Secara pribadi, Kapolri minta maaf atas kinerja dan perilaku anggotanya yang mencoreng marwah institusi Polri. Untuk itu, pihaknya akan mengusut tuntas tiga kasus yang membuat kepercayaan publik merosot terhadap Polri.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang tahun 2022, Kepolisian Negara Republik Indonesia diterpa kasus besar yang menggerus citra dan kepercayaan publik. Tiga kasus besar itu adalah pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat yang melibatkan bekas perwira Polri Ferdy Sambo, tragedi Kanjuruhan, dan perwira tinggi Polri yang terlibat kasus narkoba. Pengamat kepolisian berharap kasus-kasus tersebut dapat segera dituntaskan di awal tahun 2023 sebelum Polri fokus pada pengamanan pemilu.
Dalam acara Rilis Akhir Tahun 2022 di Mabes Polri, Sabtu (31/12/2022), Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan, Polri sempat mendapatkan penilaian kepercayaan publik yang baik pada November 2021. Melalui kebijakan transformasi menuju Polri yang Presisi pada November 2021, tingkat kepercayaan publik terhadap korps Bhayangkara mencapai 80,2 persen.
Namun, pasca kasus pembunuhan Nofriansyah di rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, dan kasus penyalahgunaan barang bukti narkoba yang melibatkan mantan Kapolda Sumatra Barat Inspektur Jenderal Teddy Minahasa, kepercayaan publik terhadap Polri merosot tajam menjadi 53 persen pada Oktober 2022.
Penurunan citra Polri itu juga terekam dalam hasil survei Litbang Kompas. Citra publik terhadap Polri tertinggi terjadi pada April 2021 dengan angka 78,7 persen. Pada Oktober 2021, walaupun angkanya turun, citra Polri masih hijau di angka 77,5 persen. Kemudian, secara bertahap, citra Polri anjlok hingga posisi terendah pada Oktober 2022 di angka 48,5 persen.
”Kasus FS (Ferdy Sambo) atau penembakan Duren Tiga, kasus Kanjuruhan, dan kasus narkoba yang melibatkan petinggi Polri terlibat ini menjadi peristiwa yang menjadi pukulan bagi institusi kami,” ujar Listyo di hadapan tamu undangan.
Secara pribadi, Listyo pun meminta maaf atas kinerja, pelayanan, dan perilaku buruk dari anggota Polri yang mencoreng marwah institusinya. Polri terus mengusut tuntas ketiga kasus tersebut. Untuk kasus Duren Tiga, baik perkara penembakan maupun penghalang-halangan penyidikan (obstruction of justice) semua sudah masuk tahap persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sebanyak tujuh anggota dan eks anggota Polri menjadi tersangka, yaitu Bekas Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo, Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Arif Rahman, Baiquni Wibowo, Chuck Putranto, dan Irfan Widianto. Ketujuhnya juga sudah disidang etik dan profesi Polri dan mendapatkan sanksi sesuai dengan derajat kesalahannya.
Secara pribadi, Listyo pun meminta maaf atas kinerja, pelayanan, dan perilaku buruk dari anggota Polri yang mencoreng marwah institusinya.
Untuk kasus narkoba yang melibatkan perwira tinggi Polri, yaitu mantan Kapolda Sumbar Teddy Minahasa, sudah ada 10 orang ditetapkan sebagai tersangka. Lima di antaranya adalah personel Polri. Sementara lima lainnya adalah warga masyarakat. Menurut Listyo, para tersangka dijerat dengan Pasal 114 Ayat (2) subsider Pasal 112 Ayat (2) juncto Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juncto Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
”Perkembangan perkaranya sekarang sudah P-21 (berkas lengkap) dan segera dilimpahkan ke kejaksaan,” katanya.
Adapun untuk tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, yang mengakibatkan 135 orang korban meninggal dunia dan 660 korban luka-luka, hingga saat ini Polri sudah menetapkan enam tersangka, yaitu Direktur PT Liga Indonesia Baru (LIB), Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan, petugas keamanan, Kepala Bagian Operasi Polres Malang, Komandan Kompi Brimob, dan Kepala Satuan Samapta Polres Malang. Berkas lima tersangka sudah dilimpahkan ke jaksa penuntut umum. Satu lagi masih dalam proses pemenuhan berkas perkara. Selain itu, sebanyak 20 anggota Polri diproses dalam dugaan pelanggaran kode etik dan profesi Polri.
”Ada pula tekanan agar (kasus Kanjuruhan) ini diproses terkait pidana (pembunuhan dan pembunuhan berencana). Dan, kami membuka ruang untuk itu. Beberapa waktu lalu telah dilaksanakan gelar perkara dengan menghadirkan ahli pidana. Meski demikian, terhadap penambahan Pasal 340 ataupun Pasal 338, berdasarkan keterangan para ahli, tidak bisa dipenuhi sehingga kami menindaklanjuti apa yang menjadi petunjuk dan temuan-temuan tersebut,” ucapnya.
