Kongres Ulama Perempuan Indonesia akan menggelar kongres kedua. Kongres ini akan membahas berbagai isu perempuan, terutama soal ekstremisme.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·4 menit baca
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Spanduk penolakan terhadap paham radikalisme terpampang di pinggir Jalan Pos Pengumben, Jakarta Barat, Senin (4/9). Pencegahan terhadap penyebaran paham-paham radikalisme harus dilakukan secara bersama-sama dan melibatkan berbagai pihak termasuk warga masyarakat sendiri.
JAKARTA, KOMPAS — Paham ekstremisme yang mengancam kebinekaan di Indonesia telah masuk ke segala aspek kehidupan hingga ke dalam satuan pendidikan dan keluarga. Untuk menangkal bermunculannya ekstremisme, peran ulama perempuan di masyarakat perlu diperkuat.
Hal ini menjadi salah satu topik utama yang akan dibahas dalam Kongres Kedua Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Adapun KUPI merupakan gerakan yang mendasarkan pada visi Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, termasuk perempuan. Rencananya KUPI akan menggelar kongres pada 23-26 November 2022 di Semarang dan Jepara, Jawa Tengah.
Terdapat 22 isu yang akan dibahas. Dari puluhan isu itu, lima di antaranya peran perempuan merawat bangsa dari ekstremisme, pengolahan sampah rumah tangga untuk keberlanjutan lingkungan, perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan, perlindungan jiwa perempuan dari kehamilan akibat pemerkosaan, serta proteksi perempuan dari bahaya pemotongan dan perlukaan genitalia perempuan.
Panitia Kongres Ke-2 KUPI, Vera, mengatakan, isu ekstremisme sangat dekat dengan ulama perempuan. KUPI berupaya memperkuat peran ulama perempuan untuk memberikan pemahaman terkait persoalan ideologi yang kerap digunakan kelompok ekstrem.
”Temuan kami, ideologi ekstremisme sudah masuk di sekolah melalui guru-guru, salah satunya guru agama yang menjadi pembina rohis. Di situlah salah satu pintu ideologi ekstremisme masuk ke sekolah,” kata Vera saat berkunjung ke Redaksi Harian Kompas di Jakarta, Senin (24/10/2022) sore.
MIS FRANSISKA DEWI
Panitia dan pegiat Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) saat berkunjung ke Redaksi Harian Kompas di Jakarta, Senin (24/10/2022). Jajaran pegiat KUPI diteriam Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Tri Agung Kristanto dan tim redaksi.
Vera menambahkan, paham ekstremisme telah masuk ke berbagai ranah kehidupan, termasuk ke sejumlah sekolah di Indonesia. Untuk itu, KUPI turut ambil bagian dalam upaya menangkal radikalisme melalui sosialisasi pendidikan bagi para guru agar para siswa tak terpapar ideologi ekstremisme di sekolah.
Di SMA negeri dan SMK di Kabupaten Cirebon dan Sukoharjo, misalnya, KUPI melalukan sosialisasi pendidikan untuk menangkal ekstremisme dengan melibatkan para guru, di antaranya guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Sejarah. Pendidikan ini dilakukan untuk melindungi para siswa agar tidak terpapar ideologi ekstremisme di sekolah.
Sejauh ini, menurut Vera, kelompok ekstrem menyasar berbagai kelompok, seperti diiming-imingi umrah. Bahkan, ada santri yang menjadi bagian kelompok ekstrem kemudian ketika pulang ke rumah malah menyasar ibunya untuk direkrut.
Untuk itu, KUPI melibatkan para ulama perempuan untuk memberikan pandangan terkait persoalan ideologi yang sering digunakan kelompok ekstrem. Ulama perempuan berperan melakukan resiliensi di komunitas terkait persoalan ektremisme.
Penasihat Kongres Ke-2 KUPI, Ninik Rahayu, menambahkan, dalam mencegah kelompok ekstremisme di sekolah, KUPI pernah menyebar kuesioner di sekolah dengan membuat beberapa kategori, seperti ekstremisme, intoleran, dan terorisme. Hasilnya, kata Ninik, rata-rata guru tidak menyadari bahwa dia ternyata masuk dalam kategori dari sejumlah pertanyaan yang telah dibuat.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Peserta dan pengamat mengikuti diskusi kelompok terkait isu radikalisme dan perempuan pada Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (26/4). Dalam diskusi itu terungkap, perempuan tidak hanya menjadi korban, tetapi juga turut serta dalam gerakan radikal.
”Kami lakukan sudah melakukan lima kali pertemuan membuat grup diskusi karena mereka tidak bisa dilatih, enaknya diajak ngobrol. Dengan studi kasus yang kami lakukan, walaupun tidak banyak, ada satu saja tetapi dia berbeda. Guru itu mentransfer pengetahuan kepada anak-anak dan itu membahayakan sekali,” katanya.
Ketua Umum Panitia Pelaksana Kongres Ke-2 KUPI Nyai Masruchah mengutarakan, ada lima isu krusial yang akan dibahas menjadi pandangan keagamaan. KUPI akan melakukan konsolidasi pengetahuan ulama perempuan yang tidak hanya dalam konteks nasional, tetapi global. Berbeda dengan kongres KUPI ke-1, kongres ke-2 nanti para ulama perempuan luar negeri akan menjadi peserta kongres.
KUPI, kata Masruchah, merupakan ulama perempuan tidak semata fasih dalam teks, tetapi bagaimana merespons konteks sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Isu krusial pada kongres KUPI ke-1 yaitu isu kekerasan seksual, isu perkawinan anak, dan isu kerusakan alam.
”Dua dari isu tersebut diadopsi oleh negara baik parlemen dan pemerintah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang pendewasaan usia perkawinan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” katanya.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Sejumlah peserta Konferensi Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tiba di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (24/4). Lebih dari 700 ulama perempuan, akademisi, dan aktivis perempuan dari dalam dan luar negeri duduk bersama pada KUPI yang digelar Selasa (25/4) hingga Kamis (27/4) di Ponpes Kebon Jambu.
Menjadi gerakan
Menurut dia, KUPI awalnya merupakan kegiatan kongres telah berubah menjadi gerakan yang berusaha menghimpun individu dan lembaga yang meyakini nilai-nilai keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, dan kemestaan dengan paradigma dasar keadilan relasi laki-laki dan perempuan.
Penasihat Kongres Ke-2 KUPI, Faqihuddin Abdul Kodir, mengungkapkan, perempuan memiliki hak otonomi atas tubuhnya. KUPI memandang perempuan sebagai subyek. Karena itu, perspektif perempuan dalam sistem ilmu pengetahuan perlu dimunculkan karena selama ini seluruh sistem pengetahuan baik kultural maupun keagamaan relatif tidak diperhatikan.
”KUPI mengenalkan bahwa subyek kehidupan adalah perempuan. Keduanya harus dihadirkan kalau selama ini laki-laki yang lebih sering, kita menegaskan perempuan juga penting untuk hadir sebagai subyek,” ujarnya.
Menurut Faqih, biasanya dalam konteks fatwa, suara perempuan hanya sebagian yang didengar pendapatnya. Namun, di KUPI, semua terlibat dan akan merumuskan dalam kongres.