Pengamat: Penanganan Kasus Tragedi Kanjuruhan Mengulang Kasus Sambo
Penanganan Tragedi Kanjuruhan oleh polisi dinilai mengulang penanganan kasus Sambo. Terdapat sejumlah kejanggalan dan hal yang dipaksakan. Hal ini dinilai kian meremukkan citra polisi dan mencederai kepercayaan rakyat.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Penanganan Tragedi Kanjuruhan oleh polisi dinilai mengulang penanganan kasus Sambo. Terdapat sejumlah kejanggalan dan hal yang dipaksakan. Hal ini dinilai semakin meremukkan citra polisi dan mencederai kepercayaan rakyat.
Demikian dikatakan pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto, Rabu (19/10/2022). Menurut dia, tampak beberapa kejanggalan yang membuat penanganan kasus Tragedi Kanjuruhan mengulang kasus Sambo.
Dalam penanganan awal kasus Sambo ada upaya penghapusan CCTV. Dalam penanganan kasus Tragedi Kanjuruhan pun, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan menemukan adanya rekaman CCTV yang juga diduga dihapus.
”Kejanggalan lain adalah rekonstruksi dilakukan di Polda Jatim pada Rabu (19/10/2022) ini. Kenapa tidak di Polres Malang yang dekat dengan stadion? Kenapa harus membuat saksi yang mungkin juga korban tragedi itu bersusah payah harus datang ke Mapolda Jatim di Surabaya? Itu memberatkan,” kata Bambang.
Rekonstruksi, menurut Bambang, bertujuan mencari penggambaran bagaimana tragedi itu terjadi. Termasuk mencari penggambaran bagaimana gas air mata yang ditembakkan bisa membuat kepanikan, bagaimana sudut tembakan, dan lainnya. Ada suasana atau fakta yang tak bisa digantikan dengan mengubah lokasi rekonstruksi dari Stadion Kanjuruhan ke lapangan Polda Jatim. Misalnya, arah angin dan konstruksi bangunan stadion.
”Rekonstruksi harusnya bisa di lokasi dan kalaupun dilakukan pemeriksaan, pun pemeriksaan tidak harus di polda, tapi di polres. Kenapa harus merepotkan saksi, korban, dan ahli waris korban. Di Polres terdekat bisa. Makanya, kalau upayanya seperti itu, akhirnya persepsi publik seolah-olah polisi mengada-ada atau melakukan intervensi atau pengondisian pada saksi,” kata Bambang.
Ini sangat kontraproduktif dengan upaya memperbaiki citra Polri. Sebab, sejak awal statemen sudah blunder. Ditambah dengan sejumlah kejanggalan, makin membuat nama Polri hancur dan mencederai kepercayaan rakyat.
Model rekonstruksi tidak di lokasi kejadian pun mirip dengan dugaan kasus pelecehan seksual dalam kasus Sambo, yakni dilakukan di lokasi lain dan tanpa saksi. Tersangka pun sama, yakni para prajurit. Dalam Tragedi Kanjuruhan ini mereka juga berperan sebagai pelaksana lapangan.
”Sampai sekarang polisi belum menyampaikan siapa bertanggung jawab atas tragedi itu. Itu paling penting sebenarnya. Dalam event besar pasti ada penanggung jawabnya. Baik penanggung jawab keamanan maupun event. Dan, merekalah yang harus ikut bertanggung jawab selain pelaksana di lapangan yang terbukti di lapangan. Misal, kapolres dan kapolda,” katanya.
Kepala Polres Malang dan Kepala Polda Jatim, menurut Bambang, adalah penanggung jawab keamanan dan ketertiban di Jatim. Namun, mereka justru dimutasi dan sampai sekarang belum dimintai pertanggungjawaban. Harusnya keduanya turut diperiksa untuk kasus pidana.
Dengan berbagai kejanggalan itu, Bambang melihat, hal itu justru kontraproduktif dengan upaya Polri untuk memperbaiki citra. ”Ini sangat kontraproduktif dengan upaya memperbaiki citra Polri. Sebab, sejak awal statemen sudah blunder. Ditambah dengan sejumlah kejanggalan, makin membuat nama Polri hancur dan mencederai kepercayaan rakyat,” katanya.
Evaluasi
Selain menyoroti kinerja Polri, Bambang juga berharap ada evaluasi dan perbaikan dalam sistem advokasi Aremania. Jika tidak, langkah mereka akan selalu tertinggal. Misalnya, tim kecolongan saat keluarga korban mulai membatalkan izin otopsi setelah diduga berkali-kali didatangi oknum aparat penegak hukum.
”Untuk mencegah polisi berhubungan langsung dengan keluarga korban, seharusnya polisi cukup berkomunikasi dengan pengacara korban. Yang jadi masalah adalah apakah tim pengacara korban apa sudah punya legal standing selaku kuasa untuk para korban? Itu juga jadi pertanyaan. Semua perlu pendampingan. Sebanyak 133 orang meninggal itu jumlahnya tidak sedikit, dan semua punya hak yang sama. Butuh usaha keras untuk mendampingi satu per satu keluarga mereka,” kata Bambang.
Untuk memperkuat pendampingan, menurut dia, tim bisa didukung pihak-pihak lain. ”Jika dimungkinkan, ada back up untuk Tim Aremania Menggugat (Tim Gabungan Aremania). Mereka bisa meminta bantuan LBH, akademisi, atau pihak lain yang dapat mendukung. Sebab, melawan institusi besar yang terkoordinasi baik harus diimbangi pola kerja dan koordinasi yang tidak jauh berbeda agar tidak ketinggalan,” katanya.
Adapun tim hukum Tim Gabungan Aremania (TGA) Anjar Nawan Yusky mengatakan, timnya akan terus berusaha mendampingi seluruh korban. Ia juga akan terus mengupayakan agar otopsi tetap bisa berjalan. Sebab, hasil otopsi diharapkan memunculkan bukti atau fakta baru atas banyaknya korban meninggal dalam tragedi Kanjuruhan. Sebelumnya diberitakan bahwa keluarga korban mencabut izin otopsi karena merasa tertekan.
”Kami akan tetap mengusahakan agar otopsi bisa dilakukan. Memang semua akan takut karena ada pihak-pihak yang membuat keluarga korban merasa tertekan. Kami akan berupaya,” katanya.