Bayang-bayang Ketidakpastian Aturan Cipta Kerja
Proses uji formil Perppu Cipta Kerja di MK seolah berkejaran dengan proses di DPR. Kalaupun proses di MK nantinya kalah cepat, terbuka peluang aturan itu digugat ulang di MK. Potensi ketidakpastian menganga.
Pasca-penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022, sudah ada tiga pihak yang menguji formil aturan tersebut di Mahkamah Konstitusi. Dua perkara sudah diadili dan akan memasuki sidang kedua pada 3 Februari mendatang (perkara nomor 5/PUU-XXI/2023 dan 6/PUU-XXI/2023). Satu permohonan lainnya, hingga Sabtu (28/1/2023), masih belum diregistrasi oleh Kepaniteraan MK.
Para pemohon meminta MK menggugurkan aturan itu. Alasannya, penerbitan perppu dinilai tidak sesuai dengan perintah putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Putusan yang diucapkan pada November 2021 itu menyatakan ada cacat formil dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja sehingga undang-undang itu dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Pemerintah dan DPR pun diperintahkan memperbaiki undang-undang tersebut dalam waktu dua tahun dengan memperhatikan partisipasi publik yang bermakna dalam perbaikannya. Publik, seperti disebut dalam putusan, memiliki hak untuk didengarkan, dipertimbangkan pendapatnya, dan mendapat penjelasan.
Namun, realitasnya, perbaikan UU Cipta Kerja yang diminta MK hanya dilakukan pemerintah dengan cara menerbitkan perppu. Tak ada keterlibatan DPR di dalamnya. Proses pembuatan perppu juga tertutup, yang berarti tidak memaksimalkan partisipasi publik yang bermakna.
Belum lagi terkait prasyarat terbitnya perppu, yakni harus ada kegentingan memaksa seperti ditegaskan dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945, yang dinilai tak terpenuhi dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja. MK melalui putusannya No 138/2009 sudah menyatakan tiga prasyarat kegentingan memaksa itu, yakni kebutuhan mendesak menyelesaikan hukum secara cepat; kekosongan hukum atau terdapat undang-undang, tetapi tak memadai; dan kekosongan hukum itu tak dapat diatasi hanya dengan cara membuat undang-undang melalui prosedur biasa karena membutuhkan waktu lama.
Penjelasan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej soal alasan terbitnya Perppu Cipta Kerja berikut adanya kegentingan memaksa sebagai dasar lahirnya perppu tampak tak diterima para pihak tersebut. Sebelumnya, Eddy mengungkapkan, perppu diterbitkan karena ada kegentingan ekonomi dalam konteks ekonomi global yang imbasnya resesi kini dirasakan seluruh dunia. Selain itu, menurut dia, yang terpenting dari putusan MK adalah pada proses dan substansi yang diperbaiki.
”Soal undang-undang atau perppu sebenarnya hanya soal ’baju’ hukumnya, dipastikan substansi undang-undang diperbaiki dengan perppu,” kata Eddy pada 5 Januari lalu.
Tak sebatas meminta MK membatalkan Perppu Cipta Kerja, para pihak mendesak MK agar menggelar sidang cepat. Ini karena keberlakuan perppu memiliki waktu yang terbatas. Seperti diketahui, sejumlah peraturan perundang-undangan mengamanatkan perppu yang diterbitkan pemerintah harus segera dibawa ke DPR dan melalui proses persetujuan di DPR pada masa sidang DPR berikutnya setelah perppu keluar. Dengan perppu terbit saat DPR berada di tengah reses, maka masa sidang berikutnya adalah masa persidangan yang bergulir sejak 10 Januari lalu hingga berakhir pada 17 Februari mendatang.
Apalagi, jika merunut ke belakang, permohonan pengujian perppu tak pernah ada yang berhasil. Sejauh ini MK telah menerima permohonan pengujian perppu sebanyak 29 perkara, tetapi dari catatan Kompas, belum ada satu pun yang dikabulkan oleh MK. Kebanyakan perkara tersebut kandas karena kehilangan obyek pengujian setelah status perppu berubah menjadi undang-undang.
Selain itu, para pihak mengandalkan harapan pada sidang cepat karena peta politik di DPR saat ini yang dikuasai koalisi partai politik pendukung pemerintahan. Dengan peta politik itu, yakni tujuh dari sembilan fraksi mendukung pemerintah, mereka tak yakin DPR akan menolak menyetujui perppu.
