Motif Pembunuhan Brigadir J Perlu Diungkap untuk Buktikan Kesengajaan
Ahli pidana Elwi Danil dihadirkan sebagai saksi yang meringankan bagi Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi. Dia menilai, motif perlu diungkap karena melahirkan kehendak.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ahli pidana Elwi Danil yang dihadirkan tim penasihat hukum Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi menilai bahwa motif perlu diungkap untuk membuktikan kesengajaan seseorang dalam pembunuhan berencana. Kendati bukan inti delik, motif merupakan latar belakang orang melakukan tindak pidana dan dapat menentukan hukuman pelaku.
Hal itu disampaikan Elwi dalam sidang perkara pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat dengan terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (27/12/2022). Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Andalas ini didatangkan sebagai saksi yang meringankan (a de charge) kedua terdakwa.
Dalam sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Wahyu Iman Santosa itu, pembahasan tentang motif muncul setelah Elwi lebih dulu menjelaskan tentang ketiadaan penjelasan makna dari frasa ”dengan rencana terlebih dahulu” dalam Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur klausul pembunuhan berencana.
Seperti diketahui, Sambo dan Putri didakwa dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, subsider Pasal 338 KUHP tentang merampas nyawa orang lain, juncto Pasal 55 KUHP tentang penyertaan.
Kendati tak ada penjelasan dalam pasal, kata Elwi, teori dan pendapat ahli terkemuka serta putusan pengadilan yang telah menjadi yurisprudensi mengungkapkan setidaknya ada tiga unsur agar suatu perbuatan pidana bisa disebut ”dengan rencana terlebih dahulu”.
Pertama, kehendak melakukan perbuatan harus diputuskan dalam suasana tenang. Kedua, antara timbulnya kehendak dan pelaksanaan perbuatan harus ada waktu yang cukup untuk merenungkan dan mempertimbangkan keputusan tersebut. Terakhir, pelaksanaan kehendak harus dilakukan dalam suasana tenang.
”Keadaan tenang ini menjadi kata kunci. Apakah untuk memahaminya perlu mengetahui motif? Apakah kemudian motif tersebut menjadi bagian penting dalam keadaan tenang?” kata Rasamala Aritonang, salah satu tim penasihat hukum Sambo dan Putri.
Elwi mengungkapkan, motif merupakan latar belakang seseorang melakukan tindak pidana. Sampai saat ini, masih ada perbedaan pandangan mengenai pentingnya mengungkap motif. Ada yang mengatakan motif tidak relevan dan tidak perlu diungkap, tetapi ada pula mengatakan pengungkapkan motif itu diperlukan.
”Menurut pendapat saya, motif adalah satu hal yang perlu diungkap karena motif akan melahirkan kehendak. Kehendak akan melahirkan kesengajaan. Kenapa? Karena motif bukan delik inti, unsur sengaja yang menjadi delik inti,” kata Elwi.
Kesengajaan, kata Elwi, bukan suatu hal yang ada begitu saja, melainkan dilatarbelakangi sesuatu. Untuk itu, dalam konteks pembuktian dalam unsur kesengajaan, pengungkapan motif menjadi relevan.
Motif adalah satu hal yang perlu diungkap karena motif akan melahirkan kehendak. Kehendak akan melahirkan kesengajaan. Kenapa? Karena motif bukan delik inti, unsur sengaja yang menjadi delik inti.
Muncul perdebatan antara tim penasihat hukum Sambo-Putri dan jaksa penuntut umum (JPU). Sebab, tim penasihat hukum mengajukan pertanyaan kepada ahli pidana dengan pengandaian. ”Lantas, bagaimana jika jaksa penuntut umum gagal membuktikan motif?” kata Febri, anggota tim penasihat hukum Sambo dan Putri.
Menurut JPU, pertanyaan tersebut seolah menyimpulkan bahwa JPU gagal membuktikan motif dan penasihat hukum mencoba membentuk opini. Namun, ketua majelis hakim mempersilakan penasihat hukum menanyakan hal itu dan ahli pidana menjawabnya.
”Motif bukan inti delik. Artinya, secara mandiri atau terpisah, motif tidak perlu dibuktikan. Namun, adalah satu hal yang tidak masuk akal ketika kita harus membuktikan unsur kesengajaan tanpa melihat pada motif. Motif jadi satu hal penting untuk membuktikan kesengajaan,” ujar Elwi.
Seandainya JPU tidak mampu membuktikan motif, kata Elwi, berarti mereka tidak mampu membuktikan unsur kesengajaannya.
Elwi juga menilai, motif bisa menentukan berat atau ringannya hukuman pelaku. Ia mengutip ilustrasi yang dibuat oleh Guru Besar Ilhum Hukum Universitas Hasanuddin Achmad Ali. Dalam ilustrasi itu, terdapat tiga orang berbeda yang sama-sama melakukan tindak pidana pencurian ayam.
Namun, terdapat disparitas hukuman antara ketiga pelaku itu. Orang pertama atau si A dihukum penjara 3 bulan, si B dipenjara 6 bulan, sedangkan si C dihukum 9 bulan penjara. ”Dikatakan oleh Prof Ahmad Ali, yang membedakan motifnya, si A dijatuhi hukuman selama 3 bulan karena motifnya untuk membeli obat bagi anaknya yang sedang sakit,” tutur Elwi.
Sementara itu, motif si B adalah karena berjanji memenuhi keinginan pacarnya kendati tidak memiliki uang. Adapun si C mencuri karena kecanduan narkotika. ”Jadi, dari ilustrasi kasus ini, bagi saya motif sangat bermanfaat untuk berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan,” ujarnya.
Meski demikian, Elwi kembali menekankan bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang penting tidaknya pengungkapan motif. Perbedaan tersebut pun dianggapnya sebagai sesuatu yang lazim.
Makna kata hajar
Dalam kesempatan serupa, tim penasihat hukum menanyakan tentang Pasal 55 KUHP tentang penyertaan. Mereka menanyakan apabila terjadi kesalahpahaman atau misinterpretasi antara orang yang menggerakkan atau pelaku intelektual dengan orang yang digerakkan atau pelaku materiil.
”Itu, kan, ada ketentuannya pada Pasal 55 KUHP Ayat (2) bahwa orang yang menggerakkan hanya bertanggung jawab atas apa yang diperintahkan dan akibatnya. Apabila yang digerakkan melebihi yang diperintahkan, orang yang digerakkan ini yang bertanggung jawab,” tutur Elwi.
”Apabila orang yang menggerakkan mengatakan ’hajar’, tetapi yang digerakkan justru malah menembak, bahkan penembakan berulang hingga menyebabkan kematian, sejauh mana pertanggungjawaban penggerak dan penembak?”
Menurut Elwi, apabila ilustrasinya demikian, seharusnya yang dimintai keterangan adalah ahli bahasa. Sebab, perlu ada kejelasan tentang makna kata hajar tersebut. Terlebih, dalam kehidupan sehari-hari, kata hajar bisa dimaknai beragam.
”Pendapat saya, perlu ada pemahaman tentang hajar lebih dahulu. Apakah hajar artinya dipukul, ditembak, atau dianiaya. Ini harus minta keterangan ahli bahasa,” kata Elwi.