Saksi Ahli Soroti Kemungkinan Richard Eliezer Lepas dari Jerat Pidana
Ahli pidana Albert Aries dihadirkan sebagai saksi yang meringankan bagi Richard Eliezer. Juru bicara Rancangan KUHP itu menilai, orang yang diberi perintah jabatan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·5 menit baca
REBIYYAH SALASAH
Ahli pidana, Albert Aries, hadir dalam sidang perkara pembunuhan berencana Nofriansyah dengan terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (28/12/2022). Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini didatangkan tim penasihat hukum Richard Eliezer sebagai salah satu saksi yang meringankan (A de Charge).
JAKARTA, KOMPAS — Ahli pidana Albert Aries menyoroti kemungkinan Richard Eliezer Pudihang Lumiu lepas dari jerat pidana dalam kasus pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat. Merujuk pasal yang mengatur perintah jabatan dan pasal tentang penyertaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, orang yang diberi perintah untuk melakukan perbuatan pidana oleh atasannya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
”Seseorang yang melakukan kesalahan atau perbuatan pidana belum tentu bisa dimintai pertanggungjawaban pidana. Sementara itu, orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sudah pasti melakukan kesalahan atau perbuatan pidana,” kata Albert Aries saat memberikan keterangan dalam sidang perkara pembunuhan berencana Nofriansyah dengan terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (28/12/2022). Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti yang juga juru bicara rancangan KUHP itu didatangkan tim penasihat hukum Eliezer sebagai salah satu saksi yang meringankan (A de Charge).
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santosa, Albert Aries lebih dulu membahas soal Pasal 51 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang perintah jabatan. Pasal tersebut menyebutkan, ”Tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan suatu perbuatan pidana karena adanya perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa atau pejabat yang berwenang.”
Menurut dia, setidaknya ada dua unsur utama agar suatu perintah dapat dikategorikan sebagai perintah jabatan. Berdasarkan perluasan penafsiran oleh Mahkamah Agung (MA), selain harus adanya otoritas secara de jure dan de facto , perintah juga berkaitan dengan pengendalian efektif yang lahir dari hubungan hierarki kepemimpinan. Albert Aries mengatakan, ini biasanya dijumpai dalam dunia kemiliteran atau kepolisian.
”Namun, tidak semua perintah jabatan bisa membebaskan dari pertanggungjawaban pidana. Ada dua asas digunakan secara obyektif untuk menguji perintah jabatan: asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas,” ucapnya.
Asas proporsionalitas, kata Albert, menguji soal keadaan, cara, alat, serta sarana dan prasarana yang digunakan saat perintah diberikan dan dilaksanakan. Adapun asas subsidiaritas menguji pilihan yang diambil oleh penerima perintah. Dalam hal ini, Albert menjelaskan, penerima perintah sesungguhnya berada dalam keadaan terpaksa ketika menjalankan perintah lantaran menghadapi konflik. Di satu sisi, penerima perintah tidak boleh melakukan tindak pidana, dan di sisi lain, ada perintah jabatan yang harus ditaati dan dilaksanakan.
Untuk itu, asas subsidiaritas dipakai menguji pilihan penerima perintah. Dengan demikian, apa yang dinilai bukan kesalahan normatif deskriptif atau kesalahan yuridis, melainkan kesalahan psikologis. Penilaian kesalahan psikologis dilakukan dengan mengamati sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana. Albert menekankan, dalam kaitannya dengan perintah jabatan, orang pada umumnya akan menaati perintah ketimbang menaati norma yang berlaku.
Seseorang yang melakukan kesalahan atau perbuatan pidana belum tentu bisa dimintai pertanggungjawaban pidana.
”Apabila ada suatu peristiwa penembakan yang diperintahkan atasan, bagaimana kaitannya dengan penyertaan? Apakah pejabat atau petinggi yang memberi perintah kepada bawahannya dapat dikategorikan sebagai doenplager dalam penyertaan?” tanya Fredrik J Pinakunary, anggota tim penasihat hukum Eliezer.
Eliezer didakwa dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, subsider Pasal 338 KUHP tentang merampas nyawa orang lain, juncto Pasal 55 KUHP tentang penyertaan.
Albert mengatakan bahwa perintah jabatan dan penyertaan merupakan dua hal berbeda. Meski demikian, ia tak memungkiri adanya keterkaitan keduanya. Perintah jabatan berarti ada orang yang memerintah dan diberi perintah. Sementara itu, pernyertaan berarti ada empat kapasitas pelaku.
Empat kapasitas itu meliputi kapasitas diri sendiri atau pelaku (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doenpleger), orang yang turut serta bersama-sama melakukan (medepleger), dan orang yang menggerakkan (uitlokker). Adapun doenpleger setidaknya mengandung unsur manus domina atau orang yang menyuruh dan manus ministra atau orang yang disuruh.
REBIYYAH SALASAH
Richard Eliezer Pudihang Lumiu (kiri), terdakwa pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, bersama penasihat hukumnya, Ronny Talapessy, sesaat sebelum sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (28/12/2022).
Menurut Albert, kaitan perintah jabatan yang paling relevan dengan konteks penyertaan adalah doenpleger. Pasalnya, doenpleger pasti mengandung perintah atau instruksi serta pelaksanaan perintah tersebut. Orang yang melaksanakan perintah, kata Albert, tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila memenuhi kriteria tertentu. Dua di antaranya karena ada daya paksa dari luar (Pasal 48 KUHP) dan melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 KUHP). Terlebih, penerima perintah berada dalam situasi konflik internal yang mengharuskannya memilih antara menaati perintah dan melakukan tindak pidana.
”Di mata hukum, bagaimana kedudukan bawahan yang melakukan perintah atasannya untuk melakukan penembakan?” tanya anggota tim penasihat hukum Eliezer.
”Dalam Pasal 55 KUHP soal penyertaan, orang yang disuruh melakukan sesungguhnya tidak memiliki kesalahan, kesengajaan, dan kehendak untuk melakukan suatu tindak pidana,” jawab Albert.
”Kalau si bawahan hanya sebagai alat, apakah dia tidak dapat dituntut pertanggungjawaban pidana atau dapat dibebaskan pertanggungjawaban pidana?" tanya anggota tim penasihat hukum Eliezer.
”Karena yang disuruh ini tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dan tidak ada kesalahan di dalamnya, maka qui mandat ipse fecisse videtur, yang artinya siapa pun yang memerintah dianggap telah melakukannya sendiri,” ujar Albert.
REBIYYAH SALASAH
Para penggemar berusaha mengambil foto Richard Eliezer Pudihang Lumiu (kiri), terdakwa pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat, seusai sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (28/12/2022).
Jaksa penuntut umum (JPU) kemudian mempertanyakan apakah perintah di luar kedinasan juga masuk ke dalam perintah jabatan sebagaimana dibahas Pasal 51 KUHP. JPU memberi contoh seorang polisi yang diminta atasannya untuk memukul atau membunuh orang lain.
Albert mengatakan, pembentuk UU tidak menentukan perbuatan apa yang masuk ke dalam konteks perintah jabatan. Namun, perluasan penafsiran dari Mahkamah Agung akan membantu memahami soal perbuatan dan kaitannya dengan perintah jabatan.
Ia menilai, pengendalian efektif yang lahir dari hubungan hierarki kepemimpinan akan selalu melekat kepada orang-orang yang berasal dari kemiliteran maupun kepolisian. Dengan demikian, sulit bagi bawahan untuk mengabaikan atau menolak perintah. Ajudan, misalnya, kerap menunjukkan hubungan baik secara de facto atau sehari-hari maupun de jure atau kedinasan dengan atasannya.
”Terlebih, ada jargon seperti ’siap, laksanakan' yang mungkin menentukan sehingga membawa pada sikap determinisme atau kehendak seseorang tidak ditentukan sendiri melainkan bergantung pada lingkungan,” ucapnya.