Rekomendasi Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Non-yudisial Segera Rampung
Sejak dibentuk September lalu, Tim PPHAM sudah mengunjungi sejumlah korban dari 12 kasus pelanggaran HAM berat. Umumnya korban meminta negara akui pelanggaran HAM berat itu dan perhatikan penderitaan yang mereka alami.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu atau Tim PPHAM telah mengunjungi sejumlah korban dari 12 kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Hasilnya segera dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo mengingat masa kerja mereka akan selesai pada 31 Desember 2022 ini. Namun demikian, masyarakat sipil meragukan upaya itu karena penyelesaian nonyudisial seharusnya dilakukan setelah negara memenuhi hak korban atas keadilan.
Ketua Pelaksana Tim PPHAM Makarim Wibisono saat dihubungi, Selasa (20/12/2022), mengatakan, sejak dibentuk pada 21 September 2022 melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022, tim sudah mengunjungi sejumlah korban dari 12 kasus dugaan pelanggaran HAM berat. Tim berdiskusi baik dengan korban maupun masyarakat sipil yang mendampingi perjuangan korban mencari keadilan.
Sebanyak 12 kasus itu antara lain, peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-1985; peristiwa Talangsari, Lampung 1989; kasus Rumah Geudong pada era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh 1989-1998; kasus kerusuhan Mei 1998; peristiwa Trisakti serta Semanggi I dan Semanggi II pada 1998-1999; peristiwa Simpang KKA 1999; pembunuhan dukun santet di Banyuwangi 1999; peristiwa Wasior 2001; peristiwa Wamena 2003; dan Jambu Keupok, Aceh 2003.
Banyak korban yang ditemui tim, lanjut Makarim, sudah berusia lanjut. Selain meminta kasus diselesaikan secara hukum, mereka juga meminta harga diri mereka dipulihkan. Mereka meminta negara mengakui kasus pelanggaran HAM berat itu. Ada juga yang meminta negara lebih memperhatikan penderitaan yang mereka alami.
”Menemui dan berdialog dengan korban adalah upaya tim untuk mendapatkan bahan-bahan secara terbuka. Kami juga berdiskusi dengan para ahli sebelum menyusun rekomendasi untuk diserahkan kepada Presiden,” ucapnya.
Secara umum, tugas dari PPHAM adalah mengungkap apakah kasus pelanggaran HAM berat itu terjadi atau tidak. Selama ini, dari 12 kasus yang ditetapkan Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat, kebenaran peristiwa itu belum pernah diakui oleh negara. Padahal, korbannya ada di mana-mana. Tim akan merekomendasikan agar negara mau mengakui kebenaran peristiwa itu.
Selain itu, Tim PPHAM juga merekomendasikan langkah pemulihan korban. Terakhir, tim akan merekomendasikan juga kepada negara apa yang harus dilakukan supaya peristiwa pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi di masa depan.
”Dalam waktu dekat ini, rekomendasi akan kami sampaikan kepada Presiden Jokowi. Nanti, detailnya akan kami sampaikan kepada media setelah itu,” ungkapnya.
Tim PPHAM juga merekomendasikan langkah pemulihan korban.
Finalisasi
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Senin (19/12/2022), menerima laporan kinerja Tim PPHAM sejak dibentuk pada September lalu. Tim melaporkan bahwa perkembangan kinerja mereka sudah sampai pada tahap finalisasi. Tim membutuhkan diskusi akhir dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di pondok pesantren milik Rais Aam PBNU Miftahul Akhyar di Surabaya, Jawa Timur.
”Draf (rekomendasi Tim PPHAM) sudah siap, tinggal dimatangkan lagi melalui diskusi akhir dengan PBNU di ponpes milik Kiai Miftahul Akhyar di Surabaya,” kata Mahfud.