Pascakejadian itu, Polri juga menyusun perbaikan manajemen pengamanan sepak bola. Manajemen pengamanan sepak bola, baik prakegiatan, kegiatan, maupun pascakegiatan, melalui pembuatan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2022 tentang Pengamanan Penyelenggaraan Kompetisi Olahraga, dengan melibatkan pihak eksternal, baik Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Sekretaris Kabinet, maupun Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto berpendapat, tidak hanya tiga kasus besar yang menyita perhatian publik itu yang harus segera dituntaskan oleh Kapolri. Masih ada kasus lain, yaitu spekulasi konsorsium 303 atau judi online di internal kepolisian, serta dugaan suap dalam perizinan tambang ilegal di Kalimantan Timur. Jika kasus-kasus tersebut tidak dituntaskan sejelas-jelasnya dan setransparan mungkin, sulit rasanya bagi Kapolri untuk memulihkan kepercayaan masyarakat seperti sebelum ada kasus Sambo.
”2023 nanti, tantangan Polri akan semakin berat menjelang tahun politik. Februari 2024 sudah pemilu, artinya semester kedua 2023 sudah mulai kampanye. Makanya, idealnya dalam waktu maksimal semester awal 2023, semuanya sudah harus tuntas,” katanya.
Tidak hanya tiga kasus besar yang menyita perhatian publik itu yang harus segera dituntaskan oleh Kapolri. Masih ada kasus lain, yaitu spekulasi konsorsium 303 atau judi online di internal kepolisian.
Semua pekerjaan rumah penuntasan perkara itu sudah harus tuntas maksimal awal semester 2023 karena supaya Polri bisa fokus pada pengamanan pemilu. Untuk bisa berfokus pada pengamanan pemilu, Polri harus mengembalikan citra dan kepercayaan publik. Sebab, jika kepercayaan publik itu tidak dipulihkan, kepolisian bisa dianggap dalam posisi tidak netral.
Menurut dia, Polri bisa dianggap tidak netral karena Sambo masuk dalam Satgas Khusus Merah Putih yang dinilai berperan dalam Pemilu 2019. Jika kasus-kasus tersebut tidak dituntaskan dan dijelaskan, itu bisa berdampak pada netralitas polri di isu pemilu.
Bambang juga mengimbau kepada Polri agar tidak khawatir bahwa penuntasan kasus-kasus yang melibatkan internal itu akan mengganggu soliditas Polri. Kapolri harus tegas lurus membangun Polri menjadi lebih baik. Jangan sampai Polri justru solid berupaya menutup-nutupi kasus yang akhirnya bisa menjadi bom waktu dan memicu masalah di kemudian hari.
Soliditas Polri seharusnya dibangun dengan semangat membersihkan Polri dari anasir-anasir negatif saling menutupi kesalahan. Selama ini, katanya, dimensi permasalahan di Polri banyak terkait dengan menutupi kesalahan internal, baik itu di kasus Sambo, kasus Ismail Bolong, maupun peredaran narkoba.
”Kalau tidak dituntaskan, justru akan menjadi beban tersendiri dalam pengamanan pemilu nanti,” ucap Bambang.
Terkait dengan upaya pencegahan yang dilakukan oleh Kapolri, Bambang mengatakan, upaya memperkuat pengawasan eksternal dengan membuat nota kesepahaman dengan Kompolnas, Komnas HAM, dan instansi terkait cukup bagus. Namun, baginya, yang paling penting adalah pengawasan internal. Polri harus bisa melakukan perubahan struktural dan instrumental untuk menjadi lembaga yang lebih baik dan dipercayai masyarakat. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, mereka diberi kewenangan untuk melakukan perubahan struktural, instrumental, dan kultural di internal kepolisian.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari yang hadir dalam acara refleksi akhir tahun Polri itu mengatakan, polisi adalah sipil yang memakai seragam dan dipersenjatai. Semboyan Polri adalah melayani, melindungi masyarakat, tetapi juga menjadi alat penegak hukum. Menurut dia, itu merupakan perkara yang tidak mudah. Apalagi, polisi adalah wajah hukum terdepan yang langsung berhadapan dengan masyarakat.
”Keteladanan menjadi penting karena dengan polisi menjadi teladan, orang akan tunduk pada hukum. Polisi juga merupakan wajah hukum sehari-hari yang berhubungan dengan masyarakat,” kata Hasyim.
Hasyim menambahkan, karena menjadi garda terdepan penegakan hukum, Polr harus meningkatkan kapasitas pendidikan. Anggota Polri juga harus memiliki kekuatan intelektualitas agar bisa menjadi teladan atau panutan bagi masyarakat.