Mendorong Revisi UU Pengadilan HAM
Proses hukum kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu masih terkendala. Masalah utamanya ialah tak cukupnya ketentuan dalam UU tentang Pengadilan HAM untuk mencari jalan keluar atas berbagai hambatan yang ada.

Mural berjudul ”Menolak Lupa” menghiasi salah satu sudut tembok di Jalan Stasiun Barat, Bandung, Kamis (4/7). Sejumlah kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung terungkap di Tanah Air terus disuarakan oleh berbagai kalangan.
Bolak-baliknya berkas penyelidikan kasus dugaan pelanggaran berat hak asasi manusia antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Kejaksaan Agung seolah menjadi rutinitas. Belum lama, berkas penyelidikan peristiwa Paniai di Papua disampaikan kembali oleh Komnas HAM ke Kejaksaan.
Selama dua dasawarsa sejak Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia diterbitkan, baru tiga kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat atau serius yang bisa dibawa ke meja pengadilan HAM. Ketiganya adalah Tanjung Priok (1984), Abepura (2000), dan Timor Timur.
Dalam kurun waktu itu, upaya untuk mendorong peristiwa dugaan pelanggaran HAM berat lainnya ke pengadilan HAM tak kunjung membuahkan hasil. Upaya itu hanya membuahkan jalan buntu, berupa bolak-baliknya berkas penyelidikan antara Komnas HAM dan Kejaksaan.
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin Al Rahab, Selasa (12/10/2021), mengatakan, berkas-berkas penyelidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat telah dikirimkan kembali ke Jaksa Agung. Terakhir, berkas penyelidikan peristiwa Paniai belum lama ini dikirim kembali ke Kejaksaan.
Kompas menghubungi Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi yang juga merupakan Ketua Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, menanyakan soal tim khusus tersebut dan berkas penyelidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang telah diserahkan Komnas HAM. Namun, hingga Jumat (15/10/2021), mereka tak merespons.

Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin Al Rahab menunjukkan laporan hasil investigasi dan rekomendasi insiden tewasnya enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di Jalan Tol Jakarta-Cikampek, awal Desember lalu. Hasil investigasi dan rekomendasi itu diserahkan Komnas HAM kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Kamis (14/1/2021).
Menurut Amiruddin, alih-alih berdebat mengenai bolak-baliknya berkas penyelidikan perkara dugaan pelanggaran HAM, hal itu sebenarnya menunjukkan adanya masalah yang lebih mendasar, yakni mengenai UU tentang Pengadilan HAM itu sendiri. Sebab, meskipun disusun 20 tahun lalu, hingga saat ini UU tersebut belum bisa memberikan keadilan bagi korban, termasuk kebuntuan yang ditandai dengan bolak-baliknya berkas penyelidikan.
Baca juga : Komitmen Pemerintah Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat Dipertanyakan
”Oleh karena itu, undang-undangnya perlu kita revisi agar bisa menjawab tantangan baru ini. Kalau tidak direvisi, kita hanya terperangkap pada masalah yang sama, seolah yang bertanggung jawab pada masalah ini hanya Jaksa Agung dan Komnas HAM,” kata Amiruddin.
Amiruddin menambahkan, UU tentang Pengadilan HAM, khususnya terkait delik pidana, disusun berdasarkan Statuta Romayang menjadi dasar pendirian International Criminal Court. Namun, UU tersebut tidak merinci mengenai hukum acara pidananya. Sementara Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinilai tidak cukup menjadi sandaran dari UU tentang Pengadilan HAM yang menyangkut delik pidana yang serius.
Beberapa hal yang di dalam UU tentang Pengadilan HAM tidak dijelaskan secara lebih detail semisal kejahatan kemanusiaan yang sistematis sebagai kelanjutan dari kebijakan penguasa. Yang dimaksud dengan penguasa tersebut tidak dijelaskan lebih rinci.
Baca juga : Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Tak Masuk Rencana Aksi Nasional 2021-2025

Di sisi lain, lanjut Amiruddin, berkaca dari tiga kasus pelanggaran HAM berat yang telah disidangkan, tampak adanya pemahaman yang berbeda-beda di antara majelis hakim mengenai pengertian pasal-pasal dalam UU tentang Pengadilan HAM. Ini misalnya mengenai tanggung jawab komando yang tidak jelas; komando yang dimaksud pejabat teritorial atau pejabat operasional.
”Prinsip dari kejahatan kemanusiaan itu unsur utamanya dilakukan secara sistematis. Kalau itu tidak clear antara penyelidik, penyidik, jaksa penuntut, dan hakim, perkaranya tidak akan jalan. Jadi, hukum acara dari UU Pengadilan HAM harus disatukan dan dijelaskan menjadi lebih rinci,” tuturnya.
Selain mendorong proses hukum peristiwa pelanggaran HAM berat, Amiruddin berharap revisi UU tersebut dapat sekaligus membarui komitmen negara dalam menangani kasus pelanggaran HAM berat. Seiring dengan itu, pemerintah juga diharapkan membuat norma hukum sebagai landasan penyelesaian di luar jalur non-yudisial.
Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar. Menurut Wahyudi, UU tentang Pengadilan HAM telah beberapa kali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan telah beberapa kali pula putusan MK mengabulkan permohonan tersebut. Karena sudah diuji di MK beberapa kali, UU tentang Pengadilan HAM telah masuk ke daftar kumulatif terbuka untuk dapat direvisi DPR.