Dialog di ponpes Kiai Miftahul Akhyar menurut rencana akan diikuti oleh pimpinan wilayah NU dan semua cabang NU se-Jawa Timur. Dialog dengan PBNU terkait dengan peristiwa kelam 1965 yang melibatkan konflik antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kaum nahdliyin di Jawa Timur.
Karena penyelesaian kasus ini cukup sensitif, Mahfud meminta kepada semua pihak agar tidak terprovokasi dengan spekulasi liar di lapangan. Ada yang menyebut PPHAM akan menghidupkan PKI. Dia menegaskan, PKI tidak akan hidup dan tidak boleh hidup lagi di Indonesia. PPHAM hanya mencoba berdialog dengan para korban peristiwa 1965 yang terdiri dari TNI, NU atau umat Islam, dan juga PKI.
”Insya Allah pekerjaan PPHAM ini akan komprehensif dan selesai tepat waktu. Pada awal 2023 sudah selesai dan hasilnya akan diserahkan kepada Presiden,” lanjutnya.
Sejauh ini, Mahfud menilai koridor penyelesaian yang dijalankan PPHAM masih berada di garis yang benar. Dia juga meminta masyarakat tidak memelintir bahwa keberadaan tim akan menghapuskan proses penyelesaian secara hukum. Menurut dia, proses yudisial tidak bisa dihapus karena diatur dalam undang-undang. Pelanggaran HAM berat tidak ada masa kedaluwarsanya dan harus diadili.
Namun, selama ini, kelemahannya berada pada tidak lengkapnya bukti yang dikumpulkan oleh Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Ini yang membuat banyak terdakwa dalam kasus pelanggaran HAM berat lepas dari jerat hukum karena minimnya bukti di persidangan.
“Sampai saat ini, sudah 38 orang dibebaskan (dalam kasus pelanggaran HAM berat). Bukti-buktinya tidak cukup untuk dikatakan sebagai pelanggaran HAM berat. Kasus tidak akan ditutup karena tidak boleh ditutup sebelum diadili. Itu ketentuan UU,” tuturnya.
Dihubungi secara terpisah, Christian Rahmat, anggota staf Divisi Studi dan Advokasi Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), menyampaikan keraguannya terkait dengan efektivitas kinerja dari PPHAM. Menurut dia, tidak ada rasionalisasi kesesuaian antara pembentukan PPHAM dan peta jalan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Tim PPHAM juga dinilai mengabaikan prinsip-prinsip penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Sebab, penyelesaian non-yudisial seharusnya dilakukan setelah negara memenuhi hak korban atas keadilan.
”Pemulihan akan efektif hanya jika negara telah mengungkapkan kebenaran pada korban dan keluarganya. Bahwa negara memang telah lalai menegakkan HAM di masa lalu sehingga menyebabkan penderitaan di pihak para korban. Jika tanpa pengungkapan kebenaran, upaya pemulihan akan tampak seolah-olah sebagai kebaikan negara,” katanya.
Pemulihan seharusnya merupakan upaya sistematis untuk memenuhi hak korban, tetapi juga mengungkap manipulasi sejarah yang membuat banyak orang menjadi korban pelanggaran HAM.
Dia menjelaskan, pemulihan seharusnya merupakan upaya sistematis untuk memenuhi hak korban, tetapi juga mengungkap manipulasi sejarah yang membuat banyak orang menjadi korban pelanggaran HAM. Prinsip penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dari perspektif korban adalah memenuhi hak atas kebenaran (truth), keadilan (justice), dan pemulihan (reparation). Ketiga hal itu terhubung satu sama lain dan harus dilaksanakan secara menyeluruh.
Untuk memenuhi hak-hak korban itu, negara memiliki empat kewajiban dalam proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, yaitu kewajiban mengingat (duty to remember), kewajiban menuntut pidana (duty to prosecute), kewajiban mengembalikan keadaan korban (duty to redress), dan kewajiban menjamin pencegahan keberulangan (guarantees of non-recurrence).