DPR Baru Memulai Proses Persetujuan Perppu Cipta Kerja dan Pemilu
Jika mengacu konstitusi dan undang-undang, tersisa waktu sepekan atau hingga berakhirnya masa sidang DPR saat ini bagi DPR menuntaskan proses persetujuan perppu. Jika lewat, DPR bisa dinilai melanggar konstitusi.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat baru memulai memproses persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pemilu. Padahal, tenggat pembahasan tersisa satu pekan atau hingga berakhirnya masa persidangan DPR saat ini pada 16 Februari mendatang. Jika lewat tenggat, DPR bisa dianggap melanggar konstitusi dan undang-undang.
Mulai diprosesnya Peraturan Pemerintah Pengganti (Perppu) Undang-Undang Cipta Kerja dan Perppu Pemilu oleh DPR ditandai dengan dibacakannya surat presiden (supres) terkait kedua perppu itu dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (7/2/2023). Pimpinan rapat, yakni Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, yang membacakan surat tersebut. Rapat paripurna dihadiri 350 dari 575 anggota DPR.
Surat presiden terkait Perppu Cipta Kerja bernomor R01, tertanggal 9 Januari 2023, sedangkan surat presiden terkait Perppu Pemilu bernomor R02, tertanggal 13 Januari 2023.
Ditemui seusai rapat paripurna, Dasco mengatakan, setelah kedua surat presiden terkait perppu itu dibacakan, Badan Musyawarah (Bamus) DPR akan menggelar rapat untuk menentukan alat kelengkapan di DPR yang akan membahas kedua perppu itu dengan perwakilan dari pemerintah. Selanjutnya, setelah perppu tuntas dibahas, hasilnya akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk diputuskan. Dalam konteks perppu, DPR hanya bisa menyetujui atau tak memberikan persetujuan atas terbitnya perppu. Apabila disetujui, perppu tinggal menunggu disahkan menjadi undang-undang. Namun, jika tidak, perppu harus dicabut.
Mengacu pada Pasal 22 UUD 1945, perppu harus disahkan menjadi undang-undang pada persidangan berikutnya. Adapun makna persidangan berikutnya dijabarkan dalam Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yakni masa persidangan pertama DPR setelah perppu ditetapkan.
Seperti diketahui, Perppu Cipta Kerja diterbitkan pada 30 Desember 2022 atau saat DPR tengah berada di masa reses, sedangkan Perppu Pemilu ditetapkan pada 12 Desember 2022 atau saat masa persidangan II tahun sidang 2022-2023. Jadi, jika mengacu pada aturan di konstitusi dan undang-undang, masa persidangan berikutnya seharusnya jatuh pada masa persidangan yang bergulir saat ini atau masa persidangan III tahun sidang 2022-2023. Masa persidangan ini berlangsung sejak 10 Januari hingga 16 Februari 2023.
Ditanyakan terkait adanya tenggat ini, Dasco justru menyampaikan bahwa proses persetujuan kedua perppu masih bisa dilanjutkan pembahasannya pada masa persidangan DPR berikutnya. ”Kalau tidak kekejar, ya, dibahas pada masa sidang berikutnya,” ucapnya.
Ia yakin pembahasan kedua perppu tidak terbatas pada masa persidangan III DPR, bahkan, menurut dia, ada mekanisme yang memberikan keleluasaan itu dalam pembahasan perppu. Namun, ia tidak merinci mekanisme seperti apa yang dimaksud.
Pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Allan Fatchan Gani, mengingatkan agar DPR patuh pada apa yang telah diatur di konstitusi dan undang-undang. Mengacu pada konstitusi dan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, persetujuan perppu memang harus diberikan DPR di masa persidangan berikutnya setelah perppu diterbitkan. Maka, DPR seharusnya menyelesaikan proses persetujuan tersebut di masa persidangan saat ini.
Jika proses itu tak tuntas hingga berakhirnya masa persidangan, DPR bisa dinilai melanggar konstitusi dan undang-undang.
Ia juga menepis pernyataan Dasco yang menyebut adanya mekanisme yang memungkinkan pembahasan perppu diperpanjang melewati masa persidangan. Kalaupun DPR memiliki aturan internal, yakni tata tertib DPR, yang membuka ruang itu, aturan itu tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yakni konstitusi dan undang-undang.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai tidak etis jika DPR membiarkan Perppu Cipta Kerja dan Perppu Pemilu tidak dibahas. Menurut Lucius, DPR seolah lepas dari tanggung jawab jika tak kunjung membahasnya. Padahal, kata Lucius, perppu akan lebih kuat jika dibahas dan disetujui oleh DPR. Pasalnya, perppu hanya pertimbangan subyektif presiden. Dan DPR berperan menguji pertimbangan tersebut, termasuk pemenuhan kegentingan memaksa.
”DPR perlu segera membahasnya dalam rangka menguji pertimbangan subyektif presiden tersebut. Jika tidak, di mana peran pengujian oleh DPR?” ucap Lucius.
Khusus Perppu Cipta Kerja, Ketua DPR Puan Maharani pernah menyinggungnya dalam pidato pembukaan masa persidangan III DPR, 10 Januari lalu. Saat itu, Puan melalui pidato yang dibacakan oleh Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel menyampaikan, terdapat sejumlah agenda penting dan strategis yang menanti untuk diselesaikan DPR pada masa persidangan kali ini. Salah satunya pembahasan Perppu Cipta Kerja.
”DPR, sesuai dengan fungsi konstitusionalnya, akan menilai pemenuhan parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada presiden untuk menetapkan perppu,” kata Rachmat Gobel.