Geledah Gedung DPRD dan Kantor Gubernur Jatim, KPK Sita Uang Rp 1 Miliar Lebih
Untuk penyidikan suap yang diduga diterima Wakil Ketua DPRD Jatim, KPK menyita uang tunai Rp 1 miliar dari gedung DPRD Jawa Timur. Sejumlah dokumen juga disita dari kantor Gubernur Jatim.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·5 menit baca
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahat Tua Simanjuntak menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat seusai ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap untuk pengurusan alokasi dana hibah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Timur, Jumat (16/12/2022) dini hari, di Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menyita uang lebih dari Rp 1 miliar dan dokumen penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah seusai menggeledah gedung DPRD Provinsi Jatim dan kantor Gubernur Jatim. Penggeledahan itu berkaitan dengan dugaan penerimaan suap yang melibatkan Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simanjuntak.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, Kamis (22/12/2022), mengatakan, bukti berupa uang tunai lebih dari Rp 1 miliar ditemukan dan diamankan dari gedung DPRD Jatim di Surabaya. Adapun bukti dokumen penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan bukti elektronik ialah hasil penggeledahan di kompleks kantor Gubernur Jatim di Surabaya.
”Uang tersebut diduga juga masih terkait dengan penyidikan perkara ini sehingga segera dilakukan penyitaan untuk menjadi barang bukti,” kata Ali Fikri dalam keterangan tertulis.
Penggeledahan di gedung DPRD Provinsi Jawa Timur lebih dulu dilakukan KPK selama dua hari sejak Senin (19/12/2022). Selanjutnya, pada Rabu (20/12/2022), penggeledahan dilakukan di kompleks kantor Gubernur Jatim.
Beberapa ruangan di kompleks tersebut yang digeledah, antara lain, adalah ruang kerja Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan ruang kerja Wakil Gubernur Emil Dardak. Pada waktu yang sama, penggeledahan dilakukan di ruang kerja Sekretaris Provinsi Jatim serta kantor Sekretaris Provinsi, Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jatim.
KPK menyegel ruang Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simanjuntak, Kamis (15/12/2022). Pimpinan DPRD Jatim ini diduga terlibat kasus suap.
Ali Fikri tak merinci lebih lanjut bukti-bukti tersebut ditemukan di ruangan mana saja. Ali hanya menyebutkan bahwa analisis dan penyitaan akan segera dilakukan untuk mendukung proses pembuktian perkara.
Adapun Khofifah memastikan tidak ada dokumen yang diambil penyidik dari ruang kerjanya selama kegiatan berlangsung. Begitu pula dengan ruang kerja Emil Dardak. ”Di ruang sekda ada flashdisk yang dibawa,” kata Khofifah di Markas Kepolisian Daerah Jatim (Kompas.id, 22/12/2022).
Penggeledahan di beberapa lokasi itu berkaitan dengan dugaan korupsi yang melibatkan Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simanjuntak. Pekan lalu atau tepatnya Rabu (14/7/2022), KPK menangkap Sahat Tua Simanjuntak bersama tiga orang lainnya, yakni Abdul Hamid (Kepala Desa Jelgung, Kabupaten Sampang), Ilham Wahyudi alias Eeng (koordinator kelompok masyarakat), dan Rusdi (anggota staf ahli Sahat) di Surabaya.
Sahat diduga menerima suap senilai Rp 1 miliar dari yang dijanjikan Hamid sebesar Rp 2 miliar untuk pengurusan alokasi dana hibah yang bersumber dari APBD Jatim untuk tahun 2023.
Analisis dan penyitaan akan segera dilakukan untuk mendukung proses pembuktian perkara.
Hamid dan Sahat telah melakukan praktik serupa untuk distribusi dana hibah tahun anggaran 2020 dan 2021. Pada kedua tahun anggaran itu, APBD Jatim mengalokasikan dana hibah sebesar Rp 7,8 triliun untuk didistribusikan ke badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan di wilayah Pemerintah Provinsi Jatim guna pembangunan infrastruktur.
