Sebanyak 19 Bakal Calon Anggota DPD Ajukan Sengketa ke Bawaslu
Anggota KPU, M Afifuddin, mengakui masih ada persoalan teknis dalam penggunaan Silon. Sebab, ada bakal calon anggota DPD yang merasa terkendala dalam proses pendaftaran melalui sistem tersebut.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 19 bakal calon anggota Dewan Perwakilan Daerah di enam provinsi mengajukan sengketa ke Badan Pengawas Pemilu karena mengaku kesulitan saat proses penyerahan dukungan yang diunggah melalui Sistem Informasi Pencalonan atau Silon. KPU diminta memperkuat teknologi informasi agar tidak merugikan calon peserta pemilu.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mochammad Afifuddin, Jumat (20/1/2023), mengatakan, sebaran lokasi 19 bakal calon yang mengajukan sengketa, yakni 3 orang di DKI Jakarta, 6 orang di Jawa Barat, 1 orang di Sulawesi Selatan, 3 orang di Sulawesi Barat, 4 orang di Papua, serta 2 orang di Papua Tengah. Semua sengketa tersebut telah mencapai kesepakatan dalam proses mediasi di Bawaslu provinsi. Para bakal calon anggota DPD diberi kesempatan untuk mengunggah kekurangan dukungan yang belum terunggah di Silon.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Kami tahu kalau ada masalah teknis yang dipersoalkan, tetapi kami juga mendorong tercapainya kesepakatan dalam proses mediasi,” ujar Afifuddin dalam diskusi bertajuk Keterbukaan Informasi Penyelenggaraan Pemilu dan Peran Kritis Masyarakat Sipil dalam Mengaudit Sistem Elektronik pada Tahapan Pemilu Serentak Tahun 2024.
Afif mengakui masih ada persoalan teknis dalam penggunaan Silon. Sebab, ada bakal calon anggota DPD yang merasa terkendala dalam proses pendaftaran melalui sistem tersebut. Namun, KPU akan terus beradaptasi untuk menyempurnakan sistem teknologi informasi yang digunakan dalam berbagai tahapan pemilu.
”Kami berupaya semaksimal mungkin menerapkan digitalisasi untuk mendukung akuntabilitas, aksesibilitas, dan kecepatan dalam penyelenggaraan pemilu,” ujarnya.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita mengatakan, penggunaan teknologi informasi akan menjadikan proses elektoral lebih efektif dan efisien. Namun, dari evaluasi yang dilakukan JPPR, mereka masih menemukan sejumlah masalah yang perlu diperbaiki oleh KPU. ”Kami masih melihat ada trial and error dalam menggunakan teknologi informasi,” ucapnya.
Ia mengingatkan, penggunaan sistem elektronik mestinya tidak menyebabkan kerugian calon peserta pemilu. Sebab, sistem yang digunakan kerap kali mengalami gangguan yang berdampak pada terhentinya proses tahapan sehingga membuat waktu pelaksanaan tahapan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satu yang ditemukan ialah tahapan verifikasi administrasi dukungan pencalonan DPD yang seharusnya dilakukan pada 31 Desember 2022 hingga 12 Januari 2023 akhirnya diundur sampai 15 Januari 2023.
”Sistem elektronik yang digunakan belum teruji, bermasalah, dan belum siap membaca kebutuhan proses pelaksanaan tahapan pemilu, tetapi tetap dijadikan alat bantu yang diwajibkan dalam proses tahapan,” ujar Mita.
Selain itu, ia menilai KPU kurang memberikan akses kepada Bawaslu dalam mengawasi data atau dokumen yang diproses dalam sistem elektronik. Masyarakat sipil pun tidak diberikan akses sehingga sistem informasi menjadi tidak terbuka dan sulit diakses masyarakat.
”Kondisi ini membuat tahapan pemilu rawan dimanipulasi oleh penyelenggara pemilu karena yang mengetahui seutuhnya transaksi data dalam sistem elektronik hanya KPU dan calon peserta pemilu,” kata Mita.