Kompensasi bagi Korban Pelanggaran HAM Berat Tunggu Putusan Pengadilan
Mengacu pada undang-undang, kompensasi hanya bisa diberikan berdasarkan putusan pengadilan. Problemnya, dari 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang diakui negara, belum ada satu pun yang dibawa ke meja hijau.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski negara telah mengakui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat di 12 peristiwa masa lalu, pemulihan hak bagi korban dan keluarga korban dalam bentuk kompensasi belum bisa diberikan. Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban mengamanatkan, pemberian kompensasi harus didasarkan putusan pengadilan.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo, Jumat (13/1/2023), mengatakan, pemulihan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dengan kompensasi hanya bisa dilakukan apabila sudah diputuskan di pengadilan. Sementara 12 kasus pelanggaran HAM berat yang diakui terjadi oleh negara belum dibawa ke meja hijau.
Dengan demikian, pemulihan yang bisa dilakukan LPSK pada korban pelanggaran HAM berat masih sebatas rehabilitasi dalam bentuk bantuan medis, psikologis, dan psikososial.
”Kami tidak bisa mengupayakan pemulihan dengan kompensasi karena harus lebih dulu diputuskan di pengadilan. Empat kasus yang sudah dibawa ke pengadilan pun hasilnya tidak memuaskan. Untuk itu, kami menunggu langkah selanjutnya dari pemerintah, termasuk penugasan kepada kami,” ujar Hasto dalam acara Catatan Refleksi dan Agenda Perlindungan Saksi dan Korban 2023 di Auditorium LPSK, Jakarta. Enam unsur pimpinan LPSK turut hadir dalam acara tersebut.
Empat kasus yang disebut hasilnya tak memuaskan di pengadilan adalah Timor Timur 1999, Tanjung Priok 1984, Abepura 2000, dan terakhir Paniai berdarah 2014. Semua pelaku dari empat kasus ini diputus bebas karena bukti-buktinya disebut tidak cukup.
Pada Kamis (12/1/2023), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, skema pemulihan yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah peningkatan ekonomi hingga penerbitan dokumen kependudukan bagi korban yang selama ini terkendala.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga menegaskan, akan ada langkah konkret ke depan setelah Presiden Joko Widodo mengakui adanya 12 peristiwa HAM berat masa lalu. ”Saya pikir ada pemulihan hak, kompensasi, dan seterusnya,” ujar Moeldoko ditemui di Istana Wakil Presiden seusai rapat Komisi Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional, (Kompas.id, 12/1/2023).
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK diberi kewenangan untuk memulihkan hak-hak korban. Dalam peraturan itu juga disebutkan, setiap korban pelanggaran HAM berat berhak mendapatkan bantuan medis, rehabilitasi psikososial, dan kompensasi.
Kompensasi merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya kepada korban atau keluarganya.
Adapun kompensasi diajukan oleh korban, keluarga, ataupun kuasanya kepada Pengadilan HAM melalui LPSK. Selanjutnya, LPSK membayarkan kompensasi berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Hasto menyebut, LPSK turut memberi rekomendasi kepada Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) terkait pemulihan korban. Isi rekomendasi didasarkan survei dari LPSK yang menyebut mayoritas korban pelanggaran HAM berat menginginkan rehabilitasi. Para korban tersebut, kata Hasto, lebih ingin dimanusiakan, dipulihkan nama baiknya, dan tidak dipinggirkan.
Ia pun mengapresiasi pengakuan negara serta rekomendasi dari Tim PPHAM untuk Presiden yang telah sesuai usulan dari LPSK. Kini, LPSK meminta pemerintah menjalankan rekomendasi, termasuk memberikan rehabilitasi secara menyeluruh kepada korban pelanggaran HAM berat.
Dengan adanya keputusan politik dari pemerintah, LPSK berharap rehabilitasi korban pelanggaran HAM berat menjadi lebih luas.
”Dengan adanya keputusan politik dari pemerintah, kami harap rehabilitasi korban pelanggaran HAM berat menjadi lebih luas. Kami butuh dukungan lebih konkret dari pemerintah. Misalnya, menyangkut rehabilitasi korban 1965-1966 yang merupakan pegawai negeri sipil (PNS),” ujar Hasto.
Para korban, lanjut Hasto, banyak mengajukan permohonan rehabilitasi lantaran hak mereka untuk mendapatkan uang pensiun tidak terpenuhi. Namun, LPSK kesulitan untuk membantu rehabilitasi. Kementerian/lembaga terkait kerap menolak pemenuhan hak tersebut.