Permintaan sidang cepat itu didukung dengan komitmen pemohon menyerahkan berkas perbaikan permohonan hanya lima hari setelah sidang perdana meski MK memberi waktu 14 hari.
Namun, yang terlihat kemudian, MK tetap menyelenggarakan persidangan dengan hukum acara normal. Dilihat dari sistem pelacakan perkara di MK, permohonan sejumlah dosen/pekerja migran yang diwakili Viktor Santoso Tandiasa didaftarkan ke MK pada 5 Januari 2023, tetapi baru diregistrasi oleh MK pada 11 Januari menjadi perkara No 5/PUU-XXI/2023. Sidang pertama digelar bersamaan dengan perkara No 6/2023 pada 19 Januari. Sidang kedua digelar pada 2 Februari mendatang.
”Artinya mulai terlihat political will MK dalam penanganan perppu ini akan putus setelah perppu menjadi undang-undang sehingga para pemohon menjadi kehilangan obyek. Upaya menjadi sia-sia,” ujar Viktor.
Baca juga: Bertambah, Pihak yang Minta Perppu Cipta Kerja Dibatalkan
Namun, ia tak patah arang. Ia berencana kembali mendesak agar MK menjatuhkan putusan sela atau pada sidang ketiga nantinya. Putusan sela yang dimaksud adalah menunda keberlakuan Perppu Cipta Kerja sehingga DPR tidak bisa membahasnya sampai ada putusan MK.
”Jika dalam sidang ketiga MK juga tidak memberikan putusan sela, maka semakin jelas political will MK semakin mengarah ke the guardian of power (menjaga kepentingan penguasa),” kata Viktor.
Belum juga dibahas
Namun, kecemasan para pihak pada jalannya sidang di MK itu sedikit terobati karena DPR tidak bergerak cepat dalam memproses persetujuan Perppu Cipta Kerja. Hingga kini, perppu yang telah diserahkan pemerintah ke DPR tak kunjung dibahas oleh DPR.
”Kami masih menunggu jadwal rapat pimpinan yang akan segera digelar untuk menjalankan mekanisme dalam menyikapi perppu yang sudah keluar itu,” ujar Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, di Jakarta, Kamis (26/1/2023).
Baca juga: DPR Akan Menilai Pemenuhan Kegentingan Memaksa Perppu Cipta Kerja
Setelah dibahas dalam rapat pimpinan, mekanisme pembahasannya pun masih panjang. Perppu harus dibahas dalam rapat Badan Musyawarah DPR untuk menentukan alat kelengkapan DPR yang membahas perppu dengan perwakilan pemerintah. Selanjutnya, setelah perppu tuntas dibahas oleh alat kelengkapan DPR, perppu harus dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk diputuskan. Dalam konteks perppu, DPR hanya bisa memilih di antara menyetujui perppu atau sebaliknya, menolaknya.
Hanya saja, bukan berarti panjangnya proses yang harus dilalui ini lantas bisa melanggengkan proses gugatan di MK. Pasalnya, tidak tertutup kemungkinan proses persetujuan perppu di DPR bakal mulus, dan dalam tempo yang singkat atau sebelum MK memutuskan uji formil Perppu Cipta Kerja.
Indikasi bakal mulusnya persetujuan ini setidaknya terlihat dari pendekatan yang langsung dilakukan pemerintah setelah perppu diterbitkan. Salah satu unsur pimpinan Baleg DPR yang juga pemimpin fraksi mengungkapkan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto langsung mengontak sejumlah pemimpin Baleg DPR dan pemimpin fraksi menjelaskan alasan terbitnya perppu, sekaligus mengharapkan nantinya perppu bisa disetujui oleh DPR. Airlangga mendekati Baleg DPR karena alat kelengkapan DPR ini diharapkan membahas perppu itu nantinya, tak lain karena Baleg DPR yang dulu membahas RUU Cipta Kerja bersama dengan pemerintah
Ketika hal tersebut dikonfirmasi kepada Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Achmad Baidowi, ia menilai wajar pendekatan dari Airlangga. ”Komunikasi begitu, ya, biasa-biasa saja. Hal yang lumrah dilakukan,” ujarnya, Selasa (24/1/2023).
