Saksi Meringankan Sambo dan Putri Bersikeras Maknai Kata ”Hajar” Sesuai KBBI
Ahli pidana yang didatangkan sebagai ahli meringankan Ferdy Sambo bersikeras mengatakan, pengertian kata ”hajar” tidak sama dengan ”tembak” atau ”bunuh”.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Makna kata ”hajar” menjadi perdebatan dalam sidang lanjutan perkara pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat. Ahli pidana yang dihadirkan kuasa hukum Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi bersikeras memaknainya secara harfiah berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Di sisi lain, jaksa penuntut umum dan majelis hakim memintanya memaknai secara kontekstual.
”Saya buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk mengetahui apakah makna kata ’hajar’ ini sinonim atau sama artinya dengan ’bunuh’ atau ’tembak’. Di KBBI ternyata tidak ada pengertian itu,” kata ahli pidana Said Karim dalam sidang perkara pembunuhan berencana Nofriansyah dengan terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (3/1/2023).
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini didatangkan tim penasihat hukum terdakwa Sambo dan Putri sebagai salah satu saksi yang meringankan (a de charge).
Pembahasan soal kata ”hajar” bermula dari pertanyaan anggota tim penasihat hukum Sambo dan Putri, Febri Diansyah. Pertanyaan Febri terkait penganjur (Uitlokker) dalam Pasal 55 Ayat 1 Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun Sambo dan Putri didakwa dengan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, subsider Pasal 338 KUHP tentang merampas nyawa orang lain, juncto Pasal 55 Ayat 1 Kesatu KUHP tentang penyertaan.
Febri mengandaikan adanya situasi ketika terjadi mispersepsi dari pihak yang melaksanakan anjuran (pelaksana) atas anjuran yang diberikan penganjur. ”Misal, yang dianjurkan adalah hajar, tetapi yang dilaksanakan adalah menembak yang berakibat matinya seseorang,” kata Febri.
Dalam situasi itu, kata Said, pelaksana memiliki senjata api sehingga ketika muncul anjuran untuk memukul, yang dilakukan malah menembak. Namun, ia juga heran karena biasanya seorang penembak akan mengarahkan tembakannya secara berurutan mulai dari kaki hingga ke bagian mematikan. ”Dia malah menembak ke daerah berbahaya bagi kehidupan umat manusia, mungkin daerah perut atau jantung. Itu memang sangat mematikan,” ucap Said.
Menurut Said, apabila terjadi situasi demikian, penganjur tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan yang tidak ia anjurkan. Pasalnya, pelaksana atau pelaku peserta melakukan tindak pidana akibat salah tafsir dan melampaui batas yang dianjurkan. ”Maka, kalau ada akibat yang muncul atau risiko yang muncul, itu tanggung jawab pelaku peserta yang menerima anjuran tersebut,” ujar Said.
Berangkat dari keterangan tersebut, anggota tim jaksa penuntut umum (JPU), Shandy Handika, kemudian menanyakan perihal makna kata ”hajar”. Ia meminta Said memaknai kata tersebut secara kontekstual. Adapun konteksnya ia gambarkan dalam sebuah ilustrasi, yaitu sebelum ada kata ”hajar” terdapat permintaan dari penganjur untuk menembak korban. Setelahnya, ada permintaan untuk mengisi amunisi.
”Kalau ada rangkaian peristiwa itu sebelum muncul kata ’hajar’, apakah kemudian makna kata tersebut memukul atau bermakna perbuatan lain?” tanya Shandy.
Said menjelaskan, ia selalu mengikuti proses persidangan sejak awal perkara pembunuhan Bridgadir J tersebut. Ia tertarik untuk mencari tahu makna kata ”hajar” setelah ada keterangan yang menyatakan kata tersebut. Setelah membuka KBBI, ia mengetahui bahwa kata tersebut tidak sama artinya dengan bunuh atau tembak.
”Kita juga kadang kumpul ramai-ramai dengan teman SMA, ada makanan dan kita bilang ’hajar’. Makanan pun kita suruh hajar. Apakah hajar ini sinonim atau sama dengan tembak, tidak ada pengertian yang memberi jaminan itu benar,” ucap Said.
Muncul perdebatan setelah JPU menegaskan bahwa pertanyaannya berkaitan dengan konteks yang telah diutarakan. Said tetap menekankan pengertian ”hajar” tidak sama dengan ”tembak”. Ia bahkan meminta JPU berhati-hati lantaran pernyataannya bersumber dari keterangan saksi. Sementara itu, JPU mengatakan, ia hanya meminta agar Said menjawab sesuai konteks.
Ketua majelis hakim Wahyu Iman Santosa kemudian coba menengahi perdebatan itu. Ia menjelaskan, pertanyaan JPU berkaitan dengan makna ”hajar” secara kontekstual. ”Konteksnya, sebelum kata itu keluar, orang yang dibekali senjata dan sebagainya, kata tersebut apa maknanya?” kata Wahyu.
Meski demikian, Said tetap bersikeras untuk menjawabnya secara harfiah. ”Saya sudah menyampaikan tadi bahwa dalam KBBI, ’hajar’ itu tidak berarti menembak,” ucapnya.
Dalam KBBI, kata tersebut memiliki dua arti, yakni sebagai kata kerja yang artinya ’hantam’ dan sebagai kata benda serapan dari bahasa Arab yang artinya ’batu’.
Ini bukan pertama kalinya saksi yang meringankan Putri dan Sambo membahas soal penganjur dan makna kata ”hajar”. Pada sidang Selasa (27/12/2022), misalnya, ahli pidana Elwi Danil ditanya pertanggungjawaban pidana jika terjadi misinterpretasi antara pelaksana dan penganjur.
Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Andalas itu mengatakan, ketentuannya sudah diatur pada Pasal 55 KUHP Ayat 2 bahwa orang yang menggerakkan (penganjur) hanya bertanggung jawab atas apa yang diperintahkan dan akibatnya. Apabila yang digerakkan melebihi yang diperintahkan, orang yang digerakkan ini yang bertanggung jawab.
”Apabila orang yang menggerakkan mengatakan ’hajar’, tetapi yang digerakkan justru malah menembak, bahkan penembakan berulang hingga menyebabkan kematian, sejauh mana pertanggungjawaban penggerak dan penembak?” tanya tim penasihat hukum Sambo dan Putri.
Berbeda dengan Said, Elwi berpendapat bahwa dirinya tidak memiliki kapasitas untuk menjawab itu lantaran berkaitan dengan makna kata. Untuk itu, kata Elwi, seharusnya yang dimintai keterangan adalah ahli bahasa. Sebab, perlu ada kejelasan tentang makna kata hajar tersebut. Terlebih, dalam kehidupan sehari-hari, kata hajar bisa dimaknai beragam.
”Pendapat saya, perlu ada pemahaman tentang hajar lebih dahulu. Apakah hajar artinya dipukul, ditembak, atau dianiaya. Ini harus minta keterangan ahli bahasa,” kata Elwi.
Pemeriksaan setempat
Majelis hakim mengagendakan pemeriksaan setempat (PS) untuk meninjau lokasi tempat kejadian perkara, baik di rumah Sambo di Duren Tiga maupun di Saguling, Rabu (4/1/2023). PS akan dilaksanakan sekitar pukul 14.00 setelah persidangan Ricky Rizal.
Wahyu Iman mengatakan, pelaksanaan PS merupakan permintaan dari tim penasihat hukum Sambo dan Putri. Karena tujuannya hanya untuk meninjau lokasi, maka kegiatan itu hanya perlu dihadiri oleh tim JPU dan penasihat hukum masing-masing terdakwa. Sementara terdakwa ataupun saksi tidak perlu dihadirkan.
”Ini kepentingannya hanya untuk mendapatkan gambaran situasi dan kondisi di sana, maka dari itu kita tidak butuh pembuktian. Pembuktian di persidangan,” kata Wahyu.
Adapun JPU khawatir kegiatan itu akan dipakai penasihat hukum untuk mengarahkan majelis hakim. Ia meminta majelis hakim memastikan kegiatan tersebut benar-benar hanya untuk melihat lokasi. Dengan begitu, tidak boleh ada pembuktian ataupun penghakiman saat meninjau lokasi.
”Kita sepakati di sana hanya melihat lokasi, setelah itu JPU menggunakannya pada tuntutannya, penasihat hukum menyimpulkan dalam pembelaannya, tidak ada pembuktian. Hanya lihat situasi dan kondisi. Nanti kita berdebat lagi di persidangan setelah melihatnya,” ujar Wahyu.