Distribusi dana itu dilakukan melalui usulan yang diajukan oleh anggota DPRD Jatim, salah satunya Sahat. Untuk itu, Sahat menawarkan diri memperlancar pendistribusian dana hibah kepada sejumlah pihak dengan meminta uang muka layaknya praktik ijon.
Untuk distribusi dana hibah tahun anggaran 2020 dan 2021, kepada Hamid, Sahat meminta uang muka sebesar 20 persen dari uang dana hibah yang diberikan kepada kelompok masyarakat. Dalam hal ini, Hamid juga memperoleh bagian 10 persen. Untuk realisasinya, dana hibah yang disalurkan sebesar masing-masing Rp 40 miliar pada 2021 dan pada 2022 (Kompas, 16/12/2022).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahat Tua Simanjuntak (bertopi) menuju ruang pemeriksaan ketika tiba di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, setelah tertangkap operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Kamis (15/12/2022). Wakil Ketua DRPD Jawa Timur Sahat Tua Simanjuntak tertangkap Operasi Tangkap Tangan KPK di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (14/12/2022). Politisi Partai Golkar ini ditangkap dugaan korupsi terkait dengan dana hibah ke kelompok masyarakat. KPK juga menangkap tiga orang lain dalam OTT ini serta menyita uang tunai.
Penyalahgunaan wewenang
Dihubungi secara terpisah, Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Jabodetabek Anwar Razak menilai, Sahat telah menyalahgunakan kewenangan yang melekat padanya, terutama terkait dengan fungsi anggaran. Ia memanfaatkan posisinya yang bisa membahas anggaran, seperti alokasi dana hibah dan memutuskan apakah rancangan anggaran layak atau tidak untuk disetujui.
Anwar mendesak KPK untuk menelusuri lebih jauh hubungan Sahat dengan penyuap. Pasalnya, ia melihat kemungkinan adanya konflik kepentingan sejak awal. ”Perlu dicari lebih lanjut apakah penyuap itu, misalnya, tim kampanye Sahat dulu. Atau hubungan mereka sebelumnya seperti apa. Jangan-jangan ada kepentingan politik juga, apalagi mau Pemilu 2024,” ucap Anwar.
Menurut Anwar, selama ini anggota legislatif leluasa menggunakan kewenangannya yang rawan disalahgunakan itu. Untuk itu, penting pengawasan dari negara. KPK, misalnya, dapat melakukan pengawasan harian terhadap anggota DPR atau DPRD untuk bisa melacak potensi-potensi korupsi.
”Sebab, kejadian suap seperti ini tidak akan terbaca saat audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Maka dari itu, KPK bisa menggunakan jejaring di daerah dan melibatkan masyarakat sipil untuk pengawasan. Selain itu, buka juga ruang agar publik bisa melaporkan temuannya ke KPK,” ujar Anwar.
Adapun Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto mengatakan, kasus suap yang melibatkan Sahat bukan fenomena umum, melainkan juga bukan kasus yang pertama kali terjadi. Dari catatan ICW, setidaknya ada delapan kasus serupa di sejumlah daerah dalam lima tahun terakhir.
Agus menjelaskan, varian kasusnya pun bermacam-macam dengan modus yang juga bervariatif. Sebab, mengejar keuntungan ekonomi, anggota legislatif juga bisa meraih keuntungan politik. Misalnya, dana hibah sengaja dialokasikan untuk membiayai daerah pemilihan. Ini rentan terjadi, terutama menjelang Pemilu 2024.
Lantaran kasus serupa terus terjadi, Agus pun mempertanyakan soal upaya pemerintah memperbaiki sistem. Selain itu, ia mempertanyakan pengawasan dalam proses politik di DPRD yang, menurut dia, memang rawan penyimpangan. Ia pun meminta KPK menelurusi secara menyeluruh, tidak hanya legislatif, tetapi eksekutif.
”Karena pembahasan anggaran, kan, bersama eksekutif. Usulan diberikan kelompok masyarakat ke kepala daerah, lalu daerah meminta evaluasi dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD), baru kemudian diajukan ke DPRD. Maka dari itu, perlu dilihat secara menyeluruh,” ucap Agus.