Airlangga yang ditemui terpisah tak menampik adanya pendekatan itu. Pada Kamis dan Jumat lalu, Ketua Umum Partai Golkar itu menyampaikan telah mengomunikasikan semua hal terkait Perppu Cipta Kerja ke fraksi-fraksi di DPR, termasuk di dalamnya pimpinan Baleg DPR.
Selain itu, melalui anggota Partai Golkar di DPR, penjelasan akan pentingnya penerbitan perppu bakal digalang ke fraksi-fraksi lain.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, mengatakan, komunikasi akan dilakukan setelah persetujuan Perppu Cipta Kerja mulai diproses oleh DPR. Ia yakin tidak akan sulit untuk menyamakan sikap semua fraksi karena perppu itu hadir untuk kepentingan rakyat, khususnya menghadapi ancaman memburuknya ekonomi global tahun ini.
Kalaupun ada fraksi yang kontra, ia menilai wajar. Namun, fraksi yang kontra diyakininya tak akan menghambat pemberian persetujuan pengesahan perppu dari DPR. Alasannya, dominannya koalisi parpol pendukung pemerintahan. ”Perppu, kan, hak prerogatif presiden, dan artinya sudah disampaikan ke parpol pendukung pemerintah, sudah pula dibahas di rapat kabinet,” tambahnya.
Hingga pekan lalu, dari sembilan fraksi di DPR, baru tiga fraksi yang sudah bersikap terhadap Perppu Cipta Kerja. Fraksi Golkar menyetujui pengesahan perppu, sedangkan Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menolaknya. Alasan penolakan karena terbitnya perppu tak memenuhi syarat kegentingan memaksa dan bertolak belakang dengan putusan MK soal UU Cipta Kerja. Adapun enam fraksi lainnya yang semuanya bagian dari koalisi pendukung pemerintah mengaku masih mengkaji substansi dan alasan perppu diterbitkan.
Baca juga: Fraksi-fraksi di DPR Akan Dalami Urgensi Perppu Cipta Kerja
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas kian menguatkan keyakinan bahwa proses persetujuan Perppu Cipta Kerja akan berlangsung cepat. Ini karena, menurut dia, dalam konteks perppu, DPR hanya bisa menyetujui atau menolak menyetujui perppu. ”Bukan lagi soal substansi, jadi lebih mudah. Apalagi perubahan dalam substansi (antara UU Cipta Kerja dan Perppu Cipta Kerja) tidak signifikan,” ucapnya.
Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) di DPR, sebagai salah satu fraksi yang masih mengkaji Perppu Cipta Kerja menyampaikan, DPR dalam posisi yang tidak mudah saat menyikapi perppu itu. Hal ini disebabkan, menurut Ketua Fraksi PAN di DPR Saleh Partaonan Daulay, kewenangan DPR hanya bisa menyetujui atau menolak pengesahan perppu. Dengan demikian, kalau ada kelemahan dalam substansi, DPR tak bisa meminta perubahan. Di sisi lain, jika perppu ditolak dan UU Cipta Kerja kembali berlaku, bisa saja yang muncul kemudian adalah ketidakpastian hukum. ”Selain itu, kalau memang kembali ke UU Cipta Kerja, sejauh mana kepentingan berbagai pihak diakomodasi,” tambahnya.
Opsi perbaikan
Dalam kondisi itu, yang memungkinkan ditempuh jika memang ada kelemahan dari Perppu Cipta Kerja adalah DPR menerima terlebih dulu pengesahan perppu kemudian setelah diundangkan, diajukan revisi terhadap sejumlah pasal. Opsi lainnya melalui kanal MK. Pihak yang merasa dirugikan bisa menggugat ke MK. Apa pun putusan MK nantinya mengikat dan harus dipatuhi.
Potensi gugatan ke MK setelah perppu diundangkan, menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari, sangat besar. Dengan kata lain, ia melihat jalan pintas pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja hanya akan memperpanjang ketidakpastian hukum yang ujungnya bisa mengusik target pemerintah memburu peningkatan investasi di dalam negeri.
