KPK kembali mengungkap dugaan suap di DPRD Jawa Timur. Setelah pada 2017 menangkap ketua Komisi B, kini KPK menangkap wakil ketua DPRD Jatim.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, RUNIK SRI ASTUTI, SIWI YUNITA CAHYANINGRUM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik suap diduga masih membayangi kerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur. Jika pada 2017 Ketua Komisi B DPRD Jatim Mochamad Basuki ditangkap karena suap, kini Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahat Tua Simanjuntak. Sahat diduga menerima suap senilai Rp 1 miliar dari yang dijanjikan, yakni Rp 2 miliar, untuk pengurusan alokasi dana hibah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Jatim.
Sahat ditangkap bersama tiga orang lainnya, yakni Abdul Hamid (Kepala Desa Jelgung, Kabupaten Sampang), Ilham Wahyudi alias Eeng (koordinator kelompok masyarakat), dan Rusdi (anggota staf ahli Sahat). Keempat orang itu ditangkap di Surabaya, Rabu (14/12/2022).
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam jumpa pers pada Jumat (16/12) dini hari, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, mengungkapkan, suap yang diungkap pada Rabu lalu itu adalah yang ketiga kalinya diterima Sahat dari Abdul Hamid. Saat ditangkap, Sahat menerima Rp 1 miliar dari yang dijanjikan Hamid sebesar Rp 2 miliar untuk pengurusan alokasi dana hibah dari APBD Jatim untuk tahun 2023. Uang itu diterima Sahat dalam bentuk mata uang asing, yakni dollar Singapura dan dollar Amerika Serikat.
”Sisa Rp 1 miliar dijanjikan akan diserahkan pada Jumat,” ucapnya.
Sebelumnya, Hamid dan Sahat telah melakukan praktik serupa untuk distribusi dana hibah tahun anggaran 2020 dan 2021. Di kedua tahun anggaran itu, APBD Jatim mengalokasikan dana hibah sebesar Rp 7,8 triliun untuk didistribusikan ke badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan di wilayah Pemerintah Provinsi Jatim guna pembangunan infrastruktur.
Distribusi dana itu dilakukan melalui usulan yang diajukan oleh anggota DPRD Jatim, salah satunya Sahat. Untuk itu, Sahat menawarkan diri memperlancar pendistribusian dana hibah kepada sejumlah pihak dengan meminta uang muka layaknya praktik ijon.
Untuk distribusi, dana hibah tahun anggaran 2020 dan 2021, kepada Hamid, Sahat meminta uang muka sebesar 20 persen dari uang dana hibah yang diberikan kepada kelompok masyarakat. Dalam hal ini, Hamid juga memperoleh bagian 10 persen. Untuk realisasinya, dana hibah yang disalurkan sebesar Rp 40 miliar pada 2021 dan Rp 40 miliar pada 2022.
Untuk penyaluran dana hibah tahun 2023, Hamid kembali meminta bantuan Sahat dengan janji memberikan imbalan Rp 2 miliar. Hingga akhirnya keduanya ditangkap pada Rabu, berikut uang imbalan yang diberikan itu juga disita KPK.
Sementara itu, sejumlah ruangan di DPRD Jatim disegel dan diperiksa tim KPK sejak Sahat dan tiga tersangka lainnya ditangkap.
Catatan Kompas, sejumlah anggota DPRD juga sudah diproses hukum karena suap. Sebut saja penangkapan lima anggota DPRD Jambi pada November 2017 karena diduga terkait suap pengesahan APBD Provinsi Jambi 2018. Begitu pula penangkapan Ketua Komisi B DPRD Jatim Mochamad Basuki pada 2017 juga terkait suap.
Pengawasan
Pengamat politik dari Universitas Brawijaya, Wawan Sobari, mengatakan, operasi tangkap tangan KPK terhadap pimpinan DPRD Jatim menjadi pelajaran bahwa perlu ada lembaga dan masyarakat yang turut mengawasi gerak DPRD. Lembaga yang dimaksud semestinya partai politik. ”Parpol yang memiliki hak recall, mereka juga bisa memberikan sanksi,” katanya.
Namun, diakui Sobari, partai politik belum tentu bisa menjalankan fungsi tersebut. Oleh karena itu, cara yang bisa dilakukan publik adalah tak memilih lagi wakil rakyat yang terbukti terlibat korupsi.