mengabaikan aspek ideologis dalam kandidasi.
Dalam dua kali pelaksanaan pilpres (2014 dan 2019), kita menghadapi fakta politik rendahnya party ID dan menguatnya aspek kefiguran dalam konstelasi politik.
Hasil survei nasional yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia (2021) membuktikan bahwa party ID masyarakat Indonesia rendah. Hal ini ditunjukkan dengan data bahwa hanya 6,8 persen dari 1.200 responden yang tersebar di semua provinsi yang menyatakan bahwa responden merasa dekat dengan partai politik. Selebihnya, 92,3 persen, menjawab tidak merasa dekat.
Fakta politik tersebut juga dijustifikasi dengan temuan Poltracking Indonesia (2022) yang menyatakan bahwa mayoritas publik adalah pemilih yang rasional (30,7 persen), diikuti pemilih sosiologis (25,2 persen), dan pemilih psikologis (20,7 persen). Pergeseran perilaku pemilih dari sosiologis ke menguatnya pemilih rasional merupakan manifestasi rendahnya party ID. Pemilih tidak lagi mengandalkan kedekatan dengan parpol sebagai basis utama dalam menentukan pilihan, tetapi lebih mengutamakan aspek rasionalitas, seperti ketokohan/figur, rekam jejak, dan faktor ekonomis sebagai alasan dalam menentukan pilihannya.
Apa faktor yang membuat rendahnya party ID di Indonesia? Menurut saya, faktor paling utama adalah krisis kepercayaan publik terhadap parpol. Fenomena keterpilihan Jokowi dalam dua kali pelaksanaan pilpres merupakan akumulasi ketidakpercayaan publik terhadap kaderisasi kepemimpinan parpol sehingga mendorong calon alternatif sebagai antitesis kalangan elite parpol. Dukungan publik yang kuat tersebut kemudian menjadi modalitas utama Jokowi untuk maju dan memenangi pertarungan.
Baca juga : Survei Litbang “Kompas”: Menakar Capres Idola Pemilih Muda
Kepercayaan publik terhadap parpol berada di posisi terbawah atau hanya 54 persen dibandingkan institusi demokrasi yang lain, seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Polri, pengadilan, KPK, dan kejaksaan. Hal tersebut merupakan sebuah fakta politik bahwa publik jengah dengan perilaku parpol yang pragmatis.
Kejengahan publik tersebut lebih disebabkan parpol dianggap tidak mewakili aspirasi publik, parpol tidak menjalankan fungsinya dengan baik sebagai institusi demokrasi, hingga pragmatisme politik yang selalu dipertontonkan parpol. Kejengahan tersebut membuat publik makin rasional dan selektif terhadap pilihan, bahkan pada titik ekstrem publik lebih memilih apatis dan lebih mengedepankan aspek untung dan rugi untuk berpartisipasi dalam pemilu. Pada titik inilah politik uang rentan terjadi.
Pragmatisme politik
Kefiguran yang menguat dan rendahnya party ID adalah penanda terjadinya pragmatisme politik. Hal ini tentu berdampak buruk terhadap wajah perhelatan Pemilu 2024.
Posisi parpol dalam melakukan kandidasi capres/cawapres cenderung mengikuti kepentingan kekuatan politik dominan yang lebih menguntungkan dalam jangka pendek, tanpa mempertimbangkan aspek ideologis. Kecenderungan pemilih yang semakin rasional dan pragmatis serta situasi politik yang cenderung transaksional menjadikan parpol memanfaatkan segala sumber daya yang mereka miliki untuk memenangi pemilu.
Kefiguran yang menguat dan rendahnya party ID adalah penanda terjadinya pragmatisme politik.
Tipologi partai di Indonesia yang dominan partai kader kemudian bergeser secara radikal ke tipologi match-all party yang dapat diidentifikasi dengan beberapa indikator: ketiadaan basis massa atau modal sosial yang kuat, ketergantungan terhadap eksistensi figur, serta pemanfaatan berbagai potensi untuk memperoleh keuntungan baik pada dimensi citra maupun material.
Figur menjadi instrumen utama dalam pasar politik, di samping jargon platform dan program yang kerap tak menarik perhatian pemilih. Gerak politik match-all party mengabaikan pembatasan ideologi, platform, dan strategi untuk mengimplementasikan program-programnya. Fenomena ini tentu berdampak negatif terhadap keberlangsungan budaya politik kita.
Institusionalisasi parpol penting untuk segera dilakukan. Parpol harus mampu mencegah dirinya berjalan ke arah deinstitusionalisasi alias kehilangan jati diri kelembagaannya. Sistem pengaderan harus diperkuat agar parpol tidak justru menggantungkan diri dari luar, dari mereka yang bukan kader tetapi bermodal besar.
Baca juga : Melahirkan Politisi Berkarakter
Mekanisme pertahanan pengaderan partai memang besar godaannya untuk dirusak oleh intervensi kekuatan dari luar partai. Apalagi, ketika sistem pemilu yang diterapkan adalah sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak. Sistem ini cenderung memperlemah kelembagaan partai.
Parpol idealnya merupakan entitas terbuka sekaligus menjadi institusi pengaderan politik. Publik juga hendaknya tidak menempuh jalan pintas. Jadilah kader partai sebelum maju menjadi calon anggota legislatif, calon kepala daerah, bahkan calon presiden.
Yayan Hidayat, Direktur Eksekutif The Strategic Research and Consulting (TSRC)