Rencana Pemberhentian PPKM Masih Tunggu Perintah Presiden
Terkait penghapusan PPKM, epidemiolog meminta pemerintah menunggu hingga awal tahun 2023. Hal ini terutama untuk melihat perkembangan situasi pandemi di China yang masih perlu dipantau dalam dua bulan ke depan.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Rencana pemerintah mengakhiri pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM pada akhir 2022 ini masih menunggu perintah langsung dari Presiden Joko Widodo. Dari segi persiapan, pemerintah menyebut Indonesia sudah siap karena secara de facto sudah keluar dari pandemi Covid-19. Meski demikian, epidemiolog mengingatkan agar pemerintah tidak tergesa-gesa mengambil keputusan, sembari menunggu kondisi penularan Covid-19 pada akhir tahun ini yang menjadi ujian terakhir penanganan pandemi.
Dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia Tahun 2023, Rabu (21/12/2022) pagi, di Jakarta, Presiden Jokowi mengumumkan sinyal untuk mengakhiri kebijakan PPKM. ”Mungkin, nanti akhir tahun, kita akan menyatakan berhenti PSBB (pembatasan sosial berskala besar) PPKM kita,” ujar Kepala Negara ketika memberikan sambutan di acara Outlook Perekonomian Indonesia Tahun 2023 yang digelar di Hotel The Ritz Carlton, Jakarta.
Ditemui terpisah, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menegaskan kesiapan jajaran pemerintah untuk mengakhiri PPKM. ”Kita tinggal nunggu perintah dari Bapak Presiden, tapi secara persiapan, insya Allah sudah siap. Ini sebetulnya, kan, selalu saya katakan bahwa de facto kita ini sebetulnya sudah keluar dari pandemi,” ucapnya.
Namun, penetapan berakhirnya pandemi itu tetap harus menunggu keputusan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dengan demikian, masyarakat tetap harus terus waspada. ”Tetapi juga bukan berarti kita lengah. Jadi sebetulnya praktik sehari-hari kita ini, kan, juga sudah, sudah tidak ada PPKM ya, kan, gitu. Jadi saya dukung, dukung arahan Pak Presiden,” lanjut Muhadjir.
Kewaspadaan perlu terus dibangun karena pandemi Covid-19 punya karakter berbeda dengan pandemi sebelumnya. Apalagi, varian-varian baru terus bermunculan. Meskipun varian baru itu sudah terbukti tidak seganas dan tidak mematikan seperti varian yang awal-awal.
”Varian Covid-19 ini lebih cerdas, dia bisa mengolor-ngolor waktu sampai mendekati tiga tahun. Ini sesuatu yang beda sama sekali dengan pandemi-pandemi virus sebelumnya yang sejenis, ya, karena itu cara penanganannya, cara bersikapnya, cara mengambil keputusan juga harus berbeda,” ucap Muhadjir.
Menanggapi situasi pandemi Covid-19 yang memburuk di China, Muhadjir menegaskan bahwa Indonesia tetap akan melihat perkembangan kasus di China.
Menanggapi situasi pandemi Covid-19 yang memburuk di China, Muhadjir menegaskan bahwa Indonesia tetap akan melihat perkembangan kasus di China. Berbeda dengan China yang sempat menerapkan kebijakan lockdown zero covid atau pembatasan sosial hingga nol covid, Indonesia dinilai relatif lebih tahan uji.
”Terbukti bahwa kita lebih tepat, kan, kebijakan Pak Presiden, padahal pada waktu itu kontroversi sekali. Semua orang mengkritik seharusnya lockdown dan seterusnya. Coba kalau kita lockdown, mungkin ekonomi kita lebih morat-marit dan mungkin bisa seperti dialami oleh China sekarang,” kata Muhadjir.
Muhadjir menegaskan bahwa ketahanan terhadap Covid-19 juga dibangun dari mereka yang pernah terjangkit. ”Jadi imunitas kawanan itu di samping ditopang dengan vaksin, vaksinnya juga booster, tapi juga yang terjangkit diselamatkan. Karena dengan yang terjangkit itu diselamatkan, itu otomatis dia akan jadi pagar yang kokoh dalam membendung wabah Covid-19,” tambahnya.
Secara terpisah, Dicky Budiman, epidemiolog dan peneliti keamanan kesehatan Griffith University, Australia, berharap pemerintah tidak tergesa-gesa mencabut PPKM. ”Ujian kita, kemungkinan terakhir itu ada di akhir tahun ini. Karena, sebetulnya kita sedang mengalami satu gelombang saat ini. Karena, permasalahannya, kita sangat lemah dalam deteksi dan itu berbahaya karena masalah dari covid ini bukan berhenti di statusnya, tapi potensi long covid yang akan menurunkan kualitas SDM (sumber daya manusia),” kata Dicky.
Terkait penghapusan PPKM, Dicky meminta pemerintah menunggu hingga awal tahun 2023. Hal itu terutama untuk melihat perkembangan situasi pandemi di China yang masih perlu dipantau dalam dua bulan ke depan. ”Kalaupun PPKM ini, misalnya, mau dicabut, saya kira tunggunya setelah Natal dan Tahun Baru nanti,” ujarnya.
Namun, pencabutan PPKM juga harus diimbangi dengan peningkatan vaksinasi primer pada anak yang saat ini masih jadi pekerjaan rumah. Cakupan vaksinasi penguat atau booster juga harus sudah minimal 50 persen. Proteksi berupa modal imunitas harus ditingkatkan sebelum kemudian PPKM dicabut.
Pencabutan PPKM dikhawatirkan akan memunculkan banyak pengabaian. ”Pengabaian ini yang akhirnya membuat kita menjadi kontributor dalam pemunduran nanti. Akhir status pandemi yang sudah mulai terlihat harus kita jaga,” ucap Dicky.
Indonesia tidak bisa berpangku tangan dengan situasi pandemi di China karena jumlah penduduknya merepresentasikan 10 persen dari penduduk dunia. Sebanyak 60 persen dari penduduk China juga dalam posisi rentan terhadap infeksi dari beragam subvarian yang ada. Hal ini berpotensi memunculkan konsekuensi buruk berupa mutasi yang mengarah ke varian kriteria super.
Indonesia tidak bisa berpangku tangan dengan situasi pandemi di China karena jumlah penduduknya merepresentasikan 10 persen dari penduduk dunia.
Dicky menegaskan bahwa perubahan status dari pandemi ke endemi juga akan bergantung pada kondisi negara lain. Hingga kini, kriteria status endemi ini belum terpenuhi. Secara definisi epidemiologi, suatu penyakit menjadi endemi ketika keberadaan penyakit itu menjadi stabil di satu wilayah tertentu dan bisa diprediksi.
Bicara covid, menurut Dicky, belum ada benchmark atau tolok ukur yang bisa dijadikan rujukan. ”Untuk mendefinisikan endemicity (tingkat penularan) satu penyakit itu dengan cara restrospektif (melihat kembali ke belakang) karena penyakitnya sudah mencapai ekuilibrium kestabilan,” katanya.
Ekuilibrium terjadi ketika populasi sudah memiliki proteksi atau imunitas terhadap penyakit. Namun, dalam konteks covid, keseimbangan ini belum tercapai. Mereka yang sudah punya antibodi, misalnya, ternyata juga masih bisa terinfeksi. “Yang penting, kita berupaya meningkatkan vaksinasi, meningkatkan perubahan perilaku yang memperbaiki,” ujarnya.