Wajah Prabowo Subianto dan Wiranto terpampang sebagai terduga pelanggar HAM berat dalam aksi Kamisan, Kamis (24/10/2019), di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat.
Di sisi lain, lanjut Wahyudi, UU tentang Pengadilan HAM juga mengandung beberapa catatan substantif yang perlu diperbaiki, salah satunya tentang perlunya mengadopsi kejahatan serius lainnya, yakni kejahatan terhadap perang dan kejahatan terhadap agresi. Demikian pula pengaturan hukum acara pengadilan HAM yang sebagian disandarkan pada KUHAP, dinilai sudah tidak mencukupi.
”KUHAP itu dibuat tahun 1981 dan bisa dikatakan obsolete sehingga tidak bisa menangani kejahatan serius seperti pelanggaran HAM berat yang menerobos asas-asas legalitas hukum pidana biasa,” kata Wahyudi.
Oleh karena itu, Wahyudi sependapat agar UU tentang Pengadilan HAM segera direvisi. Revisi UU tersebut dapat dilakukan secara paralel dengan proses revisi KUHP dan revisi KUHAP yang kini tengah dilakukan pemerintah.
Namun, ia mengingatkan agar revisi UU tentang Pengadilan HAM dilakukan untuk memperkuat substansi, bukan memandulkannya. Hal itu berarti revisi harus diarahkan untuk melengkapi yang kurang, bukan mengurangi yang sudah ada.

Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menggelar aksi diam Kamisan ke-619 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (23/1/2020). Aksi yang menyuarakan keadilan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM tersebut juga menegaskan bahwa Tragedi Semanggi I dan Semanggi II merupakan pelanggaran HAM berat yang harus diselesaikan.
”Ketika UU tersebut masuk daftar kumulatif terbuka, maka bisa kapan pun dibahas. Hanya persoalannya, siapa yang akan mengajukan usul inisiatif? Siapa yang akan menyiapkan naskah akademik? Revisi ini akan menjadi inisiatif pemerintah atau DPR?” tutur Wahyudi.
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR, Taufik Basari, mengakui, proses hukum kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu masih terkendala. Masalah utamanya ialah belum cukupnya ketentuan dalam UU tentang Pengadilan HAM untuk mencari jalan keluar atas berbagai hambatan yang saat ini terjadi.
Taufik mengatakan, UU tentang Pengadilan HAM dimaksudkan untuk mengadili pelanggaran HAM yang bernuansa kejahatan internasional dengan sebagian besar mengadopsi Statuta Roma. Sementara ekspektasi masyarakat Indonesia cukup tinggi dengan mengharapkan berbagai pelanggaran HAM yang dikategorikan pelanggaran serius juga bisa dibawa ke pengadilan HAM.
Padahal, yurisdiksi dari UU tentang Pengadilan HAM bersifat terbatas karena hanya mencakup genosida dan kejahatan melawan kemanusiaan yang unsur-unsurnya juga bersifat limitatif. Sebaliknya, jika ada kasus pelanggaran HAM yang unsurnya tidak termasuk dalam kedua hal tersebut, proses pidananya masuk ke pengadilan umum.

Taufik Basari, Ketua DPP Partai Nasdem
”Menurut saya, salah satu yang menjadi masalah adalah tidak cukupnya muatan di dalam UU tentang Pengadilan HAM. Maka, alangkah baiknya merevisinya sebagaimana yang menjadi harapan masyarakat. Artinya, tidak melulu harus terpaku pada jenis-jenis pelanggaran HAM sesuai Statuta Roma, tetapi juga bisa berfungsi mengadili jenis-jenis pelanggaran HAM lainnya,” tutur Taufik.
Menurut Taufik, UU tentang Pengadilan HAM belum masuk Prolegnas maupun status kumulatif terbuka. Sebab, beberapa norma yang diputus di MK terkait UU tersebut ada yang serta-merta diberlakukan tanpa harus merevisi UU.
Oleh karena itu, Taufik menyarankan agar inisiatif untuk merevisi UU tentang Pengadilan HAM dilakukan pemerintah. Sebab, saat ini pemerintahlah yang mengalami masalah dalam pelaksanaan UU tersebut. Selain itu, dari sisi politis, dengan inisiatif pemerintah, proses penyusunan naskah akademik akan lebih cepat dibandingkan jika menjadi inisiatif DPR.
”Sebenarnya sudah pernah ada usulan revisi tahun 2012. Kita bisa berangkat dari situ dengan diperbarui lagi. Dan revisi ini bisa berjalan seiring dengan revisi UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” katanya.

Apabila undang-undang tersebut benar direvisi, akankah saling lempar berkas penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM berat dapat selesai dan keadilan bagi korban terpenuhi? Kita tunggu saja. Jalan masih panjang dan berliku-liku....