DPR Akan Menilai Pemenuhan Kegentingan Memaksa Perppu Cipta Kerja
Pemerintah telah menyerahkan Perppu Cipta Kerja ke DPR. Selanjutnya, DPR akan memprosesnya di masa persidangan kali ini. DPR hanya memberikan persetujuan atau penolakan atas perppu tersebut.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR akan menilai pemenuhan parameter kegentingan memaksa sebagai dasar terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Cipta Kerja sekaligus substansi di dalamnya, sebelum memberikan persetujuan atau penolakan atas peraturan tersebut.
Demikian disampaikan dalam pidato pembukaan masa persidangan III DPR tahun sidang 2022-2023 dari Ketua DPR Puan Maharani yang dibacakan Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel. Hadir pula pimpinan DPR lain, yaitu Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Lodewijk Paulus, dan Muhaimin Iskandar.
Dalam pidato disampaikan, terdapat sejumlah agenda penting dan strategis yang menanti untuk diselesaikan DPR pada masa persidangan kali ini, salah satunya pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja. Pembahasan itu menindaklanjuti penerbitan Perppu Cipta Kerja oleh pemerintah pada 30 Desember 2022.
Pemerintah menilai, Perppu Cipta Kerja merupakan tindak lanjut pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang mengamanatkan agar dilakukan perbaikan melalui penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dan mengacu pada ketentuan perundang-undangan, Perppu Cipta Kerja harus mendapat persetujuan dari DPR dalam persidangan yang berikut. Apabila tidak mendapat persetujuan, peraturan pemerintah tersebut harus dicabut.
”DPR RI sesuai dengan fungsi konstitusionalnya akan menilai pemenuhan parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan perppu,” kata Rahmat Gobel.
Selain itu, kata Rahmat, DPR pun akan menilai substansi yang memberikan landasan hukum bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan cipta kerja.
Dalam pidato juga disampaikan, DPR bersama dengan pemerintah akan melanjutkan pembahasan sebelas Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masih dalam pembahasan tingkat I dan Rancangan Undang-Undang (RUU) lainnya yang masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2023.
Seusai rapat paripurna, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, dokumen Perppu Cipta Kerja telah diserahkan pemerintah ke DPR saat DPR tengah reses. Maka dari itu, DPR baru memprosesnya pada masa persidangan kali ini, yakni masa persidangan III tahun sidang 2022-2023.
Adapun terkait waktu pembahasan, Dasco berujar, DPR akan lebih dahulu menggelar Rapat Pimpinan (rapim) dan Badan Musyawarah (Bamus). Selanjutnya, Bamus akan menunjuk alat kelengkapan DPR yang ditugaskan mengkaji Perppu Cipta Kerja.
”Saya rasa untuk pembahasan tentang perppu, kami akan sesuaikan dengan mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” kata Dasco.
Berdasarkan aturan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, perppu yang diterbitkan pemerintah harus dibahas di DPR di masa sidang berikutnya. DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas perppu itu. Apabila disetujui oleh DPR, perppu tinggal menunggu disahkan menjadi undang-undang. Namun jika tak disetujui, perppu harus dicabut.
Dari total sembilan fraksi di DPR, dua fraksi sebelumnya telah menyatakan akan menolak memberikan persetujuan terhadap Perppu Cipta Kerja. Kedua fraksi dimaksud adalah Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera.
Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron menegaskan, partainya menolak Perppu Cipta Kerja karena perppu itu tidak memenuhi asas partisipatoris serta tidak memperbaiki pasal-pasal yang menjadi sorotan publik. Ia juga meragukan ada urgensi dalam penerbitan perppu tersebut.
Adapun Sekretaris Fraksi PKS Ledia Hanifa Amaliah menilai langkah Presiden Joko Widodo menerbitkan perppu menunjukkan betapa pemerintah menggampangkan pelanggaran terhadap hierarki perundang-undangan sekaligus melecehkan DPR. Padahal, sebagaimana putusan MK, pemerintah masih mempunyai waktu satu tahun untuk memperbaiki UU Cipta Kerja.
”Seharusnya pemerintah melibatkan publik dan membahasnya bersama DPR. Tetapi, ini, kok, yang dipilih secara sadar justru menerbitkan perppu, yang berarti mengabaikan perlunya pelibatan publik, abai pada ketundukan pada hierarki perundang-undangan, dan melecehkan DPR yang, menurut UUD 1945 Pasal 20 Ayat 1 dan 2, memiliki kuasa membentuk UU bersama Presiden,” kata Ledia.