Dewas KPK menerima 96 laporan dari masyarakat yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Selain itu, Dewas KPK juga menerima surat pengaduan pelanggaran kode etik sebanyak 76 laporan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
Dewan Pengawas KPK jumpa pers di Jakarta, Senin (9/1/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang 2022, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi menyidangkan lima kasus dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku yang dilakukan oleh insan KPK. Namun, para pelaku pada 4 kasus hanya diberikan sanksi berupa permintaan maaf dan 1 kasus tidak dilanjutkan karena mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK. Efektivitas keberadaan dewan pengawas di KPK pun kembali dipertanyakan karena pelanggar etik hanya disikapi ala kadarnya.
Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengungkapkan, Dewas KPK menerima 477 surat yang terdiri dari 282 surat dari internal dan 195 dari eksternal. Beberapa surat tersebut terkait dengan pengaduan, yakni 96 laporan yang diterima dari masyarakat yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.
”Sebagian besar yang berhubungan dengan penindakan. Banyak komplain dari masyarakat,” kata Tumpak dalam Konferensi Pers Capaian Kinerja Dewan Pengawas KPK Tahun 2022 di Jakarta, Senin (9/1/2023).
Terkait dengan etik, kata Tumpak, Dewas menerima surat pengaduan telah terjadi pelanggaran kode etik sebanyak 76 laporan. Sebanyak 26 laporan telah ditindaklanjuti dan 3 pengaduan disidangkan. Selain 3 pengaduan tersebut, Dewas juga menyidangkan 2 kasus dari tahun sebelumnya.
Anggota Dewas KPK, Albertina Ho, menjelaskan, 3 dari 26 laporan pengaduan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Kode Perilaku (KEKP) dinyatakan cukup bukti untuk ditindaklanjuti ke sidang etik, 20 pengaduan tidak cukup bukti untuk ditindaklanjuti ke sidang etik, dan 3 laporan dalam tahap pengumpulan bahan dan keterangan.
Ia menyebutkan, lima kasus yang disidangkan adalah pelanggaran nilai profesionalisme karena bekerja tidak sesuai dengan prosedur standar operasi sebagai atasan dalam perkara bendahara pengeluaran pengganti di Kedeputian Bidang Penindakan dan Eksekusi. Dalam kasus ini, dua orang diperiksa karena tidak akuntabel dan tuntas yang mengakibatkan adanya ketidakberesan dalam pertanggungjawaban pengeluaran uang APBN. Pelaku dikenai sanksi ringan berupa permintaan maaf secara tertutup.
Kasus kedua mengenai perselingkuhan. Dua orang dinyatakan melanggar ketentuan dan menyadari bahwa sikap serta tindakannya selalu melekat dalam kapasitasnya sebagai insan komisi. Pelaku dikenai sanksi sedang berupa permintaan maaf secara terbuka tidak langsung.
Tiga laporan pada 2022 yang disidangkan adalah kasus Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar terkait laporan penerimaan gratifikasi berupa akomodasi dan tiket menonton MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat.
Dalam kasus ini, Lili diduga melakukan pelanggaran karena berhubungan dengan pihak yang berperkara, yakni pihak PT Pertamina (Persero). Lili diduga menyalahgunakan jabatan dan kewenangannya sebagai pimpinan KPK untuk memperoleh fasilitas dari Pertamina dan tidak melaporkan gratifikasi yang dianggap suap.
Pada persidangan kedua, Lili hadir dan menyerahkan keputusan presiden yang menyatakan bahwa Lili sudah diberhentikan sebagai pimpinan KPK yang terhitung pada hari persidangan tersebut kepada majelis. Karena itu, Dewas tidak bisa melanjutkan lagi persidangan dan perkara yang bersangkutan dinyatakan gugur.
Kasus keempat yang disidangkan adalah masalah perselingkuhan dan telah dikenai sanksi berupa permintaan maaf secara terbuka tidak langsung. Kasus terakhir adalah dua orang diperiksa terkait menggunakan scan tanda tangan untuk mempertanggungjawabkan pengeluaran keuangan. Keduanya dijatuhi sanksi ringan berupa permintaan maaf secara tertutup.
”Dengan beralihnya status pegawai KPK menjadi ASN (aparatur sipil negara), berarti untuk etik hanya bisa dilakukan sanksi moral dalam hal ini permintaan maaf,” kata Albertina.
Tumpak menambahkan, terkait dengan sanksi, Dewas saat ini lebih tegas dalam penindakan etik. Meskipun hukuman terhadap pegawai hanya diberikan sanksi moral, pegawai yang melakukan pelanggaran disiplin bisa diberhentikan.
Ia mengungkapkan, untuk pimpinan tidak berlaku sanksi moral. Mereka bisa dikenai sanksi potong gaji.
”Sekarang bukan gaji pokok lagi, saya sudah ganti penghasilan, 40 persen dari penghasilan. Dulu sempat ibu LPS (Lili Pintauli Siregar) itu dihukum gaji pokok. Setelah kami lihat, wah salah ini, akhirnya kami perbaiki. Kenapa dulu pakai gaji pokok? Ikut aturan yang lama. Dulu gaji pokoknya besar, sekarang gaji pokoknya kecil. Yang banyak itu tunjangan lainnya,” kata Tumpak.
Menurut peneliti Transparency International Indonesia, Sahel Muzzammil, sejak awal keberadaan Dewas KPK masih sangat jauh dari efektif. Hal tersebut terlihat dari sikap mereka terhadap pelanggaran etik yang dilakukan oleh pimpinan KPK. Sahel pun mempertanyakan kejelasan moral dari Dewas.
”Apakah Dewas KPK paham bahwa (tanpa mengecilkan instansi lain) insan KPK harus mempunyai standar etika yang sangat tinggi? Sayangnya, saya tidak melihat pemahaman itu ada. Itu sebabnya, pelanggaran etik di lembaga antirasuah ini kerap disikapi ala kadarnya seperti sekadar permintaan maaf, teguran, dan seterusnya,” ujarnya.