Menakar Ancaman Teror
Beberapa tahun terakhir, teror bom terbilang melandai. Tetapi, ancaman teror tidak pernah surut. Bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar jadi alarm. Kelompok radikal pun terus bergerak, menyebarkan narasi antipemerintah.
Teror bom bunuh diri di Kepolisian Sektor Astanaanyar, Bandung, Jawa Barat, membangunkan kembali kewaspadaan bahwa ancaman teror tetap membayangi meskipun beberapa tahun belakangan ini ancaman teror bom terbilang melandai. Kewaspadaan semakin perlu ditingkatkan karena pelaku bom bunuh diri yang terakhir itu adalah narapidana terorisme. Ia pun diketahui terafiliasi dengan kelompok radikal, Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Sementara itu, sejumlah kelompok radikal pun kian beradaptasi dengan situasi dan segala keterbatasan. Salah satu upaya yang mereka lakukan adalah dengan mengubah pola gerakan.
Apel pagi yang sedang berlangsung di kantor Polsek Astanaanyar, Kota Bandung, awal Desember 2022, menjadi sasaran Agus Sujarno. Dalam aksi bom bunuh diri tersebut, Agus tewas. Terpidana terorisme yang bebas pada Oktober 2021 itu teridentifikasi sebagai pelaku bom bunuh diri tersebut. Akibat teror itu, seorang anggota kepolisian gugur dan sembilan anggota kepolisian lainnya dan satu warga terluka.
Saat melancarkan aksi, Agus membawa sepeda motor biru dengan menyematkan tulisan menolak RKHUP. Tulisan itu diduga menjadi motif pelaku. Namun, apa pun itu, peristiwa tersebut menjadi tanda bahwa ancaman terorisme masih ada.
Arif Budi Setyawan, mantan narapidana terorisme yang sekarang menjadi kontributor ruangobrol.id, berpandangan, pelaku aksi bom bunuh diri di kantor Polsek Astanaanyar jelas berasal dari kelompok JAD. Sebab, kelompok tersebut memang menjadikan kantor polisi dan tempat ibadah sebagai target sekaligus untuk menunjukkan eksistensi mereka.
Berbeda dari JAD, lanjut Arif, kelompok Jamaah Islamiyah (JI) saat ini lebih banyak melakukan persiapan untuk jangka panjang, seperti melakukan perekrutan anggota, melakukan pelatihan, hingga menyimpan senjata. Untuk melaksanakan aksi, saat ini Indonesia tidak dijadikan target karena dianggap sebagai negara damai. Untuk menambah pengalaman, JI saat ini mengirimkan kadernya ke negara yang tengah berkonflik, seperti Suriah.
”Untuk jangka pendek, ancaman yang membahayakan dan bersifat sporadis itu berasal dari JAD yang berafiliasi dengan ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah/NIIS). Sebab, aksi semacam itu merupakan sarana pembuktian loyalitas mereka,” kata Arif, Minggu (25/12/2022).
Baca juga: Waspadai Serangan Teroris di Tahun Politik
Untuk kelompok JI, kata Arif, meski dalam jangka pendek mereka tidak menjadikan Indonesia sebagai target aksi teror, pandangan dan pemahaman mereka tetap akan mengganggu nilai-nilai kebangsaan yang dianut bangsa Indonesia.
Di sisi lain, JI sebagai sebuah organisasi diduga masih terus melakukan gerakan. Hal itu tampak dari sebagian besar terduga teroris dari kelompok JI yang ditangkap akhir-akhir ini bertugas di bagian perekrutan dan pengaderan. Pada awal Desember 2022, contohnya, 11 terduga teroris dari kelompok JI ditangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri di Sumatera Utara.
Dari tangkapan itu, menurut Arif, ancaman teror akan tetap ada meski aksi seperti bom bunuh diri kemungkinan akan menurun. Tidak hanya karena banyak terduga teroris yang ditangkap, tetapi juga mencari sumber pendanaan untuk aksi teror di situasi ekonomi yang sulit seperti saat ini juga tidak mudah. Hal itu sejalan dengan Data Global Terrorism Database yang mencatat, insiden terorisme di Indonesia, termasuk kejadian yang terjadi di Papua, cenderung menurun. Pada 2018 terdapat 43 kejadian, pada 2019 terdapat 26 kejadian, serta pada 2020 terdapat 19 kejadian.
Meski kejadian teror menurun, menurut Arif, penyebaran narasi anti-pemerintah, khususnya melalui media sosial, diperkirakan akan terus meningkat.
Meski kejadian teror menurun, menurut Arif, penyebaran narasi anti-pemerintah, khususnya melalui media sosial, diperkirakan akan terus meningkat. Bagi anggota kelompok JAD, penyebaran narasi semacam itu menjadi bukti minimal agar tetap diakui sebagai anggota kelompok yang mudah dilakukan. ”Kalau diblokir, mereka bisa membuat akun baru dengan mudah,” ujar Arif.
Sepanjang 2021, lebih dari 600 situs yang berpotensi radikal telah dihapus Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Situs tersebut dihapus karena memuat konten propaganda dengan rincian informasi serangan (409), anti-Negara Kesatuan Republik Indonesia (147), anti-Pancasila (85), intoleran (7), dan takfiri (2). Selain itu, juga terdapat konten mengenai pendanaan dan pelatihan terorisme.
Teroris ”abu-abu”
Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail menilai, teroris dan terorisme, khususnya dari kelompok JI, akan semakin ”abu-abu” di masa mendatang. Sebab, meski di satu sisi merupakan organisasi teror, di sisi lain JI juga dapat melakukan hal atau kegiatan yang bermanfaat bagi anggota dan simpatisannya, semisal dengan mendirikan sekolah dan menjalankan pelayanan kesehatan.
Dari sisi keanggotaan, pekerjaan anggota JI juga variatif, seperti pengusaha, dokter, dosen, hingga aparatur sipil negara (ASN). Banyak anggota JI juga berasal dari kalangan berpendidikan dan mereka hidup sebagaimana masyarakat pada umumnya.
Meski dalam jangka pendek JI tampak tidak berbahaya, mereka tetap mengancam eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia karena mereka tetap berkeinginan untuk mengganti sistem negara ini. ”Inilah yang disebut neo-JI. Mereka itu bermain narasi,” kata Huda.
Baca juga: Ulama Perempuan Berperan Mencegah Ekstremisme
Menurut Huda, ancaman berikutnya adalah teroris ”abu-abu” yang datang dari dunia maya. Mereka adalah individu yang menerima paparan paham radikal, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, dari internet. Dengan didukung algoritma di internet, seseorang bisa semakin dalam mempelajari paham radikal dan terorisme. Mereka juga bisa melakukan baiat secara pribadi dan menjalankan aksi teror untuk membuktikan komitmennya.
Ancaman dari teroris yang demikian, kata Huda, sulit diberantas. Sebab, keberadaan dan rencana mereka sulit diprediksi dan dipantau. Pelacakan terhadap sumber pendanaan mereka juga sulit dilakukan karena mereka akan mendanai aksinya sendiri.
Pendanaan jaringan teror
Menurut Huda, jaringan teror tidak akan berjalan tanpa adanya dana. Ia mencontohkan, pelaku bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar kemungkinan mendanai aksinya secara mandiri. Akibatnya, aksi tersebut menjadi lebih sulit terendus.
Huda, dalam bukunya, Narasi Mematikan, Pendanaan Teror di Indonesia (2022), mengidentifikasi empat sumber pendanaan. Pertama adalah melalui korporasi atau perusahaan yang dijadikan wajah formal gerakan terorisme. Berikutnya adalah menggabungkan bisnis narkotik dan terorisme atau narcoterrorism. Selain itu, pendanaan terorisme juga bisa berasal dari aset virtual, seperti cryptocurrency, hingga menyalahgunakan pinjaman daring.
Sumber pendanaan lainnya adalah pengumpulan dana masyarakat, baik secara daring maupun luring. Sebab, dengan narasi yang tepat, masyarakat akan dengan mudah memberikan sumbangan. Terlebih World Giving Index mencatat Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia sejak 2018.
Mereka memanfaatkan berbagai platform atau lembaga amal untuk menjaga ketahanan finansial. Mengutip Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), pada 2022 tercatat ada 21 organisasi nonprofit atau lembaga filantropi yang terdeteksi melakukan aktivitas pendanaan yang terkait dengan jaringan teror, baik dari ”dana halal” atau sumber sah maupun ”dana haram” atau sumber tidak sah.
Baca juga: Menjaga Kaum Muda dari Incaran Ekstremisme Agama
Selama ini, menurut Huda, jaringan teror akan selalu mencoba beradaptasi dengan situasi atau keterbatasan yang ada. Terkait dengan pendanaan jaringan teror, kemungkinan penggunaan harta pribadi akan ditingkatkan karena sulit dilacak. ”Maka, kelompok teror akan menguatkan anggotanya untuk mau berjuang di jalan mereka denganmengorbankan harta pribadi mereka sendiri,” kata Huda.
Kewaspadaan dan kepekaan masyarakat diharapkan akan menjadi daya tangkal masyarakat dalam menolak ideologi yang berbasis kekerasan.
Terkait masih adanya ancaman teror tersebut, Kepala BNPT Boy Rafli Amar mengatakan bahwa kuncinya ada pada masyarakat. Untuk itu, ia meminta masyarakat waspada, khususnya terhadap individu atau kelompok intoleran dan radikal yang masuk ke sebuah lingkungan masyarakat. Sebab, individu atau kelompok semacam itu bisa memengaruhi masyarakat. ”Kewaspadaan dan kepekaan masyarakat diharapkan akan menjadi daya tangkal masyarakat dalam menolak ideologi yang berbasis kekerasan tersebut,” kata Boy Rafli.
Boy Rafli memastikan aparat penegak hukum juga tetap waspada terhadap potensi dan ancaman teror. Meski demikian, keterlibatan masyarakat akan memperkuat pertahanan semesta dalam menghadapi penetrasi nilai-nilai ideologi radikal terorisme yang merupakan ideologi transnasional.