Kasus Dugaan Korupsi Satelit Orbit 123 Segera Dilimpahkan ke Pengadilan
Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) berharap agar sidang kasus dugaan korupsi satelit orbit 123 nantinya digelar di peradilan umum, bukan peradilan militer.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung akhirnya menahan empat tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan satelit slot orbit 123 Bujur Timur di Kementerian Pertahanan, termasuk salah seorang warga negara Amerika Serikat. Dengan demikian, perkara tersebut akan segera dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana dalam keterangan tertulis, Jumat (13/1/2023), mengatakan, penahanan keempat tersangka tersebut terkait kontrak sewa satelit Artemis Avanti pada 2015 di Kementerian Pertahanan (Kemenhan).
Keempatnya adalah Arifin Wiguna selaku Komisaris Utama PT DNK; Surya Cipta Witoelar selaku Direktur Utama PT DNK; Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto selaku Mantan Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kemenhan periode Desember 2013-Agustus 2016; dan Thomas Van Der Hayden, warga negara Amerika Serikat yang merupakan tenaga ahli PT DNK. Keempat tersangka ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba cabang Kejagung.
”Pada saat dilakukan pemeriksaan dan tindakan penahanan oleh penyidik koneksitas, para tersangka dalam kondisi sehat serta kooperatif serta didampingi oleh penasihat hukum,” kata Ketut.
Ketut menuturkan, para tersangka diduga secara bersama-sama melakukan pengadaan satelit slot orbit 123 derajat BT melalui kontrak sewa satelit Artemis dari Avanti. Kontrak satelit tersebut dilakukan dengan dalih dalam kondisi darurat dan untuk menyelamatkan alokasi spektrum pada slot orbit 123 derajat BT.
Namun, pada kenyataannya, satelit Artemis yang telah disewa tidak berfungsi karena spesifikasinya tidak sama dengan satelit sebelumnya, yaitu Garuda-1. Akibatnya, satelit Artemis tidak dapat difungsikan dan tidak dapat bermanfaat. Perbuatan tersebut telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 453 miliar.
Menurut Ketut, sebelumnya, keempat tersangka tersebut tidak ditahan meski telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, terhadap keempat tersangka telah dilakukan proses cegah tangkal (cekal) sehingga mereka tidak boleh bepergian ke luar wilayah Indonesia serta masing-masing harus melakukan wajib lapor.
”Tindakan penahanan yang dilakukan penyidik koneksitas terhadap para tersangka tersebut dilaksanakan dalam rangka pelimpahan perkara ke tahap penuntutan,” kata Ketut.
Ketut menyampaikan, dalam proses penyidikan, tim penyidik koneksitas yang terdiri dari jaksa, oditur, dan Puspom TNI telah melakukan koordinasi secara intensif dengan sejumlah kementerian dan lembaga baik di dalam maupun di luar negeri.
Mereka di antaranya Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kemenhan, Kementerian Luar Negeri, termasuk Kedutaan Besar RI di Swiss dan Hongaria, Konsulat Jenderal RI di Hong Kong, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Peradilan umum
Secara terpisah, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman berharap agar sidang kasus tersebut nantinya digelar di peradilan umum. Sebab, hal itu sudah diatur dalam Pasal 89 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pasal tersebut menyatakan bahwa jika suatu tindak pidana dilakukan bersama-sama oleh subyek hukum yang masuk dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan militer, maka lingkungan peradilan yang mengadilinya adalah lingkungan peradilan umum.
Selain itu, lanjut Boyamin, jika dilihat dari segi kerugian yang ditimbulkan tindak pidana tersebut sebagaimana diatur Pasal 90 KUHAP, lebih banyak kerugian diderita oleh kalangan sipil atau pemerintah.
”Karena jumlah tersangka lebih banyak dari sipil, maka peradilan di pengadilan umum atau pengadilan tindak pidana korupsi. Selain itu, peradilan tindak pidana korupsi, kan, sudah terbentuk, maka perkara korupsi oleh militer tetap di pengadilan umum,” katanya.