Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap 13 tersangka teroris di Provinsi Aceh. Mereka berasal dari dua jaringan kelompok teror, Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang Pemilihan Umum 2024, kewaspadaan terhadap serangan teroris mesti ditingkatkan. Biasanya jaringan teroris membuat rencana untuk menunjukkan eksistensinya di tahun-tahun politik. Sebab, memasuki tahun politik, aparat keamanan dikerahkan untuk membantu persiapan pemilu.
”Tahun-tahun sekarang juga sangat berbahaya. Kalau di tahun-tahun politik, kan, sumber daya kepolisian sudah tergerus ke banyak isu persiapan pemilu sehingga dikhawatirkan polisi lengah dan para teroris ini tak terpegang. Jadi harus ditingkatkan kewaspadaannya karena agak riskan,” ujar pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh, Aceh, Al Chaidar, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (24/7/2022).
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, menjelang pemilu ataupun pilkada, ancaman teror memang meningkat. Menurut Al Chaidar, tahun-tahun politik menjadi kesempatan bagi kelompok teroris untuk menunjukkan eksistensinya. Mereka biasanya memandang pemilu sebagai perhelatan yang menguras perhatian masyarakat dan aparat sehingga dianggap sebagai waktu yang tepat untuk melancarkan aksi teror. Oleh karena itu, semua pihak, terutama aparat keamanan, perlu meningkatkan kewaspadaan.
Tahun-tahun sekarang juga sangat berbahaya. Kalau di tahun-tahun politik, kan, sumber daya kepolisian sudah tergerus ke banyak isu persiapan pemilu sehingga dikhawatirkan polisi lengah dan para teroris ini tak terpegang. Jadi harus ditingkatkan kewaspadaannya karena agak riskan.
Hari Jumat (22/7/2022) lalu, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap 13 tersangka teroris di Provinsi Aceh. Mereka berasal dari dua jaringan kelompok teror, Jamaah Islamiyah dan Jamaah Ansharut Daulah.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan melalui keterangan tertulis, di Jakarta, Sabtu (23/7/2022), mengungkapkan, dari 13 tersangka teroris yang ditangkap, 11 tersangka di antaranya merupakan anggota jaringan Jamaah Islamiyah (JI). Mereka berinisial ES, RU, DN, JU, SY, MF, RS, FE, SU, AKJ, dan MH. Sementara dua tersangka lain merupakan anggota jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) berinisial RI dan MA.
Ahmad menjelaskan, sebagian besar tersangka yang merupakan bagian kelompok JI berperan di bidang Akademi Pendidikan dan Pengaderan (Adira). Mereka telah mengikuti pelatihan menembak sebagai persiapan pelaksanaan pengembangan kemampuan anggota JI dalam berperang.
Beberapa tersangka lain juga pernah menyalurkan dana yang digunakan untuk operasional kelompok JI. Selain itu, ada pula tersangka yang menjadi pengurus salah satu yayasan amal milik JI yang merupakan salah satu sumber pendapatan dana JI.
Sementara itu, dua tersangka dari kelompok JAD yang ditangkap ternyata berhubungan dengan bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan pada 2019 lalu. Misalnya, RI berperan sebagai fasilitator terhadap para anggota JAD Medan yang melakukan tindak pidana bom bunuh diri di Polrestabes Medan.
Sementara itu, MA berperan menampung dan memfasilitasi kelompok pelaku bom bunuh diri, Rabbial Muslim Nasution, yang merupakan pelaku bom bunuh diri di Polrestabes Medan.
”Tersangka juga pernah mengikuti idad sebgai persiapan melakukan tindak pidana terorisme,” ucap Ahmad.
Jaringan baru
Menurut Al Chaidar, 11 tersangka dari kelompok JI yang tertangkap merupakan jaringan baru, sedangkan dua tersangka lain dari kelompok JAD merupakan jaringan lama.
Al Chaidar mengungkapkan, kelompok JAD lebih membahayakan dibanding kelompok JI. Sebab, masih banyak pihak yang masuk jaringan JAD, tetapi belum ditangkap. Mereka yang belum ditangkap itu pernah terlibat dalam sejumlah insiden bom, seperti di Samarinda, Kalimantan Timur (2015); Surabaya, Jawa Timur (2018); Sibolga, Sumatera Utara (2019), dan Makassar, Sulawesi Selatan (2021).
Namun, bukan berarti pengawasan terhadap kelompok JI dikendorkan. Meski kelompok JI sudah menyatakan tidak akan menyerang Indonesia sejak 2007, JI patut diwaspadai karena sedang memperluas jangkauan organisasi mereka untuk mengumpulkan dana. Dana itu kemudian dikirimkan untuk operasional JI di luar negeri.