Baca juga: Sinyal Kocok Ulang Komposisi Hakim Konstitusi
Menurut Feri, setelah MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, investor dan banyak kalangan publik lainnya telah dibuat ragu dengan ketidakpastian hukum di Tanah Air. Keraguan yang muncul tersebut sebenarnya bisa diredam jika pemerintah memutuskan memperbaiki UU Cipta Kerja dengan prosedur normal, yakni melibatkan DPR, dan membuka ruang partisipasi publik seluasnya seperti diamanatkan dalam putusan MK. Ini karena pelibatan DPR serta partisipasi publik yang bermakna bisa meredam potensi gugatan atas produk perundang-undangan yang diterbitkan.
Terlebih, ruang waktu yang diberikan oleh MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dinilainya sangat cukup untuk bisa menyerap masukan publik guna dituangkan dalam aturan tersebut.
Namun, dengan perppu yang diputuskan diterbitkan, pemerintah berarti menutup ruang partisipasi publik. Ditambah lagi, langkah pemerintah bertentangan dengan putusan MK soal UU Cipta Kerja, dan tak adanya prasyarat kegentingan memaksa sebagai dasar terbitnya perppu, kian menambah kekecewaan publik dan menjadi dasar bermunculannya gugatan ke MK. Di titik ini, sangat terbuka potensi perppu tersebut dibatalkan oleh MK.
Kalaupun kemudian proses persetujuan dan pengundangan perppu itu selesai sebelum gugatan di MK tuntas, sangat mungkin gugatan baru muncul setelah perppu diundangkan. Gugatan baru ini kelak bisa saja membatalkan UU Cipta Kerja yang baru atau sejumlah norma yang ada di dalamnya. ”Dengan kata lain, langkah pemerintah menerbitkan perppu ini jauh dari asas kepastian hukum,” tambahnya.
Maka, sudah selayaknya pemerintah memetik pelajaran dari munculnya ketidakpuasan publik dan potensi ketidakpastian hukum dari kasus aturan Cipta Kerja ini. Menurut Feri, praktik ketatanegaraan sudah diatur lengkap dalam konstitusi dan tafsir atas konstitusi yang tertuang dalam setumpuk putusan MK. Tidak rumit dan sulit bagi pemerintah untuk mengikutinya.
”Menjadi rumit dan sulit bahkan membahayakan bangunan ketatanegaraan jika aturan konstitusi itu diabaikan, dan dicari jalan ringkas sesuai kepentingan politik penguasa,” tuturnya.
Yang juga penting diatur, menurut pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Herlambang P Wiratraman, ialah bagaimana seharusnya pembentukan hukum pada masa darurat melalui perppu. Menurut Herlambang, pengaturan tentang pembentukan hukum pada masa darurat di Indonesia masih terlalu longgar. Perdebatan yang ada belum sampai pada apakah pembentukan hukum pada masa darurat tersebut memiliki legitimasi atau bagaimana pembatasan dilakukan.
Jika tidak diatur, potensi manipulasi hukum akan terus-menerus dilakukan penguasa. ”Hari ini, bikin hukum itu kayak tidak punya pemikiran yang membayangkan negara demokratis ke depan seperti apa. Hari ini, praktik negara hukum seperti ramah pada penguasa atau ramah pada oligarki,” ungkapnya.
Baca juga: Substansi Putusan MK Diduga Diubah Setelah Dibacakan
Selain itu, Herlambang mengingatkan pentingnya hukum acara persidangan MK dibahas dan diatur di dalam undang-undang, termasuk di dalamnya hukum acara terkait pengujian perppu. Secara umum, hukum acara yang berlaku di MK saat ini merupakan produk MK sendiri yang dituangkan di dalam peraturan MK atau berlaku setelah putusan hakim seperti pada batas waktu pengujian formil undang-undang yang ditetapkan hakim dalam putusan.
Misalnya, sebuah undang-undang hanya bisa diajukan uji formil dalam waktu 45 hari sejak diundangkan, dan waktu penanganan pengujian formil adalah 60 hari sejak diregistrasi dalam Buku Register Perkara Konstitusi. Akan tetapi, melalui putusan hakim, ketentuan ini kemudian diubah, yaitu 60 hari setelah Presiden dan DPR memberikan keterangan.
”Hukum acara seharusnya tidak mengandalkan putusan internal MK atau peraturan MK, tetapi harus dengan undang-undang. Mari kita lihat praktik pidana atau perdata, mereka punya hukum acara (yang diatur dengan undang-undang). MK tidak punya,” katanya. (BOW/NIA/CAS/WKM/INA/ANA/APA/Z15)