Fraksi-fraksi di DPR Akan Dalami Urgensi Perppu Cipta Kerja
DPR akan mempelajari isi Perppu Cipta Kerja sebelum memberikan pandangannya terhadap perppu itu. Sejumlah pengkaji tata negara mengkritik keras para pihak yang ”ngotot” memberi pembenaran terhadap Perppu Cipta Kerja.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, SUSANA RITA KUMALASANTI, DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat masih akan mendalami urgensi penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebelum memutuskan untuk menerima atau menolak. Namun, dua fraksi sudah menyatakan akan menolak perppu tersebut karena mereka tidak melihat adanya kegentingan yang memaksa diterbitkannya Perppu Cipta Kerja. Mereka mengingatkan pemerintah agar tidak menyimpangi norma hukum tertinggi.
Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya melalui putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 memerintahkan kepada pembentuk UU untuk memperbaiki UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja selama dua tahun sejak putusan dibacakan 21 November 2021. MK menegaskan, UU tersebut cacat formil sehingga dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Namun, pada akhir Desember 2022, pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja. Pemerintah mengklaim, penerbitan regulasi itu dibutuhkan untuk menjawab berbagai tantangan yang kini dihadapi banyak negara, seperti krisis pangan, energi, keuangan, sampai perubahan iklim.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad ditemui di Kompleks Senayan, Jakarta, Rabu (4/12/2022), mengatakan, DPR akan mempelajari isi Perppu Cipta Kerja. Begitu pula semua fraksi di DPR juga akan memberikan pandangan terhadap perppu tersebut. Nantinya, melalui rapat Badan Musyawarah, akan ditunjuk alat kelengkapan Dewan yang bertugas membahas perppu tersebut.
”Saya belum bisa banyak berkomentar karena kami harus mempelajari isi perppu menjadi satu kesatuan dan tidak boleh sepotong-sepotong supaya tidak ada multitafsir. Kami meminta kepada publik agar bersabar dan menunggu DPR membahas (perppu) ini,” ujar Dasco, yang juga Ketua Harian Partai Gerindra.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi menambahkan, Baleg menunggu keputusan rapat Bamus terkait dengan alat kelengkapan Dewan yang akan ditugaskan membahas Perppu Cipta Kerja. Ia juga tidak bisa memastikan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membahas perppu tersebut.
”Lambat dan cepatnya sebuah pembahasan RUU ataupun perppu, itu tergantung dari dinamika yang ada di DPR,” kata Baidowi.
Jika pada akhirnya nanti Baleg diminta untuk membahas Perppu Cipta Kerja, Baidowi menegaskan, hal pertama yang akan dikritisi Baleg adalah alasan mendesak penerbitan perppu itu. Selain itu, hal-hal apa saja yang diperbaiki dalam UU Cipta Kerja dan kemudian diatur dalam Perppu Cipta Kerja.
Untuk sikap PPP mengenai Perppu Cipta Kerja, Baidowi menyampaikan, partainya masih mendalami segala aspek yang berkaitan dengan penerbitan perppu tersebut. PPP tidak ingin penerbitan perppu justru bertentangan dengan putusan MK. ”Nanti kita lihatlah keterkaitan dengan putusan MK-nya seperti apa dan normanya seperti apa,” katanya.
Sementara itu, anggota Baleg dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ledia Hanifa Amaliah, mendorong DPR agar menolak Perppu Cipta Kerja dan meminta pemerintah taat pada perintah MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja. ”Kehadiran perppu ini dapat dikatakan sebagai satu bencana UU karena berpotensi mengganggu, merusak, serta merugikan kehidupan bernegara yang demokratis dan mencederai ketundukan pada hierarki perundang-undangan di negeri ini,” ucap Ledia, yang juga Sekretaris Fraksi PKS.
Langkah Presiden Joko Widodo dengan menerbitkan perppu ini, lanjut Ledia, juga menunjukkan betapa pemerintah menggampangkan pelanggaran terhadap hierarki perundang-undangan sekaligus melecehkan DPR. Padahal, sebagaimana putusan MK, pemerintah masih mempunyai waktu satu tahun untuk memperbaiki UU Cipta Kerja.
”Seharusnya pemerintah melibatkan publik dan membahasnya bersama DPR. Tetapi, ini, kok, yang dipilih secara sadar justru menerbitkan perppu, yang berarti mengabaikan perlunya pelibatan publik, abai pada ketundukan pada hierarki perundang-undangan dan melecehkan DPR yang, menurut UUD 1945 Pasal 20 Ayat 1 dan 2, memiliki kuasa membentuk UU bersama Presiden,” kata Ledia.
Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron juga menegaskan bahwa partainya akan menolak Perppu Cipta Kerja. Sebab, perppu itu tidak memenuhi asas partisipatoris serta tidak memperbaiki pasal-pasal yang menjadi sorotan publik.
Ia juga meragukan ada urgensi dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja saat ini. Menurut Herman, Indonesia sebenarnya sudah memiliki pengalaman dalam menjaga stabilitas perekonomian, yakni pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada masa pemerintahan SBY, tanpa adanya UU Cipta Kerja, pereknomian nasional bisa tumbuh di atas 5-6 persen. Rasio utang pemerintah juga dapat ditekan.
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie saat dihubungi mengajak semua pihak untuk kembali setia kepada norma tertinggi yang sudah disepakati di negara ini, yakni Pancasila dan UUD 1945. Praktik-praktik yang menyimpangi norma hukum tertinggi tersebut diharapkan tidak dilakukan. ”Jangan khianati (Pancasila dan UUD 1945),” kata Jimly, merujuk pada tindakan pemerintah mengeluarkan Perppu Cipta Kerja.
Menurut Jimly, pemerintah seharusnya menaati putusan MK terkait dengan pengujian formil UU Cipta Kerja. Jimly mengatakan, tindak lanjut putusan MK sebenarnya tidak sulit untuk dikerjakan dalam waktu dua tahun. Saat ini, masih ada waktu tujuh bulan sebelum tenggat waktu terpenuhi pada November 2023.
”Susun saja UU baru dalam waktu tujuh bulan sekaligus memperbaiki substansi materi pasal-pasal dan ayat-ayat yang dipersoalkan di tengah masyarakat dengan sekaligus membuka ruang partisipasi publik yang meaningful dan substansial sesuai dengan amar putusan,” ujarnya.
Pemerintah, katanya, sebaiknya tidak membangun argumen adanya kegentingan memaksa yang dibuat-buat dengan menerbitkan perppu. Ia juga mengingatkan bahwa pembentuk undang-undang, menurut UUD 1945, adalah DPR, bukan Presiden seperti era sebelum reformasi. Apalagi ada putusan MK yang memerintahkan perbaikan UU.
”Perppu ini jelas melanggar prinsip negara hukum yang dicari-carikan alasan pembenaran oleh sarjana tukang stempel. Peran MK dan DPR diabaikan. Ini bukan contoh rule of law yang baik, tetapi menjadi contoh rule by law yang kasar dan sombong,” ucap Jimly.
Tak ketinggalan, Jimly juga mengkritisi para sarjana hukum yang ”ngotot” memberi pembenaran terhadap Perppu Cipta Kerja. Bila Perppu Cipta Kerja dibenarkan, mereka pun akan mengamini terbitnya Perppu Penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden.
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, menambahkan, penerbitan Perppu Cipta Kerja adalah bentuk kegagalan pembentuk undang-undang dalam menindaklanjuti putusan MK. Jika tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen. Perbaikan undang-undang harus melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh.
”Penerbitan perppu adalah cara mengakali putusan MK dengan terobosan hukum yang akan berdampak buruk dan sistemik terhadap ekosistem negara hukum dan demokrasi. Ini terobosan yang sangat riskan dan destruktif dalam pembangunan sistem hukum,” ujarnya.
Fachri menambahkan, penerbitan perppu juga merupakan orkestrasi kebijakan dengan nuansa ketidakpatuhan terhadap konstitusi. Dia memastikan proses pembentukan ataupun substansi perppu bermasalah dari sisi kaidah pembentukannya karena tidak adanya partisipasi bermakna.
Dia berharap DPR bisa melakukan pengawasan atas penerbitan perppu itu. DPR bisa meninjau ulang apakah penerbitan perppu itu memenuhi kaidah kegentingan memaksa yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Dalam sidang paripurna di DPR, katanya, Presiden bisa ditanya tentang unsur keadaan kegentingan yang memaksa sebagai dasar penerbitan perppu itu.
Jika unsur kegentingan memaksa tidak terpenuhi, DPR diharapkan dapat memainkan fungsi check and balances dengan tidak menyetujui pengesahan perppu menjadi undang-undang. DPR juga bisa memerintahkan agar perppu dicabut.
”DPR diharapkan dapat melakukan peran signifikan secara konstitusional dalam fungsi check and balances. Ini untuk menghindari tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan sepihak oleh Presiden,” katanya.