Korban terdampak terorisme tak hanya berhak mendapatkan kompensasi dan bantuan medis, tetapi juga rehabilitasi psikososial dan psikologis dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Pelapor ataupun saksi kasus korupsi di satu instansi kerap dikucilkan, dimutasi, bahkan diancam. Hal tersebut sangat merugikan, baik dalam proses pengungkapan maupun peradilan kasus korupsi.
Tahun 2020, LPSK menerima 47 permohonan terkait penyiksaan dalam tahanan. Umumnya, penyiksaan itu dilakukan aparat negara. Untuk mencegah penyiksaan tahanan, pola pikir aparat juga harus berubah.
LPSK menyerahkan kompensasi bagi 36 korban tindak pidana terorisme. LPSK mengimbau korban tindak pidana terorisme masa lalu, termasuk korban peledakan bom di Bali pada 2002 dan 2005, agar mengurus kompensasi.
Korban terorisme yang belum tercatat sebagai penerima kompensasi diharapkan melapor sebelum Juni 2021. Jika melebihi waktu itu, korban terancam tidak mendapatkan kompensasi.
Akses keadilan restoratif bagi perempuan penyandang disabilitas masih mengalami hambatan-hambatan karena kondisi disabilitasnya.
Harapan hadirnya Undang-Undangan Penghapusan Kekerasan Seksual yang berpihak pada korban kekerasan seksual terus disuarakan. DPR diharapkan membahas dan mengesahkan Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual tahun ini.
Tahun 2020 menjadi tahun yang berat bagi LPSK karena anggaran yang diterima oleh LPSK paling rendah dalam lima tahun terakhir. Padahal, perlindungan saksi dan korban harus terus berjalan meski pandemi.
Meski perundangan menyatakan perlindungan bagi pembela lingkungan, hal itu belum berjalan. Selain mendorong aturan teknisnya, Komnas HAM mengimbau pembela lingkungan berjuang tanpa kekerasan.
Dikabulkannya restitusi dan putusan hukuman 15 tahun penjara kepada SPM menandakan majelis hakim juga memperhatikan kerugian yang dialami para korban.