Data korban
Selain pemulihan hak korban, Tim PPHAM juga merekomendasikan kepada negara untuk melakukan pendataan kembali korban. Terkait hal ini, Hasto mengatakan, LPSK siap membantu memberikan data korban, khususnya korban yang mendapatkan perlindungan (terlindung) lembaga tersebut. Bahkan, LPSK juga siap melacak korban-korban lain dari orang yang sebelumnya mendapatkan rekomendasi dari Komnas HAM.
Menurut data LPSK, dari 2012 hingga 2022, terdapat 4.322 korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang menjadi terlindung LPSK. Rinciannya, 4.062 orang merupakan korban langsung dan 260 sisanya ialah keluarga korban. Adapun jumlah terbanyak adalah korban atau keluarga korban peristiwa 1965-1966 dengan total 4.187 orang, disusul peristiwa Rumoh Geudong 1989 sebanyak 46 orang.
Selain itu, peristiwa Tanjung Priok 1984 (tidak masuk dalam pengakuan negara) dengan 22 orang, peristiwa Simpang KKA 1999 dengan 21 orang, peristiwa Jambo Keupok 2003 dengan 14 orang, dan peristiwa kerusuhan Mei 1998 dengan 12 orang. Ada pula peristiwa Talangsari 1989 dengan 11 orang dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998 dengan 9 orang.
Wakil Ketua LPSK Achmadi menuturkan, pada 2022, jumlah terlindung dari kasus pelanggaran HAM berat sebanyak 590 orang. Sejumlah 512 terlindung mendapatkan bantuan medis berupa rehabilitasi medis, penggantian biaya perawatan, pemeriksaan diagnostik, visum, obat-obatan, serta pemberian alat bantu dan tindakan medis. Sebanyak 38 terlindung mendapatkan bantuan rehabilitas psikologis. Adapun 74 terlindung mendapatkan rehabiltasi psikososial,
LPSK juga memberikan santunan kerahiman. Terlindung pelanggaran HAM berat paling banyak mendapatkan santunan kerahiman, yaitu 36 orang. Ini disebabkan terlindung pelanggaran HAM sudah berusia lanjut sehingga banyak terjadi para terlindung meninggal karena usia lanjut dalam masa perlindungan LPSK.
Achmadi menambahkan, pada 2022, LPSK mendapatkan banyak permohonan perlindungan dari korban ataupun keluarga korban pelanggaran HAM berat. Bahkan, katanya, peningkatannya mencapai 71 persen dibandingkan 2021. Sebanyak 600 permohonan dari kategori pelanggaran HAM berat tercatat pada 2022.
Peningkatan permohonan dari korban atau keluarga korban pelanggaran HAM didorong penerbitan surat keterangan sebagai korban pelanggaran HAM berat dari Komnas HAM.
”Hal itu dipengaruhi adanya kebijakan Komnas HAM yang menerbitkan kembali surat keterangan sebagai korban pelanggaran HAM berat dan adanya korban yang mengajukan kembali permohonan bantuan medis kepada LPSK,” ujar Achmadi.
Kategori lain
Di luar korban pelanggaran HAM berat masa lalu, peningkatan permohonan perlindungan ke LPSK juga tampak dari kategori tindak pidana pencucian uang (TPPU). Dari delapan permohonan pada 2021, jumlahnya melonjak menjadi 3.725 permohonan pada 2022. Achmadi mengatakan, permohonan itu datang dari 3.725 korban kasus investasi ilegal/robot trading, seperti Binomo, KSP Indosurya, dan Fikasa.
Baik kasus pelanggaran HAM berat maupun TPPU menjadi dua kategori tindak pidana dengan permohonan perlindungan tertinggi. Adapun kasus kekerasan seksual terhadap anak menjadi permohonan terbanyak ketiga dengan 536 permohonan pada 2022.
Setidaknya ada dua faktor pendorong tingginya angka permohonan pada kasus tersebut, yaitu disahkannya Undang-Undang 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Regulasi itu mempertegas peran LPSK dalam memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual, baik berkaitan dengan perlindungan maupun perhitungan restitusi.
Wakil Ketua LPSK Livia Istania DF Iskandar menambahkan, faktor pendorong lain ialah masifnya kejahatan seksual hampir di seluruh Indonesia, termasuk kasus yang terjadi di sekolah berbasis asrama. ”Kita perlu memberikan atensi pada lembaga pendidikan berbasis asrama dan agama. Terutama setelah kasus yang mencuat dua tahun belakang,” ujar Livia.