Kaum muda menjadi sasaran kelompok ekstremisme agama untuk melakukan kekerasan atas nama agama pada kelompok lain yang berbeda. Dunia pendidikan diharapkan semakin menguatkan anak-anak muda agar tidak mudah teseret.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·7 menit baca
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Pakar pendidikan Prof Arief Rachman saat masih menjabat sebagai Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO memaparkan kepada para guru peserta loka karya "Belajar Hidup Bersama" mengenai cara membangun kesadaran dan praktik bermasyarakat di Negara yang majemuk. Acara diadakan di Jakarta, Senin (29/7/2019).
Anak-anak muda terus jadi sasaran kaum ekstremisme dan radikalisme, terutama melalui narasi agama. Mengawal anak-anak muda untuk memiliki literasi keagamaan lintas budaya menjadi salah satu cara untuk membekali kaum muda dari paham kekerasan berbalut agama.
Pesan dari Konferensi Internasional di Kairo, Mesir bertema The Fisrt International Conference on Religious Extremism–The Intellectual Premises and Counter Strategies pada Juni lalu, antara lain menekankan peran dunia pendidikan untuk mengatasi ekstremisme dengan memperkuat kurikulum pendidikan untuk menangkal berkembangnya ujaran kebencian dan penolakan terhadap pihak lain. Ini juga penting untuk mencegah lembaga pendidikan tersusupi pandangan ekstrem dan penanaman ideologi radikal.
Dalam webinar Internasional Seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) bertema ”LKLB untuk Mengatasi Ekstremisme Beragama: Menjawab Pesan Kairo” yang diadakan oleh Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dan Institut Leimena, Kamis (11/8/2022), mengemuka bagaimana paham ekstremisme masih mengincar anak muda. Untuk itu, diperlukan penguatan narasi toleransi beragama dalam ruang-ruang publik, termasuk dunia pendidikan.
Situasi pandemi Covid-19 yang menyebabkan individu terisolasi dari lingkungan sosial dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk berselancar secara daring, juga semakin menyebabkan kaum muda lebih rentan terhadap radikalisasi dan rekrutmen paham ekstremisme. ”Kaum muda merupakan segmen masyarakat yang sangat terekspose ancaman ekstremisme karena didukung pula oleh perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat. Hal ini menyebabkan mereka dapat dengan mudah mengakses propaganda ekstremis dan konten terorisme di media,” kata Duta Besar Republik Indonesia di Kairo, Mesir, Lutfi Rauf.
Berdasarkan European Union Terrorism Situation and Trend Report tahun 2022, diperoleh temuan bahwa pandemi Covid-19 mendukung pembentukan narasi ekstremisme. Sementara itu, United Nations Office on Drugs and Crime menyebut berbagai kelompok yang berusaha menyebarkan paham ekstremisme cenderung mengeksploitasi ajaran agama, perbedaan etnis, dan ideologi politik untuk membenarkan atau merekrut pengikut.
”Kondisi Indonesia yang kaya akan keberagaman yang biasanya senantiasa kita banggakan sebagai potensi dalam konteks ini dapat menjadi lahan yang subur untuk penyebaran paham ekstremisme apabila kita lengah,” ujar Luthfi.
Sensitif pada Isu agama
Terpaparnya kaum muda pada paham ekstremisme agama, dikatakan Feminis Muslimah dan Peneliti Jaringan Gusduruan Kalis Mardiasih, terlihat dari cara anak-anak muda menanggapi isu dan berita sensitif terkait agama tertentu. Terkadang, jawaban mereka tidak terduga.
”Intoleransi dan ekstremisme itu invisible atau tidak kelihatan. Apalagi, sekarang kelompok yang meyakini ekstremisme itu mulai menyebarkan konten dengan cara yang ‘gaul’. Menyasar anak SMP dan SMA, lewat grup telegram atau Instagram, semisal pesan berjihad untuk belajar menjadi teroris sambil berselfi,” kata Kalis.
Menurut Kalis, kini akun yang memproduksi pengetahuan ekstrimisme mulai tidak lagi memakai nama islami, serta ilustrasinya juga sesuai gaya anak muda. Sosok yang ditampilkan tidak lagi berpakaian dengan simbol agama, tapi sudah berkaus dan memakai jeans. Tapi, dalam pesannya tetap menyampaikan ideologi agama yang mendukung kekerasan.
Survei INFID dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) tentang Sikap dan Pandangan Generasi Z dan Milenial di Indonesia terhadap Toleransi, Kebinekaan, dan Kebebasan Beragama di 18 provinsi pada Agustus–September 2021 menemukan, meskipun generasi muda saat ini memiliki sikap positif pada toleransi, tapi masih ada indikasi intoleransi dan kecenderungan sikap negatif terhadap kebebasan beragama.
”Dalam ranah beragama yang lebih khusus, ada indikasi eksklusivitas dalam beragama dan berinteraksi dengan orang-orang yang beragama lain,” kata Koordiantor Penelitian Lembaga Demografi UI Alfindra Primaldhi.
Para siswa lintas agama dan sekolah mengikuti Wisata Bineka di Gereja Kristen Jawa Tanjung Priok, Cilincing, Jakarta, Rabu (16/1/2019). Selain ke gereja mereka juga mengunjungi masjid, vihara, dan pura di kawasan Jakarta Utara. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun kesadaran toleransi lintas agama dan mempekuat rasa kebinekaan Indonesia di kalangan generasi muda.
Namun, generasi muda ini tetap punya kecenderungan eksklusivitas agama, termasuk ketika berinteraksi dengan orang-orang yang beragama lain. Setengah dari responden misalnya, masih menolak pernikahan berbeda agama.
Mereka juga masih mendukung peraturan berpakaian di sekolah yang sejalan dengan agama mayoritas di daerah itu, juga pembangunan rumah ibadah kelompok minoritas dilakukan dengan persetujuan kelompok mayoritas. Belum banyak yang tertarik untuk mencari informasi tentang agama selain agama yang dianut.
”Meskipun secara umum sudah menerima perempuan sebagai pemimpin di lembaga pemerintahan hingga tingkat RT/RW, tapi untuk presiden dari kelompok minoritas maupun perempuan masih belum sepenuhnya diterima generasi muda,” ujar Alfindra.
Dari survei tentang iklim kebinekaan di Rapor Pendidikan Tahun 2021, secara umum sekolah masih belum punya budaya kuat. Baru 32 persen sekolah telah membudayakan sikap kebinekaan, ada 9 persen yang perlu peningkatan, dan 59 persen belum membudaya.
”Aspek kebinekaan ini penting untuk hidup bersama. Kita ingin generasi muda bangsa yang dapat hidup dalam perbedaan dan mencintai sesama,” kata Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim.
Akun yang memproduksi pengetahuan ekstrimisme mulai tidak lagi memakai nama islami, serta ilustrasinya juga sesuai gaya anak muda. Sosok yang ditampilkan tidak lagi berpakaian dengan simbol agama, tapi sudah berkaus dan memakai jeans.
Pada 2019, hasil angket ujian nasional jenjang SMP/MTS Tahun 2019 yang menyurvei kesediaan siswa bersosialisasi dalam lingkungan majemuk, terlihat untuk yang terkait agama ada penolakan yang cukup besar. Siswa yang tidak setuju membantu teman mempersiapkan acara keagamaannya di sekolah sebesar 33 persen, sedangkan yang tidak setuju memilih teman berbeda agama menjadi ketua kelas sebesar 29 persen.
Menurut Alfindra, generasi muda bepotensi menjaga Indonesia yang toleran dan beragam. Tapi hal ini perlu diperkuat dengan sistem pendidikan formal dan informal yang membantu mereka punya empati atau mampu merasakan di posisi orang lain.
”Pada dasarnya manusia penting diajarkan empati atau merasakan posisi orang lain, jadi muncul toleransi pada orang lain. Penting juga membangun kecakapan berpikir kritis serta mengomunikasikan sikap dan pikiran yang melihat keragaman Indonesia,” kata Alfindra.
Dunia pendidikan
Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Kerja sama dan Promosi UMI, Hattah Fattah mengatakan, sektor pendidikan bisa menjadi wahana untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan bahaya ekstremisme dan radikalisme. Namun, di sisi lain, lembaga pendidikan juga bisa menjadi lahan subur untuk mengembangkan paham-paham radikalisme.
Hatta mengatakan, sekalipun UMI merupakan lembaga pendidikan dakwah berciri khas Islam, tetap tidak pernah menolak mahasiswa non-Muslim. UMI juga menanamkan paham Islam Rahmatan Lil Alamin lewat konsep maupun praktik nyata di Pesantren Darul Mukhlisin, Padang Lampe, Sulawesi Selatan.
Rektor UMI Basri Modding menambahkan UMI secara konsisten menerapkan pendidikan inklusif. Contohnya, Pesantren Darul Mukhlisin beberapa waktu lalu menerima kunjungan dari pimpinan American Jewish Committee untuk melakukan dialog lintas agama.
Staf Ahli pada Satgas Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Muhammad Suaib Tahir mengatakan, narasi yang dikembangkan oleh kelompok ekstremis jauh lebih produktif dan efektif dibandingkan narasi dari kelompok moderat. ”Mereka (kalangan ekstremis) sangat militan, meskipun sebenarnya jumlahnya sedikit tapi mendominasi di media sosial,” kata Suaib.
DOKUMENTASI INSTITUT LEIMENA
Romo Ignatius Adam Suncoko Pr sedang memberi penjeasan tentang sejarah Gereja Katederal Ijen Malang (Gereja Santa Perwan Maria dari Gunung Karmel-Malang) dan hirarki gereja Katolik sebagai bagian dari lokakarya Literasi Keagamaan Lintas Kebudayaan (LKLB) untuk guru-guru madrasah/pesantren alumni pelatihan LKLB, Sabtu (13/8/2022).
Situasi itu telah berhasil memengaruhi kalangan muda. Menurut Suaib, BNPT dalam wawancara dengan sejumlah calon karyawan BUMN, beberapa anak muda yang baru lulus kuliah atau tamat SMA menyatakan akan mengikuti pandangan ustadnya jika diminta pergi berjihad ke Suriah.
”Beberapa waktu lalu, saya ditelepon keluarga di Indonesia untuk menyampaikan bagaimana kami bisa memulangkan anak-anak mereka yang masih muda di Suriah karena tertahan tidak bisa kembali ke Indonesia. Mereka terpengaruh media sosial,” ujar Suaib.
Ketua Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) Cabang Indonesia, Tuan Guru Bajang (TGB) HM Zainul Majdi mengatakan, ekstremisme berakar dari pemahaman agama yang salah. Itu sebabnya, perlu adanya intervensi pendidikan secara serius di dalam ruang-ruang kelas dengan memastikan materi keagamaan bisa mengakomodasi keberagaman dan guru memiliki kualifikasi pemahaman agama yang moderat.
”Kalau bicara intervensi pendidikan adalah materi-materi keislaman yang kita ajarkan di semua jenjang pendidikan harus kita ‘sisir’. Tidak ada artinya kita bernarasi di webinar, berbicara di tingkat intelektual tapi menanam benih sebaliknya,” tandas Zainul.
Senior Fellow Institut Leimena, Alwi Shihab menambahkan, Institut Leimena bekerja sama dengan UMI dan beberapa institusi melakukan pelatihan LKLB karena menyadari peran penting pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai inklusif. Pelatihan secara daring tersebut telah diikuti sekitar 2.400 guru madrasah dan pesantren.
Menurut Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, webinar seri LKLB dilatarbelakangi oleh pelaksanaan The First International Conference on Religious Extremism: The Intellectual Premises and Counter Strategies di Kairo, Mesir, pada 7-9 Juni 2022 yang antara lain merekomendasikan pentingnya dunia pendidikan dalam mengatasi masalah ekstremisme, terutama dalam kurikulum pendidikan, pendidikan dasar anak-anak, serta para guru dan spesialis pendidikan lainnya.
Dalam konteks itu, pelatihan LKLB menekankan kepada penguatan solidaritas sesama anak bangsa dan umat manusia yang berbeda agama dan kepercayaan dengan melatih kemampuan bekerja sama dalam masyarakat